Dari Cermin ke Suar: Menata Ulang Multilateralisme dari Selatan
Selama bertahun-tahun, negara-negara Global Selatan seringkali hanya dipandang sebagai “cermin”, memantulkan norma global yang lahir di Washington, New York, atau Jenewa. Tatanan internasional yang lahir pasca-Perang Dunia II—seperti PBB, Dewan Keamanan, WTO, dan IMF—seakan bersifat universal, tetapi pada praktiknya justru mengukuhkan ketimpangan. Ini adalah sistem yang di atas kertas multilateralistik, namun sejatinya bergerak dengan kredo “segelintir merumuskan, mayoritas menirukan”.
Tatanan itu kini semakin jelas terlihat kebuntuan dan keausannya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menjadi wasit perdagangan bebas, nampak tak bertaji di tengah gempuran tarif Trump. Dewan Keamanan PBB (UNSC) yang menjadi tumpuan perdamaian dunia, buntu dalam meredam berbagai konflik yang dewasa ini muncul di Eropa dan Timur Tengah. Sementara tatanan tata kelola iklim dunia memperlihatkan kerapuhannya di tengah kebijakan “atret iklim” (climate reversal) negara adidaya.
Menciutnya tatanan multilateralistik dunia di satu sisi menumbuhkan pesimisme pada banyak kalangan. Namun, di sisi lain justru membuka peluang bersejarah untuk munculnya tatanan baru. Dalam konteks ini, negara-negara Global Selatan berpotensi mengubah perannya dari hanya sekedar menjadi “cermin” yang merefleksikan norma dan tatanan yang telah aus, menjadi “suar” kebaruan dan terobosan untuk memecah kebuntuan tatanan kelembagaan internasional dalam hal lingkungan hidup, perdamaian, hingga arus pembiayaan.
Kekuatan Menengah Dunia dan Potensinya
Brasil, India, Indonesia, dan negara-negara Teluk turut berkontribusi dalam pergeseran ini. Brasil, misalnya, memanfaatkan presidensi G20 selama 2024 untuk memusatkan agenda pada transisi energi yang adil dan inklusif. Brasil menggabungkan bioekonomi Amazon, penanggulangan kelaparan dan reformasi tata kelola global. Di luar itu, juga meluncurkan Global Alliance Against Hunger and Poverty sebagai kendaraan kolaboratif lintas negara dan lembaga untuk pengentasan kemiskinan-kelaparan secara terukur.
Menjelang COP30 yang akan diselenggarakan di Kota Belém, jantung Amazon, Brasil selaku tuan rumah menjadikan keadilan sosial sebagai lensa investasi hijau. Mereka ingin mendorong agar keragaman sosial masuk sebagai kriteria global dalam taksonomi investasi berkelanjutan dan mendorong pembiayaan langsung bagi masyarakat adat.
Sementara itu, India selaku negara berpopulasi terbesar di dunia menegaskan diri sebagai arsitek tata kelola digital global melalui pengadopsian konsep Digital Public Infrastructure (DPI) pada pertemuan tingkat tinggi G20 di New Delhi pada 2023. DPI dimaksudkan untuk mendorong standardisasi and akselerasi digital untuk layanan publik yang lebih cepat dan inklusif.
Lewat presdensinya di G20, India juga mendorong One Future Alliance (OFA)—inisiatif sukarela lintas pemerintah, sektor swasta, akademia, donor, dan masyarakat sipil—untuk menyinergikan upaya global DPI bagi negara berpendapatan rendah-menengah yang menghadapi tantangan pembiayaan DPI.
Indonesia yang kaya akan mineral dan sumber daya energi, serta negara berpenduduk muslim terbesar, memiliki peran yang tidak kalah penting sebagai jangkar stabilitas sekaligus fasilitator agenda strategis Asia Tenggara. Sebagai ketua ASEAN pada 2023, misalnya, Indonesia memfasilitasi Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik Regional guna mendorong harmonisasi regulasi, kerja sama pembiayaan, dan integrasi rantai pasok lintas negara sebagai strategi industrialisasi hijau kawasan.
Inisiatif ini menyambung agenda integrasi energi, termasuk percepatan ASEAN Power Grid lewat proyek LTMS-PIP (perdagangan listrik Laos–Thailand–Malaysia–Singapura) yang merintis jalan bagi perdagangan listrik multilateral.
