Menggugat Survei Fraser Berdasarkan Manfaat Gross Split

Fahmy Radhi
Oleh Fahmy Radhi
14 Desember 2017, 08:59
No image
Ilustrator: Betaria Sarulina

Dalam edisi 7 Desember 2017, Katadata.co.id memuat artikel dari hasil survei Fraser Institute, yang menempatkan Indonesia ke dalam 10 negara dengan tingkat iklim investasi minyak dan gas bumi (migas) terburuk tahun ini. Dalam sub-judulnya, Katadata.co.id menuliskan: “Dua faktor yang dinilai membuat iklim investasi di Indonesia kurang menarik adalah pajak masa eksplorasi dan skema kontrak gross split”.

Artikel tersebut juga memuat pernyataan Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, bahwa penelitian Fraser itu memang sudah mencerminkan kondisi iklim investasi Indonesia saat ini. Secara kebetulan, pada 2 Desember 2017, Madjedi Hasan yang merupakan konsultan dan mantan eksekutif di industri hulu migas selama lebih 50 tahun,  menulis di kolom Opini Katadata.co.id dengan judul: “Potensi Masalah Skema Kontrak Bagi Hasil Gross Split”.

Padahal, dalam 16 kriteria yang ditanyakan kepada responden survei Fraser, terdiri dari: Chief Executive Officer (CEO), presiden direktur, wakil presiden direktur, direktur, manajer, geologis, konsultan, ekonom, dan pengacara, tidak satu pun yang menyebutkan variabel skema gross spilt sebagai kriteria penilaian.

Kalaupun memasukkan variabel gross split sebagai salah satu kriteria penilaian, survei Fraser tidak akan valid dan cenderung bias. Sebab, survei itu dilakukan pada 23 Mei hingga 28 Juli 2017, sedangkan pemberlakuan skema Gross Split terhitung sejak 29 Agustus 2017 berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM 52/2017.

Selain itu, survei Fraser tidak memasukkan variabel operating cost index dan profit margin, yang menjadi pertimbangan utama bagi investor untuk melakukan investasi di suatu negara. Selama 10 tahun terakhir, rata-rata operating cost index di Indonesia masih di bawah rata-rata operating cost index Asia Pasific, dan sedikit di atas rata-rata global operating cost index.

Demikian juga, dengan margin keuntungan investasi hulu migas Indonesia masih cukup tinggi, yang mencapai rata-rata 71% selama 10 tahun terakhir.

Kalau kedua variabel itu digunakan sebagai indikator survei, dapat dipastikan posisi Indonesia tidak masuk dalam 10 negara dengan tingkat iklim investasi migas terburuk. Bahkan, posisi Indonesia semestinya termasuk 10 negara dengan tingkat iklim investasi terbaik.

Gross Split Contract  merupakan kontrak kerja sama antara pemerintah dengan investor, yang memperhitungkan bagi hasil berdasarkan produksi bruto. Skema kontrak ini merupakan modifikasi dari skema Production Sharing Contract (PSC), yang menghapuskan cost recovery. Imbalannya, bagian bagi hasil investor diperbesar dari 85 : 15 menjadi 57 : 43 untuk minyak bumi dan 52 : 48 untuk gas bumi.

Semua biaya dan risiko ditanggung oleh investor tanpa penggantian dari pemerintah. Gross split diberlakukan untuk kontrak wilayah kerja migas yang baru, sedangkan kontrak yang sedang berjalan masih menggunakan PSC.

Dengan menghapus cost recovery dalam skema gross split, pemerintah dapat menghemat pengeluaran cost recovery yang selama ini dibebankan dalam APBN, yaitu sebesar US$ 10,4 miliar dalam APBN 2017.

Apalagi, pengajuan  cost recovery kepada pemerintah sering kali digunakan sebagai modus penyelewengan yang merugikan negara. Tidak mengherankan kalau sejak 2015 jumlah cost recovery (45,6%) yang menjadi beban negara lebih besar daripada penerimaan negara (40%) dan pendapatan kontraktor (14,3%).

