Kolaborasi Sintang di Tengah Keterbatasan Fiskal Daerah

Kartiyus
Oleh Kartiyus
13 November 2025, 06:05
Kartiyus
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Setiap akhir tahun anggaran, daerah-daerah di seluruh Indonesia menunggu satu kabar penting dari pusat: berapa besar alokasi transfer ke daerah (TKD) pada tahun berikutnya. Bagi pemerintah daerah, angka-angka dalam dokumen APBN bukan sekadar formalitas administratif, melainkan jantung kehidupan pembangunan daerah yang menentukan arah kebijakan, keberlanjutan pelayanan dasar, hingga ruang gerak inovasi di daerah.

Namun, pada Rancangan APBN 2026 yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Agustus 2025 lalu, kabar itu datang: transfer ke daerah turun signifikan dari Rp919,9 triliun pada 2025 menjadi sekitar Rp650 triliun pada 2026. Pemangkasan ini setara dengan 29,34% dari total alokasi sebelumnya.

Kementerian Keuangan menjelaskan, penurunan ini merupakan bagian dari strategi konsolidasi fiskal nasional. Anggaran belanja pusat diarahkan untuk menopang program prioritas, termasuk pembangunan infrastruktur strategis, pertahanan, dan program pangan nasional. Namun, bagi banyak daerah, terutama di luar Jawa yang masih sangat bergantung pada TKD, kebijakan ini membuat ruang fiskal semakin sempit.

Di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, misalnya, lebih dari 70% belanja daerah bersumber dari dana transfer pusat. Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sintang mencatat pada tahun anggaran 2024 total pendapatan daerah mencapai Rp2,8 triliun, dengan Rp2,05 triliun di antaranya berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya sekitar Rp250 miliar, atau tidak sampai 10% dari total pendapatan.

Dari total belanja tersebut, sekitar 54% digunakan untuk belanja pegawai, 18% untuk belanja barang dan jasa, dan sisanya untuk belanja modal dan kegiatan pembangunan. Dengan struktur seperti ini, setiap penurunan TKD secara otomatis memangkas kemampuan daerah membiayai program-program publik. Jalan lingkungan yang tertunda perbaikan, irigasi yang tidak tersentuh, hingga program pengentasan kemiskinan yang tertunda realisasinya menjadi konsekuensi yang hampir pasti.

Namun, keterbatasan fiskal juga bisa menjadi momentum untuk berpikir ulang tentang paradigma pembangunan daerah. Di tengah menurunnya dana transfer, daerah tidak punya pilihan selain berinovasi.

Dari Ketergantungan Menuju Kolaborasi

Sejak 2019, Pemerintah Kabupaten Sintang mengembangkan pendekatan kolaboratif. Prinsip dasarnya sederhana, pembangunan tidak dapat hanya bertumpu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kapasitas fiskal pemerintah daerah memiliki batas, sementara kebutuhan pembangunan terus meningkat. Karena itu, seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, sektor swasta, lembaga masyarakat sipil, perguruan tinggi, dan media massa, perlu dilibatkan dalam satu ekosistem pembangunan yang saling menopang.

Pemerintah Kabupaten Sintang menyebut pendekatan ini sebagai kemitraan dengan “Mitra Pembangunan,” yakni jejaring kolaboratif yang terdiri atas perusahaan, organisasi masyarakat, institusi pendidikan tinggi, media massa, dan unsur masyarakat lainnya. Melalui kemitraan ini, pembangunan tidak lagi dipandang sebagai tanggung jawab tunggal pemerintah, melainkan sebagai gerakan bersama untuk mempercepat kesejahteraan dan memperluas dampak pembangunan hingga ke tingkat akar rumput.

Langkah ini dimulai dari pembentukan Sekretariat Bersama Multipihak Pembangunan Lestari Sintang pada Februari 2020. Forum ini menjadi wadah koordinasi antara pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perusahaan, dan lembaga pendidikan, dan media massa lokal. Tujuannya adalah memastikan setiap program pembangunan, baik yang dibiayai oleh pemerintah maupun mitra nonpemerintah, berjalan dalam kerangka tujuan sama, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. 

Kolaborasi itu kemudian diperkuat melalui Peraturan Bupati Sintang Nomor 41 Tahun 2024 tentang Pemerintahan Kolaboratif. Regulasi ini mendefinisikan dengan jelas peran dan kewenangan masing-masing pihak. Pemerintah daerah berperan sebagai pengarah kebijakan dan penjaga tata kelola; perusahaan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) menjadi mitra pendukung pendanaan; lembaga masyarakat sipil berperan sebagai pendamping di lapangan; sementara akademisi menjadi penyedia data, analisis, dan inovasi kebijakan. Pendekatan ini membuat pembangunan berjalan lebih partisipatif, transparan, dan terukur.

