Guru, Martabat, dan Negara: Mengakhiri Kriminalisasi Pendidikan
Langkah Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada dua guru asal Luwu Utara, Drs. Rasnal, M.Pd., dan Drs. Abdul Muis Muharram, menandai momen penting dalam praktik keadilan di Indonesia. Keputusan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pemulihan hak individu, tetapi juga sebagai pernyataan moral mengenai penghormatan negara terhadap profesi guru sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban bangsa.
Dalam konteks sistem hukum dan administrasi publik, rehabilitasi merupakan instrumen konstitusional yang memungkinkan negara mengoreksi ketidakseimbangan antara hukum positif dan keadilan substantif. Presiden, melalui hak prerogatif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945, memiliki kewenangan untuk memulihkan nama baik warga negara yang dinilai layak mendapatkan keadilan moral dan sosial. Dalam kasus dua guru Luwu Utara, kewenangan itu digunakan secara tepat—tidak hanya sebagai tindakan hukum, tetapi juga sebagai wujud empati kenegaraan terhadap pengabdian yang tercederai oleh prosedur.
Kedua pendidik tersebut pernah terjerat perkara hukum yang berawal dari mekanisme partisipatif orang tua siswa dalam mendukung kegiatan sekolah. Tindakan yang semula dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan solusi kolektif atas keterbatasan sumber daya justru terbaca secara hukum sebagai pelanggaran administratif. Kasus ini memperlihatkan bagaimana praktik sosial pendidikan di daerah dapat berpotensi berbenturan dengan regulasi yang bersifat formalistik. Dalam konteks inilah, rehabilitasi yang diberikan Presiden memperoleh relevansi moral dan konstitusionalnya: sebagai koreksi terhadap ketidakseimbangan antara niat pengabdian dan tafsir hukum yang terlalu kaku.
Langkah pemulihan tersebut memiliki makna yang jauh melampaui dimensi individual. Ia merepresentasikan pandangan bahwa profesi guru tidak dapat dinilai semata dari kepatuhan terhadap aturan teknis, melainkan juga dari dedikasi moral dan tanggung jawab sosial yang menyertai pengabdiannya. Ketika negara memulihkan martabat seorang guru, sesungguhnya negara sedang meneguhkan kembali prinsip dasar pendidikan nasional: bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kerja kemanusiaan yang luhur, bukan sekadar pelaksanaan kebijakan birokratis.
Sejak awal berdirinya republik, guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa—figur yang menerangi jalan bangsa dengan pengetahuan, nilai, dan keteladanan. Dalam kenyataannya, banyak di antara mereka bekerja dalam keterbatasan fasilitas, sumber daya, dan dukungan struktural. Karena itu, keputusan Presiden Prabowo untuk memulihkan kehormatan dua guru dari Luwu Utara memiliki makna simbolik yang kuat. Ia menegaskan bahwa negara hadir untuk melindungi profesi yang menjadi tulang punggung moral bangsa, bukan untuk membiarkannya tersisih oleh kekakuan administratif.
Tindakan tersebut juga menunjukkan bentuk kepemimpinan yang menempatkan kemanusiaan di pusat kebijakan. Penandatanganan surat rehabilitasi yang dilakukan segera setelah Presiden tiba di Tanah Air dari kunjungan luar negeri memperlihatkan kesungguhan untuk merespons aspirasi publik tanpa menunda. Dalam tradisi pemerintahan modern, isyarat semacam ini memiliki nilai simbolik yang tinggi: bahwa keadilan bagi rakyat kecil tetap menjadi prioritas di tengah agenda besar kenegaraan.
Dari perspektif kebijakan publik, keputusan ini memperlihatkan integrasi antara rasionalitas hukum dan kebijaksanaan moral. Keadilan tidak selalu dapat ditegakkan hanya melalui instrumen hukum formal; ia menuntut kepekaan terhadap konteks sosial dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam kasus dua guru tersebut, rehabilitasi menjadi sarana untuk menegakkan kembali keseimbangan antara aturan dan kemanusiaan—antara teks hukum dan semangat konstitusi.
Lebih dari itu, langkah ini juga berfungsi sebagai pernyataan nilai bagi dunia pendidikan. Bahwa pengabdian guru tidak boleh diletakkan dalam bayang-bayang ketakutan hukum, dan bahwa negara memiliki kewajiban moral untuk memberikan perlindungan terhadap profesi yang memikul beban pencerdasan bangsa. Dalam kerangka ini, rehabilitasi dua guru dari Luwu Utara tidak hanya menghapus stigma, tetapi juga memperluas horizon keadilan itu sendiri: dari sekadar urusan legal menjadi ekspresi tanggung jawab moral negara terhadap pendidiknya.
Keadilan yang dijalankan dengan hati nurani selalu memiliki daya hidup yang lebih panjang daripada keadilan yang hanya berhenti pada putusan. Dalam keputusan rehabilitasi ini, publik menyaksikan bagaimana kebijaksanaan pemimpin dapat mengembalikan martabat dua pendidik, sekaligus meneguhkan kembali rasa percaya bahwa negara hadir untuk menyeimbangkan hukum dan kemanusiaan. Sebab, pada akhirnya, negara yang menghormati guru adalah negara yang sedang membangun martabatnya sendiri.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
