SCO dan Diplomasi Keamanan Indonesia

Virdika Rizky Utama
Oleh Virdika Rizky Utama
4 September 2025, 07:05
Virdika Rizky Utama
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Di tengah sorotan terhadap forum-forum multilateral yang kian jenuh, forum Shanghai Cooperation Organisation (SCO) di Tianjin pada 31 Agustus-1 September menawarkan sesuatu yang berbeda. SCO menghadirkan arsitektur keamanan non-Barat yang sedang tumbuh dan menantang dominasi lama. Lahir dari kerja sama keamanan di Asia Tengah, SCO sejak awal berfokus pada isu kontra-terorisme, separatisme, dan ekstremisme. Seiring waktu, ia berkembang menjadi forum yang mencakup latihan militer gabungan, koordinasi intelijen, hingga pertemuan rutin menteri pertahanan. Dengan kata lain, SCO adalah organisasi yang jantungnya tetap berada pada ranah keamanan, sementara agenda ekonomi, energi, dan budaya melengkapi dan memperluas cakupannya.

Dalam dua dekade, SCO tumbuh menjadi forum yang mencakup hampir dua pertiga daratan Eurasia, sepertiga PDB global, dan empat puluh persen populasi dunia. Angka-angka itu memberi skala, tetapi yang lebih penting adalah simbolisme yang ia bawa. SCO adalah wadah alternatif di mana negara-negara non-Barat berupaya merumuskan agenda keamanan di luar orbit Washington atau Brussel. Seperti dicatat Nina Græger dan rekan-rekannya dalam Polarity in International Relations (2022), multipolaritas hari ini tidak lagi berupa kutub kaku atau dominasi tunggal, melainkan jejaring institusi paralel yang mencerminkan distribusi kekuasaan baru. SCO adalah salah satunya.

Kerangka multipolaritas itu semakin jelas jika kita menoleh ke Eurasia. Geoff Raby dalam Great Game On (2024) menyebut kawasan ini sebagai panggung besar kompetisi, tempat Rusia mencari daya ungkit dan Tiongkok memperluas Belt and Road Initiative. Hal Brands dalam The Eurasian Century (2025) bahkan menegaskan bahwa abad ke-21 akan sangat ditentukan oleh siapa yang menguasai jalur energi, logistik, dan pasar Eurasia. Dalam konteks ini, SCO tampil bukan hanya sebagai forum regional, melainkan instrumen untuk membingkai Eurasia sebagai pusat gravitasi baru. Ia tidak seketat NATO, tetapi kelonggarannya justru memungkinkan beragam negara tetap berada di bawah satu atap.

Pertanyaan strategis muncul ketika Indonesia ikut hadir. Status kita baru dialog partner. Itu berarti ruang untuk ikut serta dalam agenda hard security—seperti latihan militer gabungan atau mekanisme berbagi intelijen—sangat terbatas. Bahkan jika status meningkat, ASEAN tetap menjadi pagar. Prinsip Zona Damai, Kebebasan, dan Netralitas ASEAN (ZOPFAN), Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama Asia Tenggara (TAC), serta forum kerja sama pertahanan ASEAN dengan mitra global (ADMM-Plus) menegaskan bahwa keamanan Asia Tenggara dikelola dalam kerangka regional. Terlalu dalam di SCO justru bisa mengganggu kredibilitas kita sebagai pemimpin ASEAN.

Maka yang realistis bagi Indonesia adalah menggarap peluang di luar hard security. Zack Cooper dalam Tides of Fortune (2025) mencatat, dalam dunia multipolar, negara menengah lebih diuntungkan dengan memperkaya kanal diplomasi ketimbang mengunci diri pada satu poros. Hadir di SCO memberi tambahan jalur diplomasi, tanpa membebani dengan komitmen militer yang sulit dipenuhi. Dengan cara itu, Indonesia tetap menjaga prinsip bebas aktif, sambil memperluas jangkauan diplomasi.

Risiko tetap ada. SCO sering ditafsirkan sebagai forum yang berjarak dengan Barat. Tanpa komunikasi yang jelas, partisipasi Indonesia bisa dipersepsi keliru. Bagi Indonesia, kehadiran di SCO bukan hanya soal strategi diplomasi, tetapi juga keberanian untuk hadir di ruang yang tidak selalu nyaman secara naratif—ruang di mana wacana non-Barat sering dibingkai berseberangan dengan tatanan lama. India dan Turki memberi contoh jalan lain. India menjadi anggota penuh SCO sejak 2017, namun tetap aktif di Quad bersama AS dan Jepang. Turki, meski hanya berstatus dialog partner, mampu memanfaatkan SCO tanpa meninggalkan NATO. Keduanya menunjukkan bahwa strategi kehadiran tidak harus berarti afiliasi, melainkan kemampuan membaca ruang dan waktu.

Kehadiran Menlu Sugiono di Tianjin patut dibaca dalam kerangka itu. Diplomasi teknokratik yang ia jalankan mungkin tidak menarik perhatian publik, tetapi justru itulah bentuk diplomasi yang paling jujur—tanpa gestur, tanpa panggung, hanya kerja. Kehadiran Indonesia melalui Menlu menegaskan bahwa diplomasi kita bersifat institusional, berjalan lewat mekanisme yang berkesinambungan. Ini kekuatan penting dalam multipolaritas yang penuh ketidakpastian.

