Konflik Iran-Israel, Tantangan Konsistensi Kebijakan Harga Energi
Pergerakan harga minyak global sepanjang 2023 dapat dikatakan relatif stabil berdasarkan kondisi fundamental pasokan-permintaan yang relatif seimbang dan terkelolanya gangguan pasar dari konflik geopolitik yang terjadi di tingkat global. Sepanjang tahun 2023, rata-rata harga minyak berada dalam kisaran US$ 80–85 per barel, mencerminkan stabilitas pasar yang relatif terjaga keseimbangannya.
Memasuki 2024, harga minyak global dihadapkan pada situasi dan kondisi yang lebih kompleks, dipengaruhi oleh interaksi sejumlah faktor yang menciptakan tingkat ketidakpastian yang lebih besar.
Keseimbangan Pasar Minyak Global dan Konflik Iran-Israel
Secara umum, di atas kertas, berbagai lembaga dan organisasi internasional diantaranya The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan keseimbangan pasokan-permintaan pasar minyak global untuk tahun 2024 secara fundamental akan cenderung seimbang, namun dalam kondisi ketat.
Rata-rata permintaan minyak global pada 2024 diproyeksikan akan berada pada level sekitar 102 hingga 104 juta barel per hari. Permintaan minyak dari wilayah Asia khususnya China dan India diperkirakan masih akan tetap tumbuh positif. Pada tahun 2024, permintaan minyak China diproyeksi akan tumbuh sekitar 0,5 juta barel per hari dan India sekitar 0,3 juta barel per hari.
Sebelumya, permintaan minyak China selama periode 2022/2023 tumbuh sekitar 1,1 juta barel per hari. Sementara dari sisi pasokan, produksi minyak global diperkirakan akan mencapai 102,9 juta barel per hari. Produksi non-OPEC+ diproyeksikan akan meningkat sebesar 1,6 juta barel/hari, sementara pasokan OPEC+ diperkirakan masih akan ditahan-dikelola pada level yang menyeimbangkan pasar secara moderat cenderung ketat.
Perkembangan terbaru saat ini di lapangan, yaitu eskalasi ketegangan geopolitik yang terus memanas dan telah memicu terjadinya perang “baru” di wilayah Timur Tengah, terutama yang melibatkan Iran dan Israel, berpotensi mengganggu keseimbangan pasokan-permintaan pasar minyak global secara fundamental untuk tahun 2024. Tidak hanya sebatas mempengaruhi faktor psikologis pasar, perang Iran-Israel berpotensi memiliki implikasi yang dapat mengganggu volume, keseimbangan, dan kelancaran pasokan dan permintaan minyak global secara fisik.
Di sisi pasokan, Iran sebagai salah satu anggota utama dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), berkontribusi sekitar 12% dari total produksi OPEC. Konflik dan perang yang melibatkan Iran dapat menimbulkan tekanan terhadap OPEC, baik dalam hal kuota produksi minyak mentah maupun strategi lainnya terkait “pengkondisian” harga yang akan diambil.
Perang antara Iran dan Israel berpotensi memicu terjadinya supply shock di pasar minyak global karena saat ini Iran tercatat mengekspor hingga 1,5 juta barel minyak mentah per hari, atau setara dengan 1,5% pasokan minyak global. Iran juga menguasai Selat Hormuz yang merupakan salah satu jalur perdagangan minyak paling penting di dunia.
Sekitar 21 juta barel per hari (bph), atau seperlima dari konsumsi harian dunia, diangkut keluar masuk melalui Selat Hormuz. Perang Iran-Israel dapat dengan mudah memicu terjadinya gangguan lalu lintas transportasi dan perdagangan minyak global yang melalui Selat Hormuz ini.
Di sisi permintaan, perang tentu saja berpotensi menyebabkan terjadinya perlambatan, kontraksi ekonomi, yang jika terus berlanjut juga dapat mengarah pada terjadinya resesi ekonomi global. Simulasi perhitungan Bloomberg Economics memproyeksikan perang terbuka Iran-Israel dapat menyebabkan terjadinya kontraksi Gross Domestic Product (GDP) ekonomi global hingga 1% dan peningkatan inflasi global hingga 1,2% pada tahun 2024.
Dengan adanya perang, keseimbangan pasar minyak global, baik di sisi pasokan maupun permintaan berpotensi terganggu secara fisik di lapangan. Namun, sampai sejauh mana gangguan keseimbangan pasokan-permintaan itu akan terjadi, dan sebesar apa kuantifikasinya, sangat sulit ditentukan karena eskalasi dan jangkauan skala perang yang terjadi juga tidak dapat dipastikan.
Kombinasi dari faktor ketidakpastian yang terjadi terkait perang ini dan kondisi pasar yang sebelumnya telah berada pada kondisi relatif seimbang namun ketat, cenderung akan mendorong pergerakan harga minyak pada tahun 2024 bergerak naik dan lebih fluktuatif, dengan rentang harga yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2023.
