Menggugat Tujuan Pendidikan
Memiliki kualifikasi akademik tinggi tapi terjebak laku destruktif? Pintar tapi turut merusak alam dan korupsi? Sekolah tinggi tetapi kenapa menganggur? Kira-kira gugatan tersebut selalu ditanyakan masyarakat terhadap pendidikan di negeri ini.
Jika kita merefleksikan diri ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam dunia pendidikan dewasa ini. Dalam salah satu tulisannya Henry Giroux menyatakan bahwa pendidikan bukan hanya melatih para siswa untuk pekerjaan tetapi mengajarkan mereka untuk mempertanyakan secara kritis institusi, kebijakan, dan nilai-nilai yang membentuk kehidupan.
Lebih lanjut disampaikan bahwa mengajarkan siswa untuk menjadi reflektif, bijaksana, dan penuh kasih dengan sesama juga mendorong pemikiran kritis tentang dunia yang mereka huni menjadi hal penting yang harus ada dalam dunia pendidikan (Giroux, 2014).
Sungguh berat memang beban pendidikan dalam menjadi ruang penuh pencerahan bagi jiwa-jiwa anak yang merdeka. Dalam proses pendidikan, jika merujuk paparan Giroux, tak bisa semata terpaku untuk mengukur peningkatan skor dalam ujian, tetapi ada tugas yang lebih mulia yaitu untuk pengembangan kreativitas dan tanggung jawab sosial. Dalam faktanya memang dunia pendidikan kini, tak hanya di Indonesia tetapi dalam konteks global diwarnai oleh ukuran-ukuran yang dihasilkan melalui ragam tes.
Dalam bahasa Gert Biesta (2013) disebut bahwa para pembuat kebijakan, politisi, pers, dan lembaga global menginginkan pendidikan yang kuat, aman, terprediksi dan bebas risiko di seluruh level (strong, secure, and predictable). Intinya harus ada ukuran yang jelas dalam konteks learning outcomes. Secara praktik mengukur capaian pendidikan dengan nilai rapor dan ujian lainnya secara kuantitatif memang lebih mudah dilaksanakan ketimbang menggunakan ukuran kualitatif.
Kedalaman pengetahuan anak lebih mudah dicek menggunakan tes melalui pengisian soal-soal, terutama untuk melihat secara akurat pengetahuan mereka tentang materi yang sudah diajarkan. Meski di era saat ini metode asesmen untuk menilai kecakapan anak-anak juga sudah sangat berkembang, tetapi jebakan untuk menilai kualifikasi seseorang dengan melihat hasil pengerjaan tugas atau soal-soal ujian memang masih terus diutamakan.
Yang menantang adalah bagaimana mendidik anak-anak yang kokoh baik secara pengetahuan maupun daya kritis dan juga memiliki kesadaran moral dan karakter sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan? Dalam catatan Mochtar Buchori, pendidikan bermutu harus mempertimbangkan keseimbangan antara pertumbuhan intelektualitas dan moral. Artinya pendidikan mampu menghasilkan orang-orang yang berpengetahuan dan mereka yang tahu apa yang sebaiknya dilakukan dengan pengetahuan itu.
Tantangan
Keunggulan-keunggulan yang diharapkan ada pada diri anak-anak tidak akan tiba-tiba hadir tetapi perlu didesain dengan sistematik dan terstruktur di ruang pendidikan. Pendidikan tak semata mendorong keunggulan keterampilan teknikalitas yang dibutuhkan di dunia kerja saat ini tetapi juga sangat berpengaruh pada kapasitas mental, kepemimpinan, daya pikir kritis, dan tentu manusia yang bahagia. Kerapuhan mental yang selalu digaungkan di media sosial dan di alam nyata saat ini sudah menjadi salah satu potret betapa ada arus kuat yang menantang pendidikan kini.
Ada tantangan untuk tak sekadar memperoleh skor tinggi dalam ujian atau sesuai dengan kebutuhan industri. Meski kita juga tak bisa terhanyut pada narasi, “tidak perlu pintar yang penting berkarakter”. Dua hal itu, jika kembali ke pandangan Buchori, bukan hal yang harus dipertentangkan. Sebab sudah jelas dalam pembangunan pendidikan yang bermutu sisi intelektualitas dan sisi moral adalah dua sisi mata uang yang tidak terlepas.
Arah pendidikan, jika kembali pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara (2013), tidak hanya intelektualisme tetapi juga ada semangat untuk mengabdi, memperhatikan konteks nasional dan kultural juga harus disesuaikan di setiap wilayah. Melalui pendidikan anak-anak mengalami pengalaman lahir dan batin untuk mengenal diri mereka sendiri. Sehingga pada akhirnya anak-anak secara berkesadaran penuh terhadap apa yang menjadi potensi diri dan lingkungannya. Dalam konteks tersebut ada sosok penting guru yang Momong, Among, Ngemong sehingga potensi anak-anak tidak meredup.
Tak mengherankan jika Ki Hadjar Dewantara berkali-kali menyebut soal tujuan pendidikan untuk kefaedahan kebudayaan dan kemasyarakatan atau bertumpu pada komunitas. Menurut saya, hal ini lah yang sesungguhnya luntur dari konstruksi pendidikan hari ini. Sekolah-sekolah membangun dinding yang tinggi baik secara fisik atau mental, sesuatu yang menunjukkan keterpisahan sekolah dari masyarakat. Tak jarang kita melihat sekolah yang megah berdiri di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang padat penduduk dan kumuh. Ironisnya, para peserta didiknya berasal dari luar lingkungan masyarakat tersebut.
Novelis Haruki Murakami (2024), dalam refleksinya terkait sekolah, berpendapat sekolah sepatutnya menjadi ruang yang dapat menenangkan individu dan komunitas. Ia melihat ada situasi di mana sekolah justru menjadi institusi yang menindih daya imajinasi, membuat kepribadian anak-anak tidak berkembang, dan tak melihat anak sebagai individu yang unik. Apalagi menurutnya, dalam konteks Jepang, ada banyak kasus perundungan yang sudah memakan banyak korban dan hal tersebut merupakan tragedi pendidikan. Dan saat ini ruang pendidikan di Indonesia pun dalam kondisi yang serba tak aman karena kasus perundungan menjadi hal yang sering muncul.
Dalam berbagai literatur disampaikan bahwa maju mundur suatu bangsa sangat ditentukan oleh fundamen pendidikan. Lalu seperti apa model pendidikan yang perlu dikuatkan untuk mendidik jiwa-jiwa yang merdeka? Apakah fokus pada perbaikan kurikulum? Meningkatkan pemanfaatan teknologi di ruang pendidikan? Lalu bagaimana posisi nilai dan budaya lokal dalam menentukan arah pendidikan bangsa ini?
Pada titik ini komitmen anak-anak pada soal-soal yang terkait dengan isu-isu sosial justru diredupkan di sekolah lewat pola spasial pembangunan sekolah-sekolah yang memagari anak-anak dengan realitas di luar sekolah. Sekolah-sekolah semakin menjauhkan anak-anak dari kesadaran historis, nilai budaya, dan cita-cita masyarakat. Akhirnya fokus pendidikan adalah membangun keterampilan personal dan cenderung menegasikan kepedulian terhadap sesama. Oleh sebab itu, jika ingin mendidik jiwa merdeka, tentu pendidikan harus berubah dan menjadi corong utama kemajuan kemanusiaan bukan sebaliknya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
