Asuransi Aviasi: Kecerdasan Risiko Membuka Jalan Baru?
Lini bisnis asuransi aviasi tengah menghadapi tantangan berat. Berdasarkan data dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), premi lini asuransi aviasi pada kuartal I-2025 hanya mencapai Rp204 miliar. Angka ini mencerminkan penurunan tajam sebesar 33,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy).
Penurunan ini bukan sekadar angka statistik, tetapi mencerminkan dinamika kompleks di balik sektor asuransi aviasi nasional. Mulai dari keterbatasan retensi dalam negeri, pengaruh pasar global, efisiensi operator penerbangan khususnya charter yang menunda program asuransi lalu memilih opsi Ground Risk Only (GRO), perubahan profil risiko akibat penyesuaian batas geografis pascapandemi, hingga kekhawatiran kondisi geopolitik terhadap peningkatan risiko perang dan sejenisnya yang belum sepenuhnya terukur. Di tengah tekanan ini, apakah masih ada celah untuk bangkit?
Angin Segar Teknologi
Salah satu jalan keluar adalah pemanfaatan teknologi kecerdasan risiko (risk intelligence). Sistem ini mengandalkan data real-time, pelacakan global aktivitas penerbangan, serta algoritma prediktif untuk memetakan potensi risiko dengan tingkat presisi yang sebelumnya sulit dicapai.
Bagi underwriter (analis risiko), ini seperti memiliki “radar baru” yang mampu menampilkan potret menyeluruh dari performa operasional operator penerbangan, termasuk pola lepas landas dan pendaratan, frekuensi keterlambatan, hingga penggunaan armadanya. Semua ini bisa digunakan untuk menyeleksi risiko lebih cepat, melakukan pricing yang lebih akurat, dan bahkan menghindari akun-akun dengan tren operasional mencurigakan sebelum risiko berpotensi menjadi klaim besar.
Sebenarnya pendekatan ini bukan hal baru. Munich Re telah mengembangkan sistem sejak 1978 melalui World Map of Natural Hazards, kini berevolusi menjadi Location Risk Intelligence. Swiss Re pun mengembangkan CatNet, yang kini menjadi Impact+ dan RDS. Meskipun awalnya untuk lini properti dan bencana alam, pendekatan berbasis kecerdasan risiko kini mulai diterapkan dalam lini aviasi.
Dengan kata lain, asuransi aviasi kini tengah bertransisi dari praktik underwriting konvensional yang meskipun sudah berbasis angka, masih sangat bergantung pada intuisi dan pengalaman. Menuju pendekatan berbasis kecerdasan risiko yang tidak hanya mengandalkan data historis, tetapi juga memanfaatkan analitik perilaku secara prediktif otomatis. Tujuannya menciptakan struktur premi yang lebih sehat, stabil, dan berkelanjutan.
Di Balik Janji Otomatisasi
Di lain sisi, kehadiran teknologi seperti kecerdasan risiko juga memunculkan kekhawatiran tersendiri khususnya di kalangan pelaku industri yang sudah lama berkecimpung dalam underwriting konvensional.
Pertama, ada risiko over-reliance pada data dan algoritma. Meski mesin bisa otomatis membaca pola, tidak semua situasi lapangan bisa dipahami hanya lewat angka. Konteks lokal, seperti kondisi infrastruktur bandara di daerah terpencil Indonesia atau budaya operasional operator penerbangan kecil, sering kali luput dari radar sistem global.
Kedua, otomatisasi juga berpotensi mengikis pengalaman dan intuisi manusia yang selama ini menjadi fondasi dalam underwriting judgement. Apakah kita benar-benar siap menyerahkan semua pada mesin? Bagaimana jika sistem keliru membaca konteks?
Ketiga, muncul pula pertanyaan soal aksesibilitas. Apakah semua perusahaan asuransi, terutama yang skala menengah dan kecil, mampu mengakses teknologi seperti kecerdasan risiko? Jika tidak, kesenjangan informasi akan semakin lebar.
