Swasembada dan Transisi Energi Tanpa Migas?

Pri Agung Rakhmanto
Oleh Pri Agung Rakhmanto
29 Oktober 2024, 07:35
Pri Agung Rakhmanto
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Presiden Prabowo Subianto mencanangkan swasembada energi sebagai salah satu visi dan pilar “Asta Cita” dan program prioritas pemerintahannya. Istilah swasembada energi sebelumnya mungkin telah relatif tergeser dengan istilah yang lebih proporsional, seperti ketahanan dan keamanan energi. 

Sampai saat ini, kita masih sering mendengar istilah transisi energi, yang secara umum dimaknai sebagai pergeseran penggunaan energi dari fosil ke energi baru terbarukan non-fosil. Ini seakan telah menjadi lagu wajib bagi hampir siapapun yang akan berbicara tentang energi. 

Baik swasembada energi maupun transisi energi, keduanya adalah visi dan arah haluan yang positif. Tentunya kita harus dukung untuk merealisasikannya, dengan berpijak pada proporsionalitas atas dasar realitas yang ada. Dalam konteks ini, menjadi penting bagi kita untuk kembali mengingat dan memahami beberapa hal mendasar terkait situasi dan kondisi sektor energi.

Migas dan Energi Nasional

Merujuk data Kementerian ESDM (2023), minyak dan gas bumi (migas) masih menyumbang sekitar 46,46% dari total bauran energi Indonesia; batubara sekitar 40,46%, sementara energi baru terbarukan di kisaran 13,09%. Proyeksi bauran energi nasional dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menunjukkan bahwa migas akan terus memiliki porsi yang signifikan hingga 2050  . 

Outlook Energi Indonesia 2021 yang disusun oleh oleh BPPT juga memberikan gambaran yang relatif sama. Sampai dengan 2050, porsi migas dalam bauran energi nasional diproyeksi masih berada pada rentang 34-44%.

Jika merujuk pada proyeksi RUEN dan BPPT dalam beberapa skenario roadmap energi Indonesia –BAU (business as usual), EV (electric vehicle), NRE (new renewable energy)– diketahui bahwa peningkatan konsumsi migas nasional ke depan kemungkinan tidak dapat diimbangi dari sisi produksi. 

Skenario RUEN memproyeksikan, Indonesia akan mengalami defisit neraca minyak sebesar 679,56 juta barel pada 2030. Sedangkan dalam skenario BPPT defisit neraca minyak diproyeksi sebesar 475,6 juta barel (BAU); 437,56 juta barel (EV), dan 435,6 juta barel (NRE). 

Untuk gas, skenario RUEN memproyeksikan Indonesia akan mengalami defisit neraca gas sebesar 2 juta BBTU pada 2030. Sedangkan dalam skenario BPPT defisit neraca gas diproyeksi sebesar 1,1 juta BBTU (BAU); 1,3 juta BBTU (EV), dan 1,3 juta BBTU (NRE) pada 2030.

Ini berarti, baik dalam konteks transisi energi dan swasembada energi, peran migas sebagai sumber energi masih tetap penting dan strategis. Transisi energi nasional ke depan tetap akan bertumpu pada migas sebagai komponen dan sekaligus jembatan utamanya. 

Sementara pencapaian swasembada energi Indonesia akan sangat bergantung pada seberapa kita mampu mengatasi defisit neraca migas yang ada, baik pada neraca energi maupun pada neraca perdagangannya. 

Swasembada energi di sektor migas, sejatinya memang dihadapkan pada tantangan yang besar, terutama dari sisi penyediaan di hulu. Sebagaimana diketahui, produksi dan cadangan migas nasional hingga saat ini memang terus menurun. 

Selama sepuluh tahun terakhir (2013-2023) rata-rata produksi minyak dan gas nasional masing-masing mengalami penurunan sekitar 3,06% dan 1,87% per tahun. Pada periode yang sama, rata-rata cadangan minyak dan gas masing-masing mengalami penurunan sekitar 5,34% dan 7,49% per tahun.  

