Rekaman Itu Hendak Mendiskreditkan Saya dan Rini

Muchamad Nafi
12 Mei 2018, 14:00
No image
Ilustrator: Betaria Sarulina
Rini Soemarno
Rini Soemarno (Arief Kamaludin|Katadata)

 Sebetulnya, bagaimana awal mula rencana terminal regasifikasi LNG PT Bumi Sarana Migas di Banten?

Saya orang gas, sudah lama lihat dan baca data bahwa suplai gas di Jawa Barat akan defisit besar. Pada 2012-2013, suplai dari Sumatera masih 1,2 miliar standar kaki kubik (BCF), tapi potensi permintaan bisa di atas 4 BCF. Itu hitungan Dirjen Migas. Tapi dalam perkiraannya, sampai 2020 tinggal 400 juta standar kaki kubik (MMCF) dari Sumatera, lapangan Jabung Gresik.

Itu sudah menghitung pasokan dari sejumlah terminal gas terapung (FSRU), seperti yang di Lampung milik Perusahaan Gas Negara dan Teluk Jakarta milik Nusantara Regas?

Sudah terhitung. Saya bilang FSRU itu mahal, dan itu terbukti. Nusantara Regas, biayanya US$ 2,40 per MMbtu, terus yang di Lampung US$ 3,5 per MMbtu resminya. Masalah lain FSRU, membangunnya cepat tapi untuk memperbesarnya tidak bisa. Untuk memperbesar sama saja beli baru.

Seperti untuk memperbesar kapasitas?

Bikin satu lagi baru. Dan, masa life time lebih pendek karena kapal ada umurnya. Kalau begitu, harus punya yang di darat karena kapasitas bisa di-expand. Kalau diperbesar fasilitasnya, biaya di darat lebih kecil. Itu terbukti di mana-mana: Jepang, Korea, Cina, atau Eropa.

Lalu pada 2013, Krakatau Steel punya pemikiran mau membikin FSRU sendiri. Saya dengar. Jawa Barat tidak perlu FSRU lagi. Kenapa tidak bangun di darat? Permintaan Jawa Barat bisa  diperkirakan lebih 4,5 miliar standar kaki kubik (BCF). Karena ada pengalaman di LNG, saya lalu lihat-lihat tanah di sekitar Banten.

Itu setelah Anda bergabung di Bumi Saran Migas?

Sebelumnya, tahun 2013. Saya mendengar ada tanah di situ, bekas milik Golden Key (Perusahaan milik Eddy Tansil), yang telah dikuasai oleh Kalla Group (Kalla Group membelinya dari BPPN). Saya approach Pak Jusuf Kalla. “Pak mau digunakan tidak, kan sampai sekarang menganggur.” Dia tanya buat apa. Saya keluarkan konsep saya. “Wah, bagus Pak Ari. Itu akan menolong negara kita, infrasturktur.” Tapi Kalla Group tidak mau jual tanahnya. Itu kira-kira September 2013.

Saya lalu paparkan gas balance-nya. Kalau infrastruktur, mungkin saja dapat izin distribusi gas. Tentu izinnya berbeda (dengan pembangunan terminal LNG). Nanti gas ini bisa dipakai oleh PLN, PGN, Pertamina, ada pipanya. Ini pusat konsumsi. Di dekatnya ada Muara Karang, ada PLTGU Tanjung Priok, terus ada PLTU Suralaya yang mau konversi ke gas, dan sebagainya. Dan yang pakai banyak, ada Krakatau Steel, industri banyak.

Rencananya akan mulai dengan 2 juta ton dahulu. Kami hitung-hitung harganya. Kalau US$ 2 per Mmbtu susah, kami harus kompetisi dengan FSRU. Lalu dapat harga US$ 1,2 per Mmbtu. Itu kapasitas 2 juta ton, kalau 4 juta ton bisa US$ 85 sen per Mmbtu, 7 juta ton US$ 60 sen per Mmbtu, di atas 10 juta ton US$ 50 sen per Mmbtu. Murah kan. Kami akan jual sama Pertamina.

Waktu itu belum tahu Pak JK (Jusuf Kalla) mau jadi wakil presiden, baru kira-kira Januari 2014 mulai ngomong. Akhirnya kami tanda tangan sama Pertamina pada Mei 2014, MoU pertama.

Bagaimana rencana pengembangan setelah itu?

Saya bilang harus cari partner. Pertamina confident-nya dengan Jepang yang lebih berpengalaman karena operasi tidak gampang. Karena bahannya LNG harus disimpan pada suhu rendah sekali, itu ada tekniknya. Kalau tidak bisa, menimbulkan bahaya.

