Musim Kering Investasi Startup, Risiko Laten Bagi UMKM Digital
Akhir tahun lalu Katadata.co.id merilis data terbaru mengenai tren penurunan besaran investasi usaha rintisan (startup) yang masuk ke Indonesia di periode semester pertama tahun 2023. Disebutkan bahwa jumlah investasi ke sektor usaha rintisan merosot secara tajam jika dibandingkan dengan data tahun sebelumnya.
Walaupun penurunan nilai investasi ini terjadi juga di negara-negara se-Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina, tetap saja Indonesia yang secara persentase mengalami penurunan paling drastis. Penurunan investasi di negara tetangga kita tersebut secara berturut-turut sampai sebesar 63%, 52%, 24%, 66%, dan 79%, sedangkan Indonesia mengalami persentase penurunan terbesar yaitu sampai 87%.
Jumlah investasi ke Indonesia pada semester I tahun 2022 tercatat masih sebesar US$ 3,3 miliar, di semester 1 tahun 2023 anjlok hanya menjadi sebesar US$ 400 juta (sekitar Rp 6 triliun-an). Fakta ini tentu mengkhawatirkan.
Musim Kering Investasi Startup
Data-data tersebut memberikan sinyal bahwa Indonesia -- dan juga negara lainnya baik di regional dan global-- memasuki era musim kering investasi usaha rintisan. Masa-masa indah dimana para investor dengan mudah menggelontorkan dana besar layaknya musim penghujan kepada berbagai usaha rintisan untuk melakukan eskalasi bisnis dengan cepat sudah berakhir.
Sekarang, investor sudah sangat berhati-hati sebelum memutuskan untuk berinvestasi ke dalam suatu startup. Setidaknya ada lima alasan mengapa Indonesia sekarang memasuki musim kering investasi startup.
Pertama, terjadi perlambatan ekonomi secara global. Secara global, efek pandemi memang masih berpengaruh terhadap lambatnya pemulihan ekonomi. Begitu juga konflik antar bangsa yang akhir-akhir ini terjadi, menyebabkan dampak ekonomi secara global seperti peningkatan inflasi yang berakibat mahalnya harga dan ongkos kegiatan ekonomi.
Kedua, strategi bakar uang startup yang sudah ditinggalkan oleh investor. Belajar dari berbagai kegagalan perusahaan rintisan, investor sekarang melihat bahwa startup yang melakukan strategi bakar uang tidak melulu berhasil memenangkan pasar. Tindakan ini justru cenderung membuka risiko ketergantungan terhadap dana investor terus-menerus.
Ketiga, pengelolaan startup yang kurang memenuhi prinsip tata kelola yang baik. Tragedi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang terjadi, disparitas standar upah eksekutif dan karyawan dengan keuntungan nyata yang diperoleh di berbagai startup di Indonesia, membuka pertanyaan mengenai seberapa baik startup kita mematuhi prinsip tata kelola yang baik agar bisa mencapai pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan.
Keempat, terjadi re-orientasi pilihan investasi startup oleh investor. Dengan kata lain, investor sekarang lebih berhati-hati dan benar-benar mempelajari sektor apa yang sekiranya bakal mampu memenangkan pasar dan mencapai keuntungan tidak hanya sekedar mengejar pertumbuhan yang cepat lagi.
Kelima, investor memilih untuk “wait and see” sehubungan dengan pemilu tahun 2024 yang sedang dihadapi oleh Indonesia.
Risiko Laten Bagi Pertumbuhan UMKM Digital
Fenomena musim kering investasi startup yang sedang menerpa Indonesia ini barangkali memang merupakan suatu hal yang alamiah sifatnya. Begitupun dengan perubahan perilaku startup saat ini yang lebih mengedepankan pengejaran keuntungan dalam operasionalnya, yang tentu saja merupakan respons wajar atas sikap investor terkini. Namun, sayangnya terdapat risiko laten yang tampaknya terabaikan baik oleh regulator, pelaku startup, dan bahkan masyarakat dari shifting perilaku yang terjadi saat ini.
Risiko laten yang terabaikan tersebut adalah beban ekonomi yang semakin bertambah bagi pihak-pihak yang menggantungkan hidupnya kepada para startup sehingga mempersulit pertumbuhan atau bahkan kemampuan untuk bertahan mereka seiring dengan startup yang mulai bertindak agresif dalam mengejar keuntungan. Pihak-pihak yang terbebani namun selama ini terabaikan adalah para UMKM digital yang umumnya menjadi mitra merchant dari para startup.
UMKM digital sendiri memiliki peningkatan jumlah yang signifikan terutama pada masa pandemi. Data Kemenkominfo bahkan menyebutkan ada sekitar penambahan 12 juta UMKM digital selama pandemi sehingga total UMKM digital di Indonesia menjadi sebanyak 21 juta.
Ini bahkan hampir mencapai sepertiga dari total keseluruhan UMKM di Indonesia yaitu sebesar 64 juta. UMKM digital ini tentu saja mengandalkan layanan teknologi dari para startup agar produk dan jasanya dapat diakses masyarakat luas.
Dengan jumlah yang besar, wajar jika UMKM digital ini menjadi salah satu sumber pemasukan yang signifikan bagi para startup dengan cara dibebankan biaya layanan/komisi. Namun, biaya/komisi yang dibebankan sejauh ini tidak memiliki rambu-rambu sehingga para startup seakan bebas menerapkannya kepada para UMKM digital.
Sebagai salah satu pelaku UMKM digital, saya pun merasakan tantangan yang luar biasa sekarang akibat beban biaya yang tanpa rambu-rambu tersebut. Sebagai contoh, untuk setiap pemasukan hasil produk saya akan dipotong sebesar 25% sebagai komisi.
Ini belum termasuk program promosi yang perlu dijalankan agar pembeli tertarik dan tentu saja juga akan ditanggung merchant. Dalam titik nilai tertinggi, hitungan saya pernah mengestimasi bahwa pendapatan kotor UMKM digital akan dipotong sampai mencapai 40% oleh para startup sebelum diterima oleh UMKM.
Bahkan pendapatan itu belum mencakup untuk kebutuhan bahan baku dan operasional. Setidaknya begitulah gambaran kesulitan UMKM digital saat ini. Namun, para UMKM digital umumnya tidak punya pilihan lain mengingat mereka menggantungkan layanannya hanya pada ekosistem dari para startup ini.
Bukan Rantai Makanan
Memang tidak seluruh startup membebankan biaya atau komisi dengan nilai yang memberatkan para UMKM digital. Namun, ini tentu saja perlu menjadi perhatian segera dari regulator dan industri serta masyarakat agar ada pengaturan yang melindungi para UMKM digital sehingga keberadaannya pun terlindungi. Patut diingat bahwa UMKM merupakan sektor pencipta pekerjaan yang paling besar di Indonesia.
Dengan demikian, semangat untuk melakukan perubahan dalam tata kelola dan operasional startup tetaplah harus memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, yaitu dalam hal ini UMKM digital. Tidak baik jika UMKM digital diibaratkan menjadi bagian dari rantai makanan untuk menunjang keberlanjutan startup yang ada.
Seharusnya UMKM digital dipandang menjadi mitra yang sejajar dan perlu diperhatikan keberadaan dan pertumbuhannya sehingga startup dan UMKM pun menjadi suatu ekosistem yang sehat dan keberlanjutan. Hanya dengan demikianlah, saya kira Indonesia mampu menciptakan mimpi ekonomi digital yang sehat dan bahkan menarik kembali minat investor berinvestasi ke Indonesia sehingga mengakhiri musim kering investasi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.