Dari Meja Underwriter ke Kokpit
Ketergantungan pada otomatisasi bukan hanya terjadi di meja underwriter, tapi juga di kokpit pesawat. Salah satu tragedi paling mencolok adalah kecelakaan Ethiopian Airlines ET302, yang jatuh hanya beberapa menit setelah lepas landas dari Addis Ababa pada 2019. Berdasarkan Laporan Final Ethiopian Aircraft Accident Investigation Bureau (ECAA) 23 Desember 2022 mengungkap bahwa sistem otomatis MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) secara keliru mendorong hidung pesawat ke bawah berulang kali, karena menerima input salah dari satu sensor sudut serang (angle of attack).
Tragedi Air India Flight 171 pada 12 Juni 2025 memperkuat kekhawatiran ini. Investigasi awal Directorate General Civil Aviation (DGCA) India mengungkap bahwa kedua tuas fuel control berpindah ke posisi “cut off” hanya beberapa detik setelah lepas landas, menyebabkan mesin kehilangan daya dorong dan jatuh. Meskipun Federal Aviation Administration (FAA) menyatakan tidak ditemukan cacat mekanis pada sistem bahan bakar, peristiwa ini menyoroti pentingnya pemahaman kru terhadap sistem otomatis dan potensi kerentanannya dalam situasi kritis.
Terbaru, Zeusch Aviation Flight 1 pada 13 Juli 2025. Pesawat Beechcraft Super King Air jatuh tak lama setelah lepas landas dari Bandara Southend, Inggris. Menewaskan dua awak dan dua penumpang. Meskipun penyebab masih dalam investigasi Air Accidents Investigation Branch (AAIB). Ada indikasi kuat bahwa sistem otomatis (autopilot, GPS, atau navigation control) berperan dalam manuver ekstrem tiba‑tiba. Tiga kejadian tersebut menyiratkan pelajaran penting, otomatisasi seharusnya membantu, bukan menggantikan akal sehat dan pengambilan keputusan manusia.
Menjembatani Data dan Kearifan Lokal
Alih-alih menolak otomatisasi yang ditawarkan teknologi, sudah saatnya mencari jalan tengah. Menggabungkan kekuatan data global dengan wawasan lokal bisa menjadi salah satu cara bagi industri asuransi aviasi Indonesia untuk bangkit.
Dalam konteks underwriting, data memang memberi gambaran besar, tapi tetap tidak bisa menggantikan sense of judgment dari seorang underwriter yang memahami kondisi riil di lapangan. Sebuah operator penerbangan bisa terlihat “bersih” dalam sistem global, namun seorang underwriter lokal tahu bahwa pemeliharaan dilakukan seadanya atau pilot sering menghadapi tekanan untuk terbang dalam kondisi tidak ideal.
Di tengah dorongan kemajuan aviasi nasional dan kesepakatan perdagangan dengan AS. Komitmen Indonesia untuk membeli 50 unit pesawat Boeing yang di antaranya didominasi tipe berbadan lebar B777 menimbulkan pertanyaan strategis. Apakah kita sudah siap? Investasi sebesar itu tidak hanya soal membeli pesawat canggih, tapi juga soal kesiapan mengelola risiko operasional, teknis, dan keuangan yang menyertainya. Tanpa ekosistem underwriting dan kecerdasan risiko yang solid, belanja besar ini justru berisiko memperbesar eksposur sistemik yang tak tertangani. Industri asuransi harus dilibatkan sejak awal agar keputusan investasi armada sejalan dengan kesiapan analisis risikonya.
Menukil Fadlil Iswahyudi ACII, seorang ahli asuransi senior dalam sebuah forum internal di Jakarta pada Mei 2025 silam “Insurance is an art not a science, but to keep insurance an art, we need a science.” Bahwa intuisi, pengalaman, dan penilaian profesional tetap menjadi inti dalam asuransi. Namun agar seni itu tetap relevan, ia harus ditopang oleh sains: data akurat, teknologi andal, dan analisis yang bijak.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