Akhirnya kami gandeng Tokyo Gas sama Mitsui. Tokyo Gas terminalnya ada empat di Teluk Tokyo, tiga terminal dia sendiri dan satu terminal bersama-sama Tokyo Electric. Terus Mitsui sudah punya di luar negeri, Meksiko. Punya di Jepang sebagai trading house. Waktu itu kami adakan beauty contest, Osaka Gas juga berminat.

Berapa kontestan yang ikut?

Tokyo Gas, Osaka Gas, dan Marubeni. Tokyo dan Mitsui gabung, Marubeni dan Osaka Gas. Setelah memilih, kami cenderung Tokyo dan Mitsui. Dengan partner, kami dapat fasilitas kredit dari JBIC, bank pemerintah Jepang yang bunganya pasti rendah. Syaratnya adalah Tokyo Gas dan Mitsui harus punya 35 persen.

Kami setuju. Kalla Group bilang mesti mendapat 51 persen, makanya kami menawarkan Pertamina 15 persen. Argumentasi saya, Pertamina tidak perlu besar karena ini infrastruktur, tidak cari uang di sini. Pertamina cari duit dengan memegang LNG-nya sama jual gasnya. Investor sudah mau hidup hanya dari fee saja selama IRR-nya (tingkat pengembalian investasi) investor cukup.

Pertamina dengan demikian sudah punya hak pakai. Kami yang suplai gas tergantung dia, dan dia tergantung kami. Kalau Pertamina kecil lebih bagus. Tapi dia tetap punya kontrol karena yang memakai gas. Dengan demikian, Pertamina tidak perlu keluar ekuiti atau modal yang besar.

Misalnya harga terminal US$ 700 juta, dengan ekuitas sendiri kira-kira 30 persen US$ 210 juta. Kalau cuma 15 persen, Pertamina hanya mengeluarkan US$ 30 juta. Dan kalau menginginkan posisi direktur keuangan, kami kasih. Investor kan cuma sampai masa di mana return of investment kembali, biasanya 15 tahun. Setelah itu Pertamina punya hak dapat 51 persen otomatis. Perkara mau atau tidak, itu nanti.

Ketika itu, berapa perhitungan tingkat pengembalian investasinya (IRR)?

IRR kami paling 12-14 persen. Sudah ekonomis banget. Kalau tidak, mana kami mau US$ 1,20 per Mmbtu. Apalagi kalau kami mau 4 juta ton bisa US$ 85 sen per Mmmbtu. IRR diperlukan bank juga. Kami bisa dapat IRR segitu karena bunga bank JBIC rendah, cuma berapa di atas labor. Itu bisa karena Mitsui 35 persen, ada swasta bonafit. Kalau Pertamina atau PLN yang mayoritas, belum tentu JBIC mau kasih.

Ketika hendak operasi, harus serendah mungkin investasinya supaya return bisa lebih cepat. Itu keuntungan dari partisipasi investasi swasta. Yang penting, rate yang ditawarkan kompetitif. Itu saja. Sekarang kok dibilang minta fee, fee apa? Ini 15 persen share.

Pada waktu awal, memang skemanya Pertamina offtake?

Siapa lagi yang bisa offtake. Bangun kilang infrastruktur gas, kalau bukan Pertamina offtake, siapa lagi? Kalo bukan Pertamina, PLN, ya PGN.

Tidak bisa langsung ke end user, industri?

Kalau ke end user, saya harus cari end user.

Tadi kan ada beberapa industri seperti Krakatau Steel yang akan menyerap gasnya?

Harus minta izin dulu. Yang punya hak untuk memasarkan gas itu PGN, PLN, Pertamina. Kami belum membangun pasar. Kami akan menghadapi dua pertanyaan untuk develop pasar. Pertama, pembeli akan bertanya gasnya dari mana. Kedua, mereka mau kalau kami sudah punya pasar. Ini seperti telur dan ayam. Tidak mungkin.

Hingga kini, bagaimana status BSM, masih berjalan?

Sudah kami hold. Bersama partisipan proyek Kalla, Tokyo, Mitsui menyepakati still stand. Sebab, saya yakin ini paling ekonomis ke depan, bukan FSRU.

Jadi dengan Pertamina masih ada kerja sama?

Berhenti juga. Pertamina sudah hampir setuju, hampir paraf. Sudah bilang di Tokyo, tahu-tahu balik ke Jakarta tidak setuju, berubah pikiran. Kaget saya. Itu Januari 2017. Alasannya, waktu itu ada PSAK 8 prosedur akuntansi. Saya bilang, kalau itu alasannya, harusnya Pertamina minta inseption seperti PLN yang sudah didapat Januari 2016.

Halaman:
Muchamad Nafi
Muchamad Nafi
Redaktur Eksekutif
Reporter: Anggita Rezki Amelia, Amal Ihsan Hadian

    Catatan Redaksi:
    Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

    Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

    Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

    Ikuti kami

    Artikel Terkait

    Video Pilihan
    Loading...