Menanti Sikap Kolektif ASEAN di Laut Tiongkok Selatan

Aditya Pratama
Oleh Aditya Pratama
29 Januari 2025, 07:40
Aditya Pratama
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pada 18-19 Januari, 2025 para Menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bertemu di Langkawi, Malaysia. Ini merupakan pertemuan ke-58 kalinya sejak pertemuan pertama mereka pada 1967. Retret ini menandai pertemuan pejabat tinggi ASEAN pertama pada tahun ini yang berfokus pada prioritas-prioritas kepemimpinan Malaysia atas ASEAN. 

Retret Menteri Luar Negeri ASEAN dapat menjadi kesempatan unik untuk membahas tantangan-tantangan kunci kawasan. Salah satunya adalah isu Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang masih memerlukan kejelasan dan persatuan di antara anggota-anggota ASEAN, terutama negara-negara pengklaim. Momen ini krusial bagi kredibilitas ASEAN dalam menavigasi tekanan-tekanan eksternal, termasuk kepentingan-kepentingan strategis Tiongkok. 

Meskipun, usaha-usaha secara berkelanjutan dilakukan, anggota-anggota ASEAN masih kesulitan dalam menemukan titik temu terhadap masalah-masalah LTS. Sebagai contoh, Indonesia baru saja menandatangani pernyataan bersama dengan Tiongkok pada November 2024. Pernyataan tersebut telah mengundang perdebatan mengenai komitmen Indonesia terhadap ASEAN dan prinsip-prinsip Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). 

Perbedaan-perbedaan klaim di antara anggota ASEAN sendiri—Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam—makin memperlemah posisi tawar ASEAN. Oleh sebab itu, retret ini menjadi kesempatan penting selain membahas kembali tumpang-tindih klaim di antara para anggota ASEAN juga untuk mengklarifikasi kebijakan yang baru saja Indonesia sepakati dengan Tiongkok. 

Prinsip utama ASEAN tentang pentingnya konsensus telah lama menjadi kekuatan utamanya. Namun, isu-isu sensitif seperti LTS, ini menjadi pisau bermata dua. Kesepakatan bilateral Indonesia dengan Tiongkok tentang pembangunan bersama di wilayah tumpang tindih di LTS, mengundang perhatian khusus tentang posisi kolektif ASEAN. 

Para pengamat mengatakan bahwa pernyataan Indonesia ini secara tidak langsung merupakan pengakuan terhadap sembilan garis putus-putus Tiongkok di LTS dan memperlemah posisi tawar ASEAN. Sementara itu, di sisi lain Vietnam dan Filipina secara konsisten menolak klaim dan ambisi teritorial Tiongkok tersebut. 

Ketidakmampuan untuk menyelesaikan perbedaan di antara para anggota ASEAN hanya akan menguntungkan aktor-aktor eksternal seperti Tiongkok. Oleh sebab itu, penting untuk mengakui bahwa keretakan ASEAN memperlemah otonomi strategis dan kredibilitasnya, baik dalam konteks regional, maupun global. 

Selain itu, Malaysia sebagai ketua ASEAN pada tahun ini, mempunyai peran penting dalam membentuk diskusi dan menjamin bahwa retret akan menghasilkan kemajuan yang substansial, khususnya Code of Conduct (COC) yang hingga saat ini masih dalam tahap negosiasi.

Prinsip sentralitas ASEAN, menekankan perannya sebagai kemudi perdamaian dan stabilitas regional. Namun, isu LTS menjadi penantang idealismenya, sebagaimana perbedaan-perbedaan di antara negara-negara pengklaim kerap merefleksikan nuansa kepentingan-kepentingan nasional, alih-alih mengutamakan tujuan-tujuan kawasan. Realisme mengutarakan bahwa fragmentasi itu memperlemah posisi tawar ASEAN terhadap Tiongkok, yang merupakan negara dengan pengaruh militer dan ekonomi yang kuat. 

Secara historis, kesuksesan ASEAN dalam menegosiasikan the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) pada 2002 didasarkan pada kemampuan kolektif. Akan tetapi, dua dekade kemudian, CoC tetap masih dalam tahap negosiasi, yang mendasari perlunya mekanisme yang lebih kuat. 

Pengalaman Indonesia sebagai negara yang netral dan bukan berperan sebagai salah satu negara pengklaim telah memposisikannya sebagai mediator kunci. Tetapi, perjanjian bilateral dengan Tiongkok, tanpa berkonsultasi dengan ASEAN, dapat memperlemah kredibilitasnya sebagai mediator.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, ASEAN harus kembali kepada prinsip dasarnya, yakni “bersatu dalam keberagaman.” Mengadopsi pengalaman Uni Eropa (UE) dalam menyelesaikan keamanan maritim di kawasan dan pengutamaan prinsip-prinsip UNCLOS dapat memperkuat upaya-upaya ASEAN dalam rangka membangun kepercayaan dan legitimasi. 

Oleh sebab itu, anggota-anggota ASEAN harus memprioritaskan diskusi yang terbuka dalam retret nanti dalam rangka mengklarifikasi kebijakan Indonesia dan klaim tumpang-tindih di antara anggota ASEAN itu sendiri. Hal ini dapat dicapai dengan mengadakan pertemuan eksklusif pra-retret antara negara-negara pengklaim dan Indonesia yang selanjutnya dibahas dalam retret itu sendiri sehingga dapat ditemukan titik temu yang menjadi basis strategi kolektif ASEAN terhadap LTS.

Indonesia, secara khusus, harus mengklarifikasi pernyataan bersamanya dengan Tiongkok tentang “pembangunan bersama di wilayah tumpang-tindih,” guna menjamin anggota-anggota ASEAN bahwa tindakannya bukan merupakan pengakuan terhadap 90% klaim Tiongkok di LTS dan menjaga komitmennya bahwa tindakannya tetap sejalan posisi kolektif ASEAN. 

Selain itu, ASEAN harus mempercepat negosiasi CoC untuk menjamin adanya mekanisme yang mengikat, khususnya untuk mencegah militerisasi dan eksploitasi sumber daya alam di perairan sengketa. Membangun Gugus Tugas Maritim ASEAN untuk memonitor kepatuhan dan insiden-insiden juga dapat memperkuat kepercayaan dan transparansi di antara negara-negara anggota. 

Terakhir, komunike bersama yang kuat yang menekankan posisi kolektif ASEAN di LTS, akan mengirimkan sinyal persatuan yang jelas kepada aktor-aktor eksternal. Tanpa tindakan yang tegas, ASEAN berisiko kehilangan relevansinya dalam membentuk masa depan maritim kawasan. 

Retret Menteri Luar Negeri ASEAN bukan sekadar kegiatan diplomatik, ini adalah kesempatan untuk mengembalikan kredibilitas dan memperkuat ketangguhan kawasan. Dengan mengklarifikasi klaim dan memperkuat kerja sama, ASEAN dapat menunjukkan persatuannya dalam menangani isu LTS dan mengafirmasi perannya sebagai landasan stabilitas kawasan Indo-Pasifik.

Aditya Pratama
Aditya Pratama
Alumnus Magister Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...