Lebih jauh, SCO membuka peluang konkret dalam isu non-tradisional. Simon Dalby dalam Anthropocene Geopolitics (2020) mengingatkan bahwa geopolitik hari ini terkait erat dengan pangan, energi, dan iklim. SCO dapat menjadi kanal kerja sama dalam tiga hal itu. Dengan Kazakhstan dan Rusia, Indonesia bisa memperkuat pasok gandum. Dengan Tiongkok dan Asia Tengah, kita bisa mengakses teknologi energi terbarukan. Dengan jaringan logistik Eurasia, biaya distribusi dapat ditekan. Ini bukan abstraksi, melainkan kepentingan nyata yang langsung berhubungan dengan stabilitas harga pangan, ketersediaan energi, dan daya saing industri nasional.

Namun SCO bukan hanya arena ekonomi dan energi. Dimensi sosial-budaya juga layak mendapat perhatian. Pertukaran pelajar, riset bersama, dan festival budaya adalah bagian dari agendanya. Di sini Indonesia memiliki modal besar berupa multikulturalisme, Islam moderat, dan jejaring akademik. Potensi kerja sama dapat lebih konkret, misalnya kolaborasi universitas Indonesia dengan lembaga riset di Kazakhstan atau Uzbekistan dalam bidang teknologi pangan dan energi. Program semacam ini tidak hanya memperkuat kapasitas akademik, tetapi juga menautkan kepentingan praktis antara riset dan kebutuhan nyata masyarakat.

Tetapi membaca SCO tidak bisa berhenti pada daftar peluang dan keterbatasan. Penting juga melihat bagaimana forum ini dipersepsikan di kancah global. Banyak pengamat menilai SCO sebagai instrumen strategis Tiongkok dan Rusia untuk menunjukkan bahwa dunia tidak lagi didikte Barat. Di satu sisi, forum ini memberi ruang bagi negara-negara Asia Tengah dan Asia Selatan untuk menegosiasikan kepentingan mereka. Namun di sisi lain, kohesi internal SCO kerap dipertanyakan. Perbedaan tajam antara India dan Pakistan, misalnya, menunjukkan bahwa solidaritas SCO bukanlah tanpa retakan. Fakta ini menegaskan bahwa meski berbasis keamanan, SCO tidak memiliki mekanisme aliansi pertahanan yang mengikat sebagaimana NATO.

Dari sudut pandang Indonesia, membaca SCO berarti juga memahami keterbatasan struktural itu. Partisipasi kita tidak mungkin menjelma menjadi komitmen militer, dan justru di situ letak peluangnya. Indonesia dapat memosisikan diri sebagai negara yang hadir untuk memperluas dialog, bukan memperdalam blok. Dalam multipolaritas yang cair, posisi seperti ini memberi ruang bagi Indonesia untuk menjaga prinsip bebas aktif sekaligus menunjukkan fleksibilitas strategis. Kehadiran di SCO dapat dibaca bukan sebagai tanda berpindah kubu, tetapi sebagai strategi memperbanyak saluran komunikasi ketika ketidakpastian global meningkat.

Namun sikap objektif juga menuntut kehati-hatian. Jika kita terus bersembunyi di balik prinsip bebas aktif tanpa agenda konkret, kita hanya akan menjadi pengamat dalam forum yang menentukan arah dunia. Jalan tengah yang diperlukan adalah membangun agenda substantif yang jelas—misalnya ketahanan pangan, energi hijau, dan kerja sama akademik—sambil secara terbuka menegaskan bahwa komitmen keamanan regional tetap berada di ASEAN. Dengan begitu, keterlibatan Indonesia di SCO akan terbaca jernih sebagai langkah diplomatik yang realistis, kritis terhadap dominasi lama, tetapi tidak larut dalam ilusi aliansi baru.

SCO bukan jawaban, dan tidak akan pernah menjadi jawaban jika kita datang tanpa agenda, tanpa keberanian, dan tanpa kemampuan membaca arah. Ia adalah salah satu forum, bukan forum utama bagi Indonesia. ASEAN, G20, dan PBB tetap menjadi panggung sentral. SCO harus diperlakukan sebagai tambahan kanal, bukan pengganti. Di sinilah kecermatan dibutuhkan. Jika dikelola dengan tepat, partisipasi di SCO bisa memperluas ruang diplomasi dan membuka peluang konkret. Tetapi jika dilibatkan terlalu jauh pada aspek keamanan, risiko justru lebih besar daripada manfaat.

Pada akhirnya, kursi Indonesia di SCO akan bermakna sejauh mana ia diisi dengan agenda realistis. Jika kita mampu membawa pulang stabilitas pasok gandum, proyek energi hijau, penurunan biaya logistik, atau kerja sama akademik lintas Eurasia, maka partisipasi kita akan tercatat sebagai langkah cerdas. Jika itu tercapai, kita hadir. Jika tidak, kita hanya menambah daftar forum yang kita datangi untuk merasa relevan.

Dan jika kita gagal membaca arah, bukan SCO yang keliru, tapi kita yang datang tanpa kompas. Dunia multipolar tidak menunggu negara yang ragu. Ia bergerak bersama mereka yang berani hadir, bukan untuk berpihak, tapi untuk menegosiasikan masa depan dengan kepala dingin dan agenda yang jelas.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Virdika Rizky Utama
Virdika Rizky Utama
Direktur Eksekutif PARA Syndicate

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...