Salah satu tujuan penghapusan cost recovery dalam skema gross split adalah meningkatkan penerimaan negara dan pendapatan investor dengan menetapkan prosentase pembagian yang lebih besar kepada investor. Bahkan, besaran based split untuk investor masih bisa meningkat dengan adanya berbagai insentif yang akan memperbesar pendapatan investor. Penghitungan tambahan split sebagai insentif itu berdasarkan atas beberapa variabel.

Salah satu variabel adalah pengembangkan lapangan baru. Investor akan memperoleh insentif tambahan split sebesar 5%, kalau mengembangkan lapangan baru. Namun, split investor akan dikurangi 5%, jika mengembangkan lapangan lama, yang pernah dikembangkan sebelumnya.

Sedangkan variabel lokasi kedalaman laut akan memperoleh insentif penambahan split. Kedalaman laut 0-1.000 meter akan memperoleh penambahan split antara 0-16%, sedangkan lokasi di darat tidak ada pengurangan split sama sekali.

Selain itu, masih ada dua variabel progresif yang digunakan untuk memperhitungkan penambahan atau pengurangan besaran split yang diterima investor. Variabel harga minyak ditetapkan lebih rendah dari US$ 40 dan di atas US$ 115 per barel, dengan split plus 7,5% dan minus 7,5%.

Artinya, kalau harga minyak di bawah US$ 40 per barel maka investor mendapat tambahan split 7,5%. Tapi, kalau harga minyak melebihi US$ 115 per barel maka split investor dikurangi 7,5%.

Dengan begitu, investor mendapat kepastian pendapatan di tengah fluktuasi harga minyak dunia. Jadi, kekhawatiran Madjedi Hasan bahwa pendapatan investor akan turun saat harga minyak dunia turun, tidak beralasan.

Selain itu, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa investor tidak akan menggunakan kandungan biaya lokal (TKDN) dalam operasi hulu migas dengan skema gross split. Sebab, investor yang menggunakan TKDN akan mendapat tambahan split sebagai insentif.

Penggunaan TKDN ditetapkan 30% hingga 70% dengan tambahan split 0-4%. Artinya, kalau penggunaan TKDN antara 30% hingga 70%, investor akan mendapat tambahan split antara 0-4%.

Penggunaan skema gross split juga dapat mendorong investor melakukan penghematan biaya. Alasannya, semua biaya yang dikeluarkan ditanggung sepenuhnya oleh investor.

Selain itu, procurement yang dilakukan investor menjadi lebih sederhana dan cepat, tanpa proses yang panjang dan berbelit. Ini karena tidak dibutuhkan lagi verifikasi dan persetujuan oleh SKK Migas.

Semakin cepatnya proses procurement akan mempercepat proses produksi perdana. Dalam skema gross split, proses produksi perdana lebih cepat dibanding menggunakan skema PSC. Pada saat penggunaan PSC, produksi perdana dapat dicapai dalam waktu 10 hingga 15 tahun.

Sedangkan produksi perdana yang menggunakan gross split, dapat dicapai hanya dalam waktu 5 tahun. Percepatan waktu produksi perdana tersebut akan semakin efisien, yang akan meningkatkan tingkat keekonomian bagi investor.

Tidak hanya insentif penambahan split, pemerintah juga memberikan insentif fiskal. Tidak ada pengenaan pajak dari tahapan eksplorasi hingga produksi perdana. Pengenaan pajak tidak langsung (indirect tax) pada masa produksi akan diperhitungkan di dalam keekonomian lapangan, yang akan dikompensasi melalui penambahan split dalam skema split adjustment. Selain itu, lost tax carry forward dapat diperpanjang hingga 10 tahun.

Terlepas tidak digunakannya kriteria operating cost index dan profit margin, survei Fraser serta pernyataan sekaliber Komaidi Notonegoro dan tulisan Madjedi Hasan mengindikasikan bahwa skema gross split sebenarnya belum dipahami secara benar oleh publik, termasuk sejumlah investor migas.

Oleh karena itu, ada urgensi bagi Kementerian ESDM untuk memberikan pemahaman yang benar kepada publik, terutama investor, tentang skema gross split secara berkelanjutan. 

Fahmy Radhi
Fahmy Radhi
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM, Mantan Anggota Reformasi Tata Kelola Migas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...