Pria Mokondo dan Seni Menjual Maskulinitas Digital

Muhammad Iqbal
Oleh Muhammad Iqbal
29 November 2025, 06:05
Muhammad Iqbal
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Ada satu makhluk yang muncul tanpa diundang di media sosial Indonesia. Ia tidak berjalan. Ia tidak bersuara keras. Ia hanya menetes dari kata-kata. Begitu lampas hingga kita sering mengira ia tidak ada. Padahal ia ada di mana-mana. Warganet menahbiskannya “Pria Mokondo”. Nama yang terdengar seperti karakter dari komik lawas. Namun ia adalah cermin kecil dari cara sebagian laki-laki Indonesia memasarkan dirinya di dunia digital.

Ia hadir melalui chat panjang yang penuh keyakinan. Ia muncul dalam pose bercermin. Ia berbicara seakan ia sedang dikirim Tuhan untuk memperbaiki hidup orang lain. Ia memamerkan diri dengan tenang. Ia percaya bahwa ketampanan dapat lahir dari pilihan kata. Ia anggap cinta itu seperti daftar belanja yang tinggal dicentang.

Kita bisa menemukannya di kolom komentar, di video pendek, di meme, di pesan suara yang terdengar manis, sampai di thread paling receh. Orang tertawa bukan karena ia lucu. Mereka tertawa karena mereka pernah bertemu seseorang yang terdengar mirip. Itulah kekuatan fenomena ini. Ia dibangun dari pengalaman kolektif.

Teori Stance Networks dan Stance Stacking memberi lensa yang jernih untuk membacanya. Bahasa tidak hanya menyampaikan pesan. Bahasa menyampaikan sikap. Barbara Dancygier dan Lieven Vandelanotte dalam The Language of Memes: Patterns of Meaning Across Image and Text (Cambridge University Press, 2025), menjelaskan bahwa nada bicara, emoji, gambar, dan susunan kalimat adalah alat untuk membangun posisi diri dalam percakapan. Pria Mokondo adalah hasil dari kumpulan sikap itu.

Lembut tetapi Menuntut

Pria Mokondo tidak pernah berteriak. Ia selalu terdengar lembut. Akan tetapi kelembutan itu menyimpan permintaan. Ia ingin dipandang. Ia ingin diakui. Ia ingin dipercaya sebagai jawaban dari semua masalah.

Kalimat “Aku beda dari laki-laki lain” terdengar seperti pujian untuk diri sendiri. Kalimat “Kamu itu butuh aku” terdengar seperti vonis yang dikeluarkan tanpa sidang. Tatkala ia mengirim swafoto dengan dagu terangkat, ia sedang memberi pengumuman bahwa ia adalah pusat gravitasi emosional dalam hubungan yang bahkan belum terjadi.

Bahasa seperti ini adalah contoh jernih dari sikap yang dibangun secara digital. Dalam teori Stance Networks, pilihan kata bukan hal kecil. Setiap kata adalah pintu menuju posisi sosial tertentu. Ketika ia menulis seolah olah dirinya adalah pemimpin hubungan, ia sedang menempatkan dirinya di atas panggung pencitraan yang ia bangun sendiri.

Masyarakat membaca ini bukan hanya sebagai teks. Mereka membaca sikap. Mereka membaca niat. Mereka membaca getaran kecil yang lahir dari kombinasi kata dan gambar. Ketika pola ini muncul berkali-kali, publik menirukannya. Lalu mengubahnya menjadi humor.

Persona Instan

Pria Mokondo tidak lahir dari satu kalimat. Ia lahir dari tumpukan banyak kalimat yang saling menguatkan. Dancygier dan Vandelanotte menyebut proses ini sebagai Stance Stacking. Satu sikap diletakkan di atas sikap lain. Lama-lama terbentuklah identitas.

Misalnya, ia menulis dengan penuh percaya diri. Ia menambahkan emoji api. Ia mengirim foto gym. Ia memakai kaos ketat yang menunjukkan bentuk bahu. Ia memberi nasihat laksana seorang motivator. Ia mengulang kalimat yang sama dalam banyak percakapan. Semua unsur ini membentuk karakter digital yang dapat dikenali publik dengan mudah.

Tatkala publik membuat meme, mereka meniru pola yang sama. Mereka mengambil pose yang serupa. Mereka meniru intonasi suara. Mereka merangkai semuanya menjadi parodi yang lebih tajam tinimbang kritik serius. Warganet tidak sedang menciptakan karakter anyar. Mereka hanya mengungkap apa yang sudah lama ada dalam bentuk yang lebih terang.

Fenomena ini memperlihatkan cara masyarakat memahami sikap yang terlalu menuntut perhatian. Ketika satu persona terasa terlalu dibuat, warganet menumpuk sikap balasan. Dari sinilah humor lahir sebagai penyeimbang sosial.