Lima tahun berjalan, pendekatan kolaboratif menunjukkan hasil konkret. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sintang, pertumbuhan ekonomi meningkat dari 3,1% pada 2020 –saat pandemi COVID-19 melanda– menjadi 5,9% pada 2024. Inflasi dapat dikendalikan pada level 1,8%, jauh di bawah rata-rata inflasi nasional yang mencapai 2,8% pada periode yang sama.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sintang juga menunjukkan tren positif, naik dari 67,4 pada tahun 2020 menjadi 71,2 pada 2024. Angka kemiskinan menurun dari 12,07% menjadi 8,12%, sementara kemiskinan ekstrem turun drastis dari 2,16% pada 2021 menjadi 0,6% pada 2024.

Angka deforestasi menyusut. Dengan luas wilayah 2,2 juta hektare dan sekitar 59% di antaranya berupa kawasan hutan, Sintang memiliki tanggung jawab ekologis besar di Kalimantan Barat. Selama dekade terakhir, tekanan terhadap hutan meningkat seiring ekspansi perkebunan dan pertambangan.

Pada periode 2016-2019, laju deforestasi di Sintang tercatat mencapai 13.107 hektare per tahun (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020). Namun, berkat penerapan kebijakan Sintang Lestari dan pengawasan izin yang ketat, angka itu turun menjadi di bawah 3.000 hektare per tahun pada 2023. Tujuh izin perusahaan perkebunan yang melanggar komitmen lingkungan telah dicabut, dan tidak ada lagi izin baru yang diterbitkan di kawasan hutan lindung sejak 2021.

Program Sawit Lestari juga dijalankan melalui pendampingan kepada petani untuk memperoleh sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Hingga akhir 2024, sebanyak 2.800 petani swadaya telah mendapatkan sertifikat ISPO, menjadikan Sintang sebagai salah satu kabupaten dengan jumlah petani tersertifikasi terbanyak di Kalimantan Barat.

Semua hasil tersebut merupakan buah dari pemerintahan kolaboratif. Tercatat setidaknya ada 49 lembaga, baik internasional, nasional dan juga lokal, 46 sektor swasta termasuk lembaga keuangan, 8 perguruan tinggi, serta media massa turut berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Sintang. Mereka menjalankan program pemberdayaan masyarakat, perbaikan gizi anak, pengelolaan sumber daya alam, pengembangan ekonomi desa, hingga pembangunan jalan, jembatan, dan sekolah. 

Pemerintahan kolaboratif bukan hanya soal kerja sama antar lembaga, tetapi juga cara berpikir baru dalam tata kelola publik. Setiap tahun sejak 2019, Pemerintah Kabupaten Sintang menyelenggarakan CSR Award, sebagai bentuk apresiasi kepada sektor swasta. Mulai tahun 2024, namanya berubah menjadi Mitra Pembangunan Awards karena fokusnya kini lebih luas untuk memberikan penghargaan kepada mitra pembangunan yang dinilai berkontribusi terhadap pencapaian indikator RPJMD.

Forum tahunan ini bukan seremonial semata. Ia berfungsi sebagai ruang dialog untuk menyelaraskan program lintas sektor, mengidentifikasi tumpang tindih kegiatan, dan memperkuat transparansi publik. Hasilnya, pengawasan publik terhadap penggunaan anggaran meningkat, sementara kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah juga membaik.

Survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Kabupaten Sintang tahun 2024 menunjukkan skor 83,4, naik dari 77,9 pada 2021. Peningkatan ini mencerminkan pelayanan publik, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, semakin dirasakan manfaatnya oleh warga.

Dua puluh lima tahun setelah diberlakukannya otonomi daerah, banyak pemerintah daerah masih bergulat dengan persoalan yang sama: ketergantungan fiskal. Sintang berusaha menafsirkan ulang makna otonomi bukan sebagai “hak menerima dana,” tetapi “kewenangan untuk mengelola potensi dan menggerakkan daya sosial masyarakat.”

Keterbatasan fiskal nasional memaksa daerah untuk beradaptasi dan berinovasi. Tetapi justru dalam keterbatasan itu, muncul ruang untuk membangun tata kelola yang lebih partisipatif dan transparan. Pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya membutuhkan uang, tetapi juga kepercayaan, kebersamaan, dan kesadaran akan tanggung jawab kolektif. Dalam bahasa sederhana: ketika dana berkurang, daya sosial harus diperkuat.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Kartiyus
Kartiyus
Sekretaris Daerah Kabupaten Sintang

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...