Adapun negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar juga semakin aktif menjadi perancang tatanan energi dan keuangan global, melampaui peran tradisionalnya sebagai eksportir minyak. Inisiatif seperti Middle East Green Initiative (MGI) dan Saudi Green Initiative menunjukkan komitmen baru mereka dalam memainkan peran sentral di sektor transisi energi, konservasi karbon, dan teknologi hidrogen.
UEA melalui lembaga pembiayaannya juga semakin agresif menyalurkan investasi strategis ke Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara – tidak hanya dalam energi, tetapi juga proyek agrikultur, AI, dan infrastruktur digital.
Berbagai inisiatif dan terobosan yang dirintis oleh negara-negara kekuatan menengah (middle power) di atas, menggarisbawahi peran penting mereka dalam mengisi dinamika internasional di tengah kebuntuan multilateralisme dewasa ini. Ketika agenda mereka saling bertautan dan melengkapi, lahirlah sebuah polifoni yang tak lagi sekadar menggaungkan suara Utara tapi menawarkan pilihan-pilihan baru.
Peluang dan Tantangan Kerja Sama Lintas Kawasan
BRICS, yang kini diperluas keanggotaannya mencakup sebelas negara middle power, menjadi laboratorium penting dalam meramu dan memadu suara, inisiatif, serta alternatif-alternatif baru lintas kawasan. Gagasan untuk membangun bursa komoditas internasional di luar pasar yang ada saat ini, serta menyiapkan alternatif dolar Amerika Serikat sebagai mata uang perdagangan internasional, menunjukkan ambisi mengubah arsitektur perdagangan dan keuangan global. Tidak dapat dipungkiri, peran Tiongkok memang dianggap sentral di sini, terutama dalam pembiayaan infrastruktur. Namun, ini bukanlah proyek tunggal: India, Brasil, Afrika Selatan dan para anggota baru perlu memastikan orkestrasi ini tidak berubah menjadi atraksi tunggal.
Mendukung keterlibatan dan peran yang lebih luas dari negara-negara di Afrika dengan fokus pada infrastruktur, energi, dan sistem pangan juga menjadi sebuah agenda strategis yang perlu ditempuh oleh BRICs. Dukungan akses pasar, pembiayaan, teknologi, maupun logistik adalah modalitas yang dapat ditawarkan BRICs dalam upaya ini.
Tentunya, kerja sama yang dibangun perlu mengedepankan kerangka keuntungan bersama lewat alih teknologi, penciptaan nilai tambah (value add) domestik, dan penghormatan terhadap kedaulatan Afrika agar jauh dari logika ekstraktif dan eksploitatif—yang dahulu sempat mendominasi alam pemikiran negara-negara Utara terhadap benua ini.
Selain itu, meski ada kemajuan yang signifikan, keterhubungan internal di antara negara-negara Global Selatan maupun anggota BRICS dapat dibilang masih relatif dangkal. Hubungan Brasil-India, Brasil-Indonesia, atau Brasil-Afrika, misalnya, belum bertumpu pada strategi jangka panjang. Multilateralisme yang bermakna tentu butuh institusionalisasi hubungan di luar konferensi tingkat tinggi yang elitis.
Dalam konteks ini, peran aktor internasional non-negara menjadi penting. Jejaring antaruniversitas, pusat riset, pelaku pasar, dan masyarakat sipil mesti dihidupkan dan diintensifkan lewat berbagai program dan fora-fora regional untuk mendorong arus pertukaran budaya, modal, barang, jasa dan manusia yang lebih erat lagi.
Kesamaan nasib dan sejarah memang seharusnya menjadi modalitas dan tumpuan hubungan antarnegara di belahan bumi Selatan yang lebih erat lagi. Kolonialisme yang dahulu menerpa negara-negara memang meninggalkan luka, namun juga memori kolektif, resiliensi bangsa, dan semangat untuk mengejar ketertinggalan. Bertransformasi dari sekadar “cermin” menjadi “suar” berarti menolak posisi periferal dan merancang institusi, aturan, serta narasi baru. Masa depan bergantung pada kemampuan Global Selatan bersuara atas namanya sendiri—dan dengan itu, menata kembali fondasi tatanan internasional.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
