AI Memang Hebat, tapi Bertanya pada Ahlinya Tetap Penting


Kecerdasan buatan (AI) kini mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan paling pribadi, bahkan soal keimanan. Tapi, seberapa besar kita bisa mempercayainya? Di mana-mana, rasanya sulit lepas dari konten buatan AI. Mulai dari merangkum hasil rapat sampai membuat artikel dan video, AI kini jadi alat andalan bagi banyak orang.
Survei Katadata Insight Center (KIC) 2025 menunjukkan, 83,6% masyarakat Indonesia sudah mengenal AI, dan 64,7% di antaranya telah menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Seiring meningkatnya ketergantungan pada teknologi, AI pun mulai membentuk perjalanan spiritual kita.
Namun, perkembangan teknologi sering kali lebih cepat daripada regulasi yang mengaturnya, termasuk dalam konteks ajaran Islam. Hal ini menimbulkan kebingungan tentang sejauh mana kita bisa mengandalkan AI dalam kerangka ajaran Islam. Karena itu, peran ustaz, ulama, dan komunitas Muslim sangat penting untuk membimbing umat dalam menyikapi kemajuan teknologi ini, agar penggunaan AI bisa dilakukan dengan lebih meyakinkan dan bijak.
AI sebagai Titik Awal Interaksi
Sering kali, kita tiba-tiba terpikir pertanyaan tentang keimanan di malam hari saat pikiran mulai mengembara. Kadang, kita juga butuh tahu apakah sesuatu itu halal atau haram ketika sedang bepergian dan membutuhkan jawabannya dengan cepat. Dalam situasi seperti ini, banyak orang mulai beralih ke chatbot AI daripada pakai mesin pencari biasa. Perubahan ini terjadi karena chatbot bisa memberikan jawaban yang lebih cepat, jelas, dan terstruktur. Survei Katadata juga menunjukkan bahwa 93,1% responden merasakan dampak positif dari AI, termasuk meningkatnya produktivitas dan kemampuan menyelesaikan masalah yang kompleks.
Umat Muslim kini makin akrab dengan konten artikel dan video edutainment (edukasi & hiburan) berbasis AI, terutama selama bulan Ramadan. Survei Populix bertajuk “Ramadan 2024: Connectivity, Media Consumption, and Delivery Dynamics” menunjukkan bahwa 41% responden mengakses program khusus yang membahas tradisi Ramadan, 40% mencari berita dan informasi terbaru seputar kegiatan Ramadan dan tema keagamaan, sementara 39% menikmati konten inspiratif yang berfokus pada spiritualitas, amalan kebaikan, dan panduan beribadah.
Jawaban yang dihasilkan AI bisa jadi titik awal yang bagus untuk menggali pertanyaan seputar iman dan Islam. Mudah diakses, cepat digunakan, dan bisa memberikan gambaran umum atas hal-hal yang ingin kita ketahui. Tapi, kita tetap perlu berhati-hati karena jawabannya bisa saja keliru atau menyesatkan. Selain itu, platform seperti ini seringkali kurang transparan soal sumber atau referensi yang digunakan.
Tantangan dalam Menyikapi Konten AI yang Berbasis Agama
Ada tiga tantangan utama dalam menggunakan AI untuk memahami Islam dengan lebih baik. Tantangan pertama adalah soal transparansi terhadap konten dan sumbernya. Di Indonesia sendiri, belum ada aturan yang mewajibkan platform untuk memberi label pada konten yang dibuat oleh AI.
Hal ini bisa menghambat transparansi, apalagi hasil survei dari University of Waterloo menunjukkan hanya 61% dari 260 responden yang bisa membedakan gambar buatan AI dan gambar asli. Jika orang-orang tidak tahu bahwa suatu konten dibuat oleh AI, mereka bisa saja mengira itu buatan manusia dan jadi lebih mudah mempercayainya. Seiring perkembangan teknologi, gambar dan video buatan AI pun akan semakin sulit dibedakan dari yang nyata.
Selain itu, chatbot AI biasanya memberikan jawaban atau membuat artikel dari berbagai sumber tanpa menyebutkan asalnya. Hal ini bisa menyesatkan pengguna karena mereka tidak bisa memverifikasi kebenarannya. Supaya konten dari AI bisa dipercaya, sebaiknya gunakan platform AI yang berfokus pada informasi berbasis agama. Platform seperti ini telah dilatih untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya seperti Al-Quran, hadis sahih, dan para ulama.
Kedua, kurangnya moderasi konten pada platform AI generatif dan chatbot bisa menimbulkan kebingungan dan dampak negatif. Tanpa sumber yang jelas dan moderasi yang memadai, informasi yang diterima bisa jadi belum terverifikasi. Berbeda dengan platform yang memang didedikasikan untuk ajaran Islam, di sana para ahli meninjau konten bahkan sebelum dipublikasikan. Ini juga berarti tim di baliknya perlu memiliki pemahaman tentang fikih dan prinsip-prinsip syariah.
Terakhir, sebagai pengguna, kita perlu bijak dalam menyikapi teknologi apa pun. Meskipun kita tidak bisa sepenuhnya menghindari AI, kita tetap harus selektif. Kita perlu belajar menyaring konten yang kita lihat—apakah dibuat oleh AI, dan apakah sesuai dengan nilai-nilai Islam, misalnya tidak menampilkan sosok nabi dalam bentuk gambar atau video, serta memastikan kutipan ayat Al-Qurannya benar.
Peran Penting Ahli dan Komunitas
Memang benar bahwa kita memerlukan moderator untuk memeriksa konten yang dihasilkan AI, namun peran para ahli dan komunitas jauh lebih luas dari sekadar verifikasi. Yang paling penting adalah adanya komunitas umat yang semangat belajar dari sumber-sumber yang terpercaya.
AI bisa membantu mempermudah banyak hal, tapi proses belajar yang sesungguhnya tetap datang dari ilmu yang diberikan oleh para ahli, lalu didiskusikan bersama saudara-saudari seiman. Dalam Al Quran Surat 16:43 disebutkan, “Bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Ini menunjukkan betapa pentingnya mencari bimbingan dari para ulama dan komunitas Muslim untuk menghindari keraguan atas informasi yang diberikan AI.
Pada akhirnya, AI hanyalah alat. Iman adalah kompas kita. Memperkuat iman bukan sekadar mencari ilmu, tapi juga mencari kebenaran dan membangun kebersamaan dalam komunitas.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.