Pentingnya Mitigasi Risiko Teknologi AI

Gennta Rahmad Putra
Oleh Gennta Rahmad Putra
13 September 2025, 06:05
Gennta Rahmad Putra
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Akal Imitasi alias artificial intelligence (AI) tak hanya dapat mempercepat pengembangan riset, mempermudah aktivitas pekerjaan, bahkan dalam pengambilan keputusan. Namun, menurut Stefka Schmid et all (2025), AI juga menjadi arena baru perebutan kekuasaan, kontestasi persaingan geopolitik, kompetisi perekonomian global, serta instrumen politik yang semakin dinamis. 

Dari riset berjudul “Arms Race or Innovation Race? Geopolitical AI Development”, Stefka Schmid mengatakan, AI memang lahir dari sebuah inovasi teknologi. Namun dalam sejarah, teknologi mengajarkan kita bahwa setiap terobosan besar selalu diikuti oleh konsekuensi politik dan perubahan sosial. 

Penemuan mesin uap pada abad ke-18 misalnya, telah memicu revolusi industri sekaligus memperluas praktik kolonialisme oleh bangsa barat. Penemuan internet pada akhir abad ke-20, tak hanya mengubah cara berkomunikasi, tetapi juga ikut memperkokoh praktik monopoli raksasa teknologi global. 

Teknologi AI pun tidak berbeda. AI bukan hanya tentang kecanggihan cara kerja algoritma dan akumulasi data, melainkan juga mengenai siapa yang mengendalikan teknologi itu, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang tertinggal oleh kecepatannya. Dalam artikel berjudul “AI 2027” karya Daniel Kokotajlo et all (2025) memperjelas adanya sebuah kompetisi geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan Cina.  

Kedua negara bersaing untuk menjadi yang terdepan dalam pengembangan AI. Di sisi lain, Uni Eropa mencoba memposisikan diri sebagai regulator dalam hal etika dan regulasi. Mengingat AI juga memiliki implikasi yang membahayakan jika tidak diatasi dari awal (Kusche, 2024). 

Pada sisi korporasi, seperti OpenAI, Google, Meta, dan Baidu menguasai sumber daya berupa kemampuan algoritma, data, dan talenta yang menjadi bahan utama pengembangan AI. Keberadaan mereka tidak hanya sebagai pelaku pasar, tetapi juga sebagai aktor yang mempengaruhi arah regulasi dan distribusi pemanfaatan teknologi. 

AI juga memiliki risiko dan konsekuensi politik serta sosial-ekonomi yang serius. Pertama, ketimpangan teknologi antarnegara. Negara berkembang yang tidak memiliki kapasitas riset dan infrastruktur akan semakin tertinggal, semakin tergantung kepada teknologi negara maju dan menjadi konsumen. 

Kedua, risiko penyalahgunaan karena AI dapat digunakan untuk menciptakan misinformasi dan disinformasi dalam skala besar, meningkatkan propaganda politik, atau melakukan pengawasan massal terhadap aktivitas publik. Hal ini terlihat dari temuan penelitian yang mengatakan bahwa keberadaan teknologi AI juga memiliki implikasi buruk terhadap masa depan demokrasi, terutama pada aspek keterbukaan informasi (Kreps & Kriner, 2023). 

Ketiga, risiko konsentrasi pada kekuasaan. Jika AI hanya dikendalikan dan dioperasikan oleh segelintir negara atau perusahaan tertentu, tentunya berdampak terhadap kebijakan dan arah pengembangan teknologi. Hal tersebut akan mencerminkan kepentingan politik negara tertentu bukan kepentingan global secara menyeluruh. 

Perhatian besar sesungguhnya pada perhatian publik tentang AI masih terjebak pada sisi permukaan. Seberapa pintar AI menjawab pertanyaan dan curhat kita? Apa yang mampu dikerjakan AI buat membantu tugas kuliah, dan sebagainya. 

Seharusnya pertanyaan yang lebih mendasar dan jarang dikemukakan yaitu siapa yang mengendalikan infrastruktur AI global? Bagaimana mengenai pembagian manfaat dan mitigasi risiko yang mesti diatur? Adakah mekanisme koreksi yang cocok untuk memastikan akuntabilitas terhadap dampak sosial dan politik dari pengembangan AI tersebut? Inilah pentingnya tata kelola AI, baik dalam level global maupun dalam level nasional. 

Posisi Indonesia 

Bagi Indonesia, kemampuan untuk memahami aspek kekuasaan AI adalah strategis. Mempunyai populasi besar dan ekonomi digital yang tumbuh pesat, seharusnya Indonesia berpotensi menjadi pemain kompetitif. Bukan sekadar menjadi pasar dalam ekosistem AI global saat ini. Namun, itu semua membutuhkan langkah nyata yang bertahap dan terukur. Mulai dari investasi dalam riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan talenta muda digital, serta regulasi yang melindungi kepentingan publik tanpa menghambat inovasi itu sendiri. 

Indonesia juga perlu melibatkan diri secara pro-aktif dalam forum internasional yang membahas tata kelola AI. Indonesia harus ikut serta memengaruhi aturan main global supaya tidak menjadi penikmat teknologi AI. Tanpa keterlibatan itu, resiko menjadi penerima kebijakan sepihak dari kekuatan besar sangat tinggi. Tentunya ini memiliki efek kepada berbagai sektor pembangunan dan investasi Indonesia ke depan. 

Kita tidak dapat melihat AI hanya sebagai alat bantu produktivitas. AI merupakan infrastruktur dari sebuah peradaban baru. Seperti awal penemuan listrik atau internet ketika itu yang akan melingkupi segala lini kehidupan manusia. Mulai dari pendidikan, kesehatan, pertanian, industri, dan keamanan nasional sangat bergantung terhadap dua inovasi tersebut. Selain itu, mengabaikan aspek politiknya sama halnya dengan menyerahkan masa depan kepada pihak lain yang memiliki sumber daya yang besar. 

Pada era AI ini kompetisi tidak hanya terjadi di medan perang atau pasar saham, tetapi juga di pusat pengelolaan data, laboratorium riset, dan ruangan para pembuat kebijakan (policymakers). Hasil kompetisi ini akan menentukan distribusi kekuasaan global ke depannya. Untuk itu, penting bagi publik, pembuat kebijakan, dan komunitas riset untuk tidak tenggelam dalam kecanggihan teknologi AI. 

AI memang membawa peluang luar biasa, tetapi tanpa pengawasan yang efektif dan akuntabel, semua ini justru akan meningkatkan ketimpangan yang sudah lebar, membatasi kebebasan, dan mengubah keseimbangan tatanan politik global. Diperlukan kesadaran kritis seluruh pihak. 

Kita perlu memastikan bahwa AI dikembangkan dan digunakan demi kepentingan bersama. Tentunya secara berkeadilan dan berkelanjutan. Mengingat, masa depan AI bukan mengenai seberapa cerdas algoritma berakselerasi, melainkan sejauh mana teknologi ini menyelamatkan masa depan generasi yang akan datang.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Gennta Rahmad Putra
Gennta Rahmad Putra
Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Andalas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...