Ini disebabkan sekitar 70% dari lapangan existing yang menjadi tulang punggung produksi migas nasional telah masuk kategori mature dan mengalami penurunan produksi secara alamiah. 

Migas dan Ekonomi Nasional

Dalam hal neraca perdagangan, data menunjukkan bahwa neraca perdagangan migas Indonesia selama 2013-2023 selalu dalam kondisi defisit. Selama periode tersebut, rata-rata defisit neraca perdagangan migas mencapai US$12,07 miliar per tahun. 

Selama periode itu, meskipun bukan merupakan penyebab tunggal karena juga menyangkut kinerja ekspor dan impor sektor yang lainnya, defisit neraca perdagangan migas menjadi pemberat dari kinerja neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan. 

Kajian ReforMiner Institute (2021) mengidentifikasi bahwa kebutuhan devisa impor migas baik berdasarkan skenario RUEN maupun tiga skenario roadmap energi BPPT diproyeksikan akan terus meningkat. Kebutuhan devisa impor migas pada 2023 tercatat mencapai US$24,4 miliar atau sekitar Rp380,4 triliun. 

Sementara rata-rata kebutuhan devisa impor migas selama periode 2015 sampai dengan 2022 berada di kisaran Rp290 triliun. Jika mengacu pada skenario RUEN, kebutuhan devisa impor migas diproyeksi sebesar Rp1.391 triliun pada 2030. 

Sementara kebutuhan devisa impor migas pada 2030 jika menggunakan roadmap energi BPPT adalah (1) skenario BAU: Rp525 triliun; (2) skenario EV : Rp495 triliun; (3) skenario NRE Rp491 triliun.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah keterkaitan sektor migas dengan perekonomian nasional secara keseluruhan. Sektor hulu migas, misalnya, secara struktur perekonomian memiliki keterkaitan dengan tidak kurang dari 120 sektor ekonomi dari total 185 sektor ekonomi di Indonesia. 

Seluruh sektor ekonomi yang terkait dengan sektor hulu migas itu tercatat memiliki kontribusi hingga 85% dalam pembentukan PDB Indonesia. Secara keseluruhan, sektor-sektor ekonomi yang saling terkait tersebut juga berkontribusi terhadap sekitar 81% penyerapan tenaga kerja di Indonesia. 

Dengan keterkaitan sektor dalam struktur perekonomian yang seperti itu, pada skenario “ekstrem,” yaitu misalkan sektor hulu migas tidak ada atau industri hulu migas berhenti beroperasi, potensi risiko yang mungkin akan dihadapi oleh perekonomian Indonesia setiap tahunnya diantaranya adalah: (1) kehilangan PDB langsung sekitar Rp420 triliun, (2) kehilangan penerimaan negara langsung sekitar Rp200 triliun, (3) kehilangan investasi langsung sekitar Rp210 triliun, dan (4) kebutuhan devisa impor migas pada 2050 berpotensi meningkat antara Rp2.500 triliun – Rp3.500 triliun.

Jadi, untuk Indonesia, dalam konteks pencapaian swasembada energi maupun di dalam pelaksanaan transisi energi, skenario yang realistis dan proporsionalnya adalah tidak dengan meninggalkan sektor migas itu sendiri. 

Pekerjaan rumah terbesar di dalam pencapaian keduanya justru ada pada bagaimana kita bisa membenahi berbagai persoalan mendasar di sektor migas secara konsisten dan konkret. Berbagai persoalan ini sudah lama ada, tetapi relatif tak mendapatkan perhatian dan penanganan yang memadai. 

Perbaikan atas hal-hal mendasar di tingkat kebijakan strategis seperti penyelesaian revisi UU Migas. Kemudian reformasi sistem subsidi harga BBM dan LPG menjadi sistem subsidi langsung tertarget. Begitu juga percepatan eksekusi proyek migas strategis yang masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional, dan penyederhanaan perizinan perlu menjadi agenda utama dan prioritas program kerja pemerintah dalam waktu segera.

Pri Agung Rakhmanto
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...