Solusi Ekonomi Biru Menuju Indonesia Emas 2045

M Riza Damanik
Oleh M. Riza Damanik, PhD
28 April 2023, 07:15
M Riza Damanik
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
M Riza Damanik

Sebagai negara kepulauan-tropis terbesar di dunia, Indonesia berpeluang besar melewati ujian ekonomi tahun ini dan ke depannya dengan mengakselerasi kinerja ekonomi biru nasional.

Konferensi Persatuan Bangsa-bangsa tentang Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD) telah mendefinisikan ekonomi biru sebagai aktivitas pemanfaatkan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan untuk menumbuhkan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekosistem laut.

Sejumlah negara, di antaranya Australia, Korea Selatan, dan Cina telah memanfaatkan peluang besar dari ceruk ekonomi biru. Kontribusinya rata-rata telah mencapai 4,4 hingga sembilan persen terhadap total PDB mereka (The Aims Index of Marine Industry, 2020; Park, 2014; Xuemei, dkk., 2021). Lalu, bagaimana dengan Indonesia? 

Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan teramat besar. Namun pemanfaatannya belum optimal. Sejak 2019 silam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menaruh target lompatan peningkatan kontribusi ekonomi biru ke dalam PDB menjadi 12,5 persen di 2045.

Dua Masalah Ekonomi Biru di Indonesia

Mari lihat hasil pengukuran Indeks Pembangunan Ekonomi Biru (BEDI) yang dikeluarkan pertama kali pada 2020 oleh Forum Negara-Negara Pulau dan Kepulauan (AIS Forum). Posisi Indonesia baru berada pada peringkat 36 dari 47 negara dengan skor 4,3. Lalu, apa penyebabnya? Ternyata ada dua dari delapan indikator BEDI Indonesia mendapat nilai rendah sehingga perlu perbaikan.

Pertama, indikator Indeks Pembangunan Inklusif (Inclusive Development Index). Pada indikator ini, Indonesia hanya memperoleh skor 0,25. Ini menjelaskan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Tanah Air belum sepenuhnya terdistribusi merata secara etnis, gender, maupun antargenerasi.

Indikator kedua terkait Indeks Tata Kelola (Governance Index) meliputi pengukuran sejumlah aspek penting terkait kebijakan dan kapasitas kelembagaan, lingkungan usaha, kualitas air, energi, pelayaran dan sumber daya alam. Indonesia mendapat nilai 0,3 atau ada potensi mengalami masalah lingkungan dengan derajat tinggi, termasuk akibat dari tingginya pembuangan sampah plastik di laut.

Sebelumnya, peringatan serupa juga tersaji di dalam laporan The Economist Intelligent Unit (2019) yang menempatkan Indonesia pada urutan 18 dari 20 negara dalam hal pengelolaan kualitas air—baik dari limbah rumah tangga maupun industri.

Persoalan lain yaitu tingginya angka kemiskinan di daerah pesisir dan keterbatasan infrastruktur. Sebagai contoh, infrastruktur penyaluran bahan bakar minyak untuk nelayan kecil dan tradisional. Indonesia memiliki lebih dari 11 ribu desa pesisir tersebar dari pulau paling timur hingga barat. Sementara infrastruktur layanan penyaluran BBM (SPBUN) hanya ada di 388 titik. Itu pun tidak semua berfungsi sebagaimana mestinya.

Halaman:
M Riza Damanik
M. Riza Damanik, PhD
Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia; Senior Fellow Laboratorium Indonesia 2045

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...