Mengenal Sovereign Wealth Fund yang Ingin Dibentuk Jokowi
Kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Uni Emirat Arab (UEA) bukan hanya membawa oleh-oleh komitmen investasi jumbo senilai US$ 22,8 miliar. Presiden dan Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammed Bin Zayed juga membahas kemungkinan pembentukan sovereign wealth fund, yang akan menjadi pooling dana investasi dari berbagai negara, termasuk UEA.
Menurut keterangan Sekretariat Kabinet (Setkab) Republik Indonesia, Sheikh Mohammed Bin Zayed menyanggupi dana US$ 22,8 miliar itu diinvestasikan di Indonesia melalui sovereign wealth fund (SWF). Selain UEA, ada pula investor lain yang akan bergabung di SWF tersebut, yakni Masayoshi Son dari Softbank, Jepang dan International Development Finance Corporation (IDFC), Amerika Serikat.
(Baca: Kunjungi Abu Dhabi, Jokowi Borong 16 Komitmen Investasi Rp 319 Triliun)
Pengertian Sovereign Wealth Fund
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan sovereign wealth fund (SWF)? Menurut Investopedia, SWF adalah badan pengelola dana investasi yang dimiliki oleh negara. Dana yang mereka kelola bisa berasal dari cadangan devisa milik bank sentral negara tersebut, akumulasi surplus perdagangan maupun surplus anggaran, dana hasil privatisasi, maupun penerimaan negara dari ekspor sumber daya alam.
Sementara itu, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mendefinisikan SWF sebagai kendaraan finansial yang dimiliki negara, yang memiliki atau mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke aset-aset yang luas dan beragam. Fungsi SWF adalah untuk stabilisasi ekonomi, terutama meningkatkan investasi dan tabungan masyarakat.
Ada lima jenis atau lima kategori SWF:
1. Dana stabilisasi (stabilization funds)
2. Dana tabungan untuk generasi di masa depan (savings or future generations fund)
3. Dana pensiun (pension reserve funds)
4. Dana cadangan investasi (reserve investment funds)
5. Dana pengelolaan kekayaan negara untuk pembangunan strategis (strategic development sovereign wealth funds)
Seperti dikutip dari Sovereign Wealth Fund Institute, pengelolaan dana melalui SWF ini lebih mengutamakan imbal hasil (return) daripada likuiditas, sehingga cenderung lebih berisiko dibandingkan cadangan devisa tradisional. Beberapa negara yang mengutamakan likuiditas akan membatasi investasi SWF hanya pada instrumen surat utang yang sangat likuid, misalnya surat utang pemerintah. Namun, ada juga beberapa SWF yang berinvestasi langsung pada industri domestik.
(Baca: Luhut: Uni Emirat Arab Tertarik Investasi di Ibu Kota Baru dan Aceh)
Beberapa negara membentuk SWF sebagai upaya untuk mendiversifikasi sumber pendapatannya. Misalnya, UEA yang kekayaannya sangat bergantung pada ekspor minyak mentah. Oleh karena itu, UEA menempatkan sebagian cadangan devisanya ke SWF yang berinvestasi pada aset-aset yang terdiversifikasi. Jika terjadi risiko yang menyebabkan harga minyak dunia turun, pendapatan UEA dari hasil investasi yang lain bisa menutup penurunan tersebut.
UEA adalah salah satu negara yang tercatat memiliki SWF di jajaran sepuluh besar dunia, yakni Abu Dhabi Investment Authority dengan dana kelolaan US$ 696,66 miliar pada 2019. SWF terbesar di dunia dimiliki oleh Norwegia dengan dana kelolaan US$ 1,1 triliun. Daftar sepuluh besar SWF dunia bisa dilihat pada Databoks berikut ini.
Cikal-bakal SWF Indonesia
Pembentukan SWF sejatinya sudah digagas cukup lama. Kementerian Keuangan membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai cikal-bakal SWF Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007. Pembentukan PIP mengacu pada skema SWF yang dimiliki oleh Singapura, yakni Government Investment Center (GIC) dan Temasek Holding, serta Khazanah di Malaysia.
PIP mendapatkan suntikan modal awal sebesar Rp 4 triliun. Setelah berdiri hampir delapan tahun, PIP dilikuidasi pada 2015 karena investasinya dinilai tidak berkembang seperti harapan pemerintah. Penutupan PIP dikukuhkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 232/PMK.06/2015 yang ditandatangani Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada 21 Desember 2015.
"Dalam perjalanannya, GIC, Temasek, dan Khazanah bisa jalan karena negaranya kelebihan cadangan devisa," kata Bambang seperti dikutip Viva.co.id. Cadangan devisa Indonesia dinilai terbatas, sehingga kemampuan investasi PIP tidak maksimal. Selain itu, status PIP sebagai Badan Layanan Umum (BLU) membuat sumber anggarannya terbatas hanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Aset-aset PIP senilai Rp 18,4 triliun dialihkan kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang akan dijadikan bank infrastruktur. Aset yang dialihkan berupa kas dan investasi langsung. Kas meliputi dana tunai investasi, dana geothermal, dan dana lainnya yang sebelumnya dikelola PIP.
(Baca: Bappenas Ungkap 5 Negara yang Tertarik Berinvestasi di Ibu Kota Baru)
SWF akan Diatur di Omnibus Law
Ketika bertemu dengan para pelaku industri keuangan, Jokowi mengatakan, SWF akan diatur dalam Omnibus Law yang tengah digodok pemerintah. Ia yakin, aturan tersebut akan membuat arus masuk dana asing ke Indonesia semakin deras.
"Begitu (Omnibus Law) keluar, saya sudah bisik-bisik ke Ketua OJK dan Gubernur BI. Kita akan dapat inflow minimal US$ 20 miliar," ujar Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan, di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Kamis (16/1).
Nilai dana asing yang berpotensi masuk ke Indonesia itu setara Rp 280 triliun jika dihitung dengan kurs Rp 14 ribu per dolar AS. Omnibus Law menjadi prioritas untuk diselesaikan sebelum 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Ada dua jenis Omnibus Law yang akan diajukan pemerintah ke DPR, yakni Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan.
(Baca: Mengenal Omnibus Law, Jurus Pamungkas Pemerintah Menarik Investasi)