Dari Perayaan ke Perubahan: Cara Kita Memuliakan Guru

Achmad Siswanto
Oleh Achmad Siswanto
25 November 2025, 06:05
Achmad Siswanto
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Setiap 25 November, Hari Guru diperingati dengan berbagai perayaan meriah, mulai dari pemberian hadiah hingga pembacaan puisi tentang pentingnya peran guru dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Momentum ini sering kali dimanfaatkan untuk menyuarakan berbagai gagasan mengenai peningkatan profesionalisme guru. Namun, di balik kemeriahan tersebut, guru masih menghadapi tantangan nyata, terutama tumpukan tanggung jawab administratif dan minimnya dukungan sistemik yang seharusnya menopang kinerja mereka di sekolah.

Saat ini, banyak tugas administratif guru difasilitasi melalui berbagai platform digital seperti e-Kinerja (Ekin), Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), dan Ruang GTK (dulu PMM). Platform-platform ini dirancang untuk mempermudah evaluasi dan pengembangan profesionalisme guru, tetapi dalam praktiknya menimbulkan berbagai kendala. 

Beberapa keluhan yang muncul pada laman Pusat Informasi Kemendikdasmen terkait Pengelolaan Kinerja menunjukkan bahwa nilai SKP yang telah dinilai kepala sekolah sering tidak muncul di E-Kinerja, tugas yang telah selesai di Ruang GTK tidak tersinkronisasi, serta perbedaan nomenklatur sekolah menimbulkan kebingungan bagi guru dan kepala sekolah (kemendikdasmen.go.id).

Berdasarkan pengalaman saya sebagai dosen yang sering berinteraksi dengan guru-guru SMA saat mendampingi mahasiswa praktik mengajar di Jakarta, terlihat jelas bahwa beban administratif yang mereka hadapi tidak semata-mata muncul dari kompleksitas berbagai platform digital. Sejatinya berbagai platform tersebut bagus, tetapi pertanyaannya, mengapa tidak dibuat satu pintu yang benar-benar terintegrasi? 

Dalam praktiknya, guru harus mengajar, mengoreksi, menyiapkan soal, membuat penilaian, menyusun modul ajar, merancang media pembelajaran, hingga menyiapkan soal UTS, UAS, dan try-out TKA. Dengan beban kerja yang begitu besar, wajar jika guru mengalami kelelahan digital—lupa password, lupa akun, atau bingung berpindah dari satu platform ke platform lain. Akibatnya, platform digital rentan dirasakan sebagai beban administratif tambahan.

Kelelahan guru terhadap berbagai platform digital sebenarnya menjadi semakin rumit ketika dihadapkan pada persoalan struktural yang lebih mendasar: ketimpangan distribusi guru dan variasi kualitas tenaga pendidik. Distribusi guru di Indonesia memang tidak merata, dan setiap jenjang pendidikan menunjukkan pola ketergantungan yang berbeda antara guru negeri dan swasta. Pada tahun ajaran 2024/2025, misalnya, jenjang TK hampir sepenuhnya bertumpu pada guru swasta, yang jumlahnya mencapai 339.434 orang—jauh melampaui guru TK negeri yang hanya berjumlah 41.341 orang. 

Namun di SD, situasinya berbalik: guru negeri mencapai 1.403.632 orang, sedangkan guru swasta hanya 237.232 orang. Dominasi guru negeri ini berlanjut di jenjang SMP, dengan 533.197 guru negeri dibandingkan 188.683 guru swasta. Memasuki SMA, jumlah guru negeri memang menurun menjadi 263.498 orang, tetapi tetap jauh lebih tinggi dibanding 96.512 guru swasta pada jenjang yang sama (BPS, 2025).

Selain persoalan distribusi tenaga pendidik, kualitas guru juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Data Kemendikdasmen (2025) menunjukkan bahwa pada tahun ajaran 2024/2025 masih terdapat ribuan guru di berbagai jenjang pendidikan—baik negeri maupun swasta—yang belum menempuh pendidikan sarjana (S1): 78.683 guru TK, 41.066 guru SD, 11.837 guru SMP, dan 13.192 guru SMA/SMK. Meski jumlah guru yang telah menyelesaikan S1 jauh lebih dominan, keberadaan guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik sesuai amanat UU Sisdiknas 2003 jelas ikut memengaruhi mutu pembelajaran di sekolah.

