Indonesia, Raksasa Teknologi Digital Asia
KATADATA – Media teknologi TechiniAsia dalam salah satu artikelnya menyebut Indonesia sebagai “raksasa teknologi Asia Tenggara yang sedang tertidur.” Tapi dari data yang ada, Indonesia sebenarnya berpeluang menjadi salah satu yang terbesar tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga Asia.
Jumlah penduduknya yang mencapai 250 juta, dan menjadi pasar yang besar. Pengguna smartphone Indonesia juga tumbuh pesat. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia akan mencapai lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Ambil contoh Cina, tahun ini Negeri Panda itu diperkirakan memiliki jumlah pengguna smartphone mencapai 574 juta. Dengan jumlah itu, Cina menjadi negara yang memiliki pendapatan dari bisnis online kedua terbesar di dunia setelah Amerika. Data iResearch menyebutkan, penjualan online di Cina saat ini mencapai 8 persen dari total penjualan retail di negara itu. Diperkirakan pada 2015, penjualan melalui online akan mencapai 10 persen.
Dengan iklim seperti itu, di Cina kemudian muncul perusahaan retail online Alibaba. Saat ini Alibaba sudah menjadi salah satu dari 14 perusahaan teknologi terkemuka di dunia, seperti Google, Facebook dan Amazon. Kapitalisasi pasar 14 perusahaan itu bila digabungkan mencapai US$ 3 triliun.
Namun, kepemilikan smartphone bukan satu-satunya syarat yang harus dimiliki supaya perkembangan teknologi digital berlangsung cepat. DBS Group Research dalam hasil risetnya bertajuk “Sink of Swim-Business Impact of Digital Technology” menyimpulkan apabila penetrasi teknologi digital sangat dalam dan penggunaannya meluas maka dampak teknologi digital akan semakin dirasakan, khususnya di dunia bisnis.
Sebagai contoh India, di negara itu penetrasi internet belum dalam. Padahal India saat ini adalah negara nomor tiga pengguna smartphone terbanyak di dunia. Tahun depan, India bahkan diperkirakan menyalip Amerika di posisi kedua. Tapi belanja online di negara itu kurang 1 persen dari total penjualan retail tahun 2013.
Indonesia tak jauh beda dengan India. Penetrasi internet di Indonesia pada tahun lalu, menurut data Internetlivestats ada di kisaran 17 persen. Sedangkan India ada di angka 19 persen. Tingkat penetrasi internet di Indonesia bahkan kalah jauh dari negara-negara Asia Tenggara, seperti Vietnam (43 persen), Filipina (39 persen), Malaysia (40 persen) dan Singapura (81 persen).
Data lain dari We are Social menunjukkan hal yang sama. Penetrasi internet di Indonesia berkisar 28 persen. Dengan penetrasi sebesar ini, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura (81 persen), Malaysia (66 persen), Vietnam (44 persen) dan Thailand (37 persen).
Dalam hal persentase belanja melalui online, Indonesia juga tertinggal jauh. Survei yang dilakuka Globalwebindex pada 2014 menemukan, persentase penduduk Indonesia yang melakukan pembelian secara online baru sekitar 16 persen. Angka ini sedikit lebih baik dari India yang ada di angka 14 persen. Namun, masih tertinggal jauh dari Singapura yang sudah mencapai 46 persen.
Tapi dengan kondisi penetrasi internet belum dalam seperti saat ini, Indonesia sudah mulai dilirik investor yang berminat berinvestasi di industri digital. Data dari Techlist, seperti dikutip dari media teknologi TechinAsia, menyebut pada kuartal I-2015, di Asia Tenggara ada 93 startup yang memperoleh pendanaan. Dari jumlah itu, 24 di antaranya merupakan startup Indonesia. MatahariMall mendapat pendanaan terbesar dengan total investasi Rp 6,51 triliun.
Di tahun-tahun sebelumnya juga ada beberapa perusahaan digital Indonesia yang mendapat investasi besar. Go-Jek umpamanya, berhasil mendapatkan pendanaan Rp 2,8 triliun dari Northstar Group. Ada juga Tokopedia yang tahun lalu mengantongi dana Rp 1,4 triliun dari Softbank dan Sequoia Capital.
Indonesia mempunyai peluang untuk tumbuh sangat cepat dan besar. Kebutuhan terbesar saat ini adalah dukungan dari pemerintah supaya industri digital Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari negara lain. Penetrasi internet harus bisa ditingkatkan dengan cepat. Tidak hanya terfokus di Jawa, tapi juga tersebar di daerah lain di Indonesia.
Pemerintah juga harus membuka jalan dan memberikan berbagai insentif agar industri digital ini bisa tumbuh dan mendapat akses pendanaan.
Dibandingkan Singapura, Indonesia memiliki keunggulan dengan jumlah penduduk yang bisa menjadi pasar sangat besar. Namun langkah progresif sudah banyak dilakukan sehingga Singapura kini menjelma menjadi pusat ekosistem startup di Asia. Singapura bisa masuk ke pasar-pasar besar Asia, seperti Cina, India dan Indonesia, juga Malaysia, Filipina serta Thailand. Salah satu keunggulan Singapura adalah akses terhadap pendanaan yang sangat besar.
Sejumlah perusahaan digital Singapura sudah merambah Indonesia, antara lain GrabTaxi. Perusahaan yang baru saja mendapatkan suntikan dana sebesar Rp 3,6 triliun dari Softbank ini juga mengembangkan layanan aplikasi transportasi motor yang diberi nama GrabBike. GrabBike saat ini menjadi pesaing serius perusahaan Indonesia, Go-Jek.
Pemerintah sepertinya memang sudah mulai menyadari pentingnya industri digital ini agar mampu tumbuh dengan cepat. Pada awal tahun ini, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sempat menjanjikan akan menghimpun dana US$ 1 miliar dari para pengusaha swasta untuk diinvestasikan ke startup digital.
Baru-baru ini, Rudiantara juga mengatakan pemerintah akan membangun akses internet sampai ke desa. Pemerintah juga membuka kesempatan kepada pengembang untuk menyediakan aplikasi digital yang bisa membantuk perkembangan potensi desa, seperti pertanian atau nelayan.
Ini merupakan sinyal bagus dari pemerintah. Apabila langkah ini bila terwujud bisa “membangunkan” Indonesia, sehingga benar-benar bisa menjadi “raksasa” teknologi digital Asia, atau bahkan dunia.
* Artikel ini juga dimuat di koran tempo tanggal 02 Oktober 2015
* Sebagian tulisan ini menjadi materi untuk lomba DBS Young Economist Stand-Up kerjasama DBS dan Katadata.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.