Sepanjang tahun 2024, harga minyak global telah menunjukkan fluktuasi lebih lebar pada rentang yang lebih tinggi. Pada kuartal I 2024, harga minyak berada dalam kisaran US$ 80 hingga US$ 85 per barel, sementara memasuki kuartal II 2024, harga minyak tercatat telah berada pada kisaran US$ 90 per barel dan memiliki potensi untuk terus meningkat di sisa periode tahun 2024 ini.
Dampak Kenaikan Harga Minyak ke APBN
Sebagai negara net importer, kenaikan harga minyak global akan berdampak signifikan pada perekonomian nasional. Salah satunya, terutama adalah yang berkaitan dengan alokasi belanja negara untuk subsidi energi di APBN. Dalam APBN 2024, dengan asumsi Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 82 per barel, total subsidi dan kompensasi energi yang dialokasikan untuk tahun 2024 mencapai sekitar Rp 329,9 triliun. Dengan adanya potensi kenaikan harga minyak, beban subsidi dan kompensasi energi yang harus dialokasikan untuk tahun 2024 dengan sendirinya berpotensi akan bertambah.
Perubahan harga minyak mentah (ICP) memiliki sensitivitas yang signifikan terhadap pendapatan negara, belanja negara, dan defisit APBN. Dari berbagai simulasi perhitungan yang dilakukan, salah satunya oleh pemerintah sendiri, menunjukkan bahwa untuk APBN 2024, dengan mengasumsikan bahwa faktor-faktor lain yang berpengaruh dianggap tidak berubah (ceteris paribus), setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel akan meningkatkan pendapatan negara sebesar Rp 3,6 triliun. Namun disisi lain hal itu akan mendorong peningkatan belanja negara sebesar Rp 10,1 triliun.
Hal ini menyebabkan defisit APBN meningkat sebesar Rp 6,5 triliun untuk setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel, ceteris paribus. Jika ICP mencapai US$ 100 per barel, kebutuhan untuk anggaran subsidi dan kompensasi BBM berpotensi membengkak hingga 53% dari yang semula ditetapkan, dan pembengkakan bisa melebihi 78% jika ICP mencapai US$ 110 per barel. Selain itu, level ICP jika mencapai 100 USD/barel juga akan memicu peningkatan alokasi anggaran subsidi LPG hingga sebesar 27,6%, dan dapat meningkat menjadi 40,5% jika ICP mencapai level 110 USD/barel.
Konsistensi Penerapan Harga Energi Sesuai Keekonomian
Pemerintah telah sangat berpengalaman dan tentu saja telah sangat memahami risiko di atas. Resep ekonomi yang secara normatif diperlukan untuk mengatasi permasalahan di atas juga telah sangat dimengerti. Penerapan kebijakan harga energi –terutama harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG– sesuai dengan prinsip dan nilai keekonomiannya, adalah kebijakan yang secara normatif mestinya dilakukan pemerintah untuk menjaga dan mengelola tingkat subsidi dan kompensasi energi nasional dalam APBN 2024.
Dalam implementasinya, hal ini pada dasarnya dapat “disederhanakan”, salah satunya melalui penerapakan kebijakan penyesuaian harga energi terpilih yang dilakukan secara periodik. Kebijakan penetapan dan penyesuakan harga energi secara berkala terhadap jenis BBM non-subsidi pernah dilakukan diantaranya melalui Peraturan Menteri ESDM No 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dan aturan perubahannya.
Melalui aturan tersebut pemerintah melakukan evaluasi kebijakan harga BBM setiap tiga bulan. Hasil dari penerapan kebijakan ini terbukti cukup positif dalam mengendalikan subsidi energi, dengan nilai subsidi mengalami penurunan dari sekitar Rp 1.340 triliun pada periode 2010-2014 menjadi sekitar Rp 609,7 triliun pada periode 2015-2019.
Di sisi lain yang masih terkait dengan pengelolaan kebijakan harga di sektor energi, upaya menjaga daya beli masyarakat dan mengendalikan laju inflasi melalui penerapan subsidi tertarget dan tertutup perlu terus dijalankan dan disempurnakan di tingkat implementasinya. Penerapan secara konsisten kedua langkah ini tidak hanya akan mengarahkan kembali kebijakan harga energi nasional kepada prinsip keekonomian yang semestinya, tetapi juga akan bermanfaat menurunkan beban subsidi pemerintah dan memungkinkan pengalokasian anggaran yang lebih efisien untuk sektor-sektor kunci lainnya yang lebih produktif dalam APBN.
Kenaikan harga minyak dan implikasinya terhadap perekonomian nasional, defisit APBN dan khususnya yang terkait pembengkakan subsidi energi di APBN bukan hal baru bagi pemerintah. Tidak perlu resep dan ilmu baru lagi bagi pemerintah untuk mengatasi hal itu. Hanya perlu niat, kemauan dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk menerapkan secara konsisten apa yang dalam ilmu dasar ekonomi energi disebut sebagai harga energi sesuai prinsip keekonomiannya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.