Angka-angka ini menegaskan bahwa persoalan pendidikan guru bukan hanya soal jumlah, tetapi juga kualitas dan kesiapan akademik. Karena itu, momentum Hari Guru seharusnya tidak berhenti pada seremoni, tetapi menjadi pengingat bahwa guru membutuhkan perubahan nyata. Tidak lagi relevan menempatkan guru sebagai aktor pasif yang hanya menjalankan kurikulum dan memenuhi laporan administratif. Guru harus diberi ruang untuk berkembang sebagai aktor yang dinamis, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, dan mengambil inisiatif dalam memajukan pendidikan.

Dalam praktik sehari-hari sebenarnya sudah terlihat bahwa guru bukanlah sosok pasif. Banyak guru yang mengisi kolom esai pada platform digital untuk menyampaikan kritik, ide, dan keluhan pembelajaran. Ada yang memproduksi konten belajar kreatif, menuntun siswanya meraih prestasi di ajang olimpiade sains nasional (OSN), atau menulis penelitian ilmiah yang dipublikasikan di jurnal bereputasi. Tidak sedikit pula guru yang meski belum menyelesaikan S1 terus berupaya menamatkannya, bahkan melanjutkan ke S2 atau S3 karena menyadari tuntutan profesionalisme yang semakin tinggi.

Semangat ini memperlihatkan bahwa guru ingin berkembang. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana struktur kebijakan mampu menjembatani tindakan positif tersebut. Apakah guru—baik PNS, PPPK, maupun guru swasta—mendapat insentif yang layak? Apakah tersedia beasiswa yang mudah diakses bagi guru yang ingin melanjutkan atau menyelesaikan studinya? Apakah platform digital benar-benar menjadi ruang partisipatif untuk menangkap ide dan persoalan yang dihadapi guru, bukan sekadar ruang administrasi?

Di sinilah relevansi pemikiran Anthony Giddens terlihat. Menurut Giddens (1984), tindakan individu—dalam konteks ini guru—selalu terkait dengan aturan atau struktur yang mengatur kehidupan mereka. Aturan ini tidak selalu membelenggu; justru, ia bisa membuka peluang. Hubungan ini disebut dualitas agen-struktur: aturan pendidikan membentuk tindakan guru, tetapi melalui aktivitas sehari-hari—mengajar, meneliti, berinovasi, atau menyampaikan masukan melalui platform digital—guru juga dapat memengaruhi, bahkan menyesuaikan, struktur tersebut agar lebih selaras dengan praktik yang nyata dan kebutuhan pendidikan saat ini.

Contohnya terlihat ketika inovasi pembelajaran yang digagas guru diadopsi sebagai praktik baik sekolah; ketika riset yang mereka lakukan dijadikan dasar penyusunan program pembelajaran; atau saat masukan mereka melalui platform digital berhasil mendorong perbaikan administrasi. Kebijakan yang baik seharusnya membuka ruang bagi semua tindakan positif ini—melalui fleksibilitas administratif, dukungan pengembangan kompetensi, beasiswa lanjut studi, serta akses yang mudah ke publikasi dan forum ilmiah—agar guru benar-benar bisa berkreasi, bereksperimen, dan meningkatkan profesionalismenya.

Karena itu, Hari Guru bukan hanya momentum perayaan seremonial, tetapi juga kesempatan untuk meninjau ulang berbagai kendala yang masih membayangi guru, menyoroti praktik baik yang telah berjalan, dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu diperkuat agar peran guru dalam membentuk generasi masa depan dapat berjalan optimal. Perayaan tidak akan berarti tanpa komitmen untuk memperluas ruang gerak guru dalam bereksperimen, berinovasi, dan mengembangkan kapasitasnya.

Saat guru diperlakukan sebagai aktor aktif yang diberi kepercayaan dan peluang, pendidikan Indonesia akan lebih siap menghadapi masa depan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Achmad Siswanto
Achmad Siswanto
Dosen Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...