Kejantanan Emoji dan Pose Kamera

Dalam dunia digital, maskulinitas tidak lagi memerlukan raga. Ia tidak perlu dada bidang atau suara berat. Ia lahir dari teks. Dari foto cermin pagi hari. Dari emoji mobil merah. Dari kalimat yang menyatakan diri sebagai penyelamat. Inilah maskulinitas digital yang sedang tumbuh.

Pria Mokondo memperlihatkan bahwa kejantanan dapat diperjualbelikan melalui bahasa. Ia menyusun kesan kelebihan diri. Ia memberikan nasihat tanpa diminta. Ia mengatur orang lain sambil menggunakan kata panggilan manis. Kombinasi ini sering memancing tawa karena terasa seperti iklan motivasi dalam hubungan pribadi.

Masyarakat Indonesia memiliki radar yang kuat terhadap gestur berlebihan. Tatkala seseorang menampilkan diri terlalu tamam, publik merasakan kejanggalan. Responsnya berupa humor. Humor ini bukan sekadar tawa. Ia adalah alat sosial untuk mengatur kembali keseimbangan.

Dalam kerangka Stance Networks, humor adalah cara pembaca mengembalikan kendali. Ketika satu sikap dianggap terlalu memaksa, pembaca membalasnya dengan sikap baru. Sikap itu berupa parodi yang mengurangi aura dominasi. Parodi memberi ruang bagi publik untuk merasa aman.

Mengempiskan Ego

Meme bekerja seperti kaca pembesar. Ia memperlihatkan detail kecil yang biasanya tersembunyi. Fenomena Pria Mokondo menjadi begitu besar karena meme mengangkatnya dari ruang kecil percakapan pribadi ke panggung publik.

Buku The Language of Memes mendedah bahwa meme menyatukan teks dan gambar menjadi bentuk ekspresi yang mampu menunjukkan sikap. Dalam kasus ini, meme menjadi alat untuk mengecilkan persona berlebihan.

Tatkala sebuah foto pria dengan pose gagah diberi teks “Aku itu beda”, publik langsung tertawa. Mereka tahu bahwa kalimat itu pernah muncul dalam percakapan pribadi. Meme mengubah pengalaman individu menjadi pengalaman kolektif. Dari sinilah humor mendapat kekuatan.

Meme juga mengempiskan ilusi kuasa. Ketika seseorang ingin terlihat dominan, meme memindahkan kendali ke tangan publik. Ego yang terlalu mengembang menjadi cair ketika dihadapkan pada tawa bersama.

Identitas Digital dan Kekuatan Nama

Publik Indonesia memiliki kebiasaan memberi nama pada fenomena sosial. Nama itu bekerja seperti label pada botol. Begitu label ditempel, semua orang tahu apa isi di dalamnya. Pria Mokondo adalah hasil dari proses ini.

Nama itu menangkap esensi dari persona digital yang dibangun melalui pose, kalimat, emoji, dan gaya bicara. Nama ini memudahkan publik untuk berbicara tentang sikap yang sama tanpa harus menunjuk individu tertentu. Ia menjadi kategori budaya. Ia menjadi rujukan.

Bahasa gaul bergerak cepat. Setiap era menciptakan istilah baru yang menggambarkan perubahan sosial. Pria Mokondo adalah salah satu produk dari dinamika ini. Ia menjadi simbol dari perilaku yang dilihat sebagai berlebihan. Respons publik melalui humor adalah cara untuk menetapkan batas sosial.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa identitas digital dapat dibangun dari elemen yang sangat kecil. Sebuah kata. Satu foto. Satu kalimat yakin diri. Ketika semuanya diulang, ia menjadi pola. Ketika pola ini dikenali banyak orang, ia menjadi budaya.

Tawa sebagai Kebijaksanaan

Pria Mokondo bukan satu orang. Ia adalah bayangan yang lahir dari cara masyarakat membaca sikap. Ia muncul dari gabungan kata kata yang ingin terlihat kuat. Ia hidup dari repetisi. Ia menjadi besar karena publik memantulkannya dalam bentuk humor.

Teori Stance Networks dan Stance Stacking menolong kita memahami bahwa bahasa adalah rumah kecil bagi identitas. Rumah itu bisa dihuni dengan nyaman. Bisa juga dipenuhi dengan cermin yang membuat penghuninya terlihat lucu.

Pria Mokondo membuat kita tertawa. Ia juga membuat kita berpikir. Ia menunjukkan bahwa publik Indonesia memiliki cara serindai untuk menertawakan dominasi. Tawa itu bekerja sebagai kritik. Tawa itu juga bekerja sebagai nasihat.

Dalam dunia digital yang bergerak cepat, tawa selalu menjadi pilihan yang lebih bijaksana dibandingkan kemarahan. Dalam ruang itu, Pria Mokondo akan terus hidup sebagai pengingat bahwa kejantanan yang paling kokoh bukan dibangun dari kata-kata yang besar. Ia tumbuh dari sikap yang jernih. Ia hadir dari kejujuran yang semenjana.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal
Sejarawan UIN Palangka Raya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...