Kebakaran Baterai dan Pengetahuan yang Belum Menjadi Standar
Insiden kebakaran yang melibatkan baterai litium di fasilitas Terra Drone Indonesia kembali mengingatkan publik pada risiko teknologi penyimpanan energi modern. Investigasi terhadap kepatuhan prosedur keselamatan kerja tentu perlu dilakukan secara menyeluruh dan transparan.
Namun, di luar pertanyaan soal siapa lalai dan siapa bertanggung jawab, insiden ini membuka isu yang lebih mendasar: apakah standar keselamatan energi di Indonesia berkembang secepat teknologi yang kini digunakan industri?
Baterai litium-ion bukan lagi teknologi eksperimental. Ia telah menjadi tulang punggung berbagai sektor, mulai dari kendaraan listrik, sistem penyimpanan energi terbarukan, hingga drone dan pusat data. Namun, karakteristik teknologinya terus berubah.
Kepadatan energi meningkat, desain sel berevolusi, sistem manajemen baterai semakin kompleks, dan skenario kegagalannya pun ikut berubah. Dalam konteks ini, keselamatan tidak bisa hanya dipahami sebagai kepatuhan terhadap prosedur yang bersifat statis.
Pendekatan keselamatan kerja di Indonesia masih sangat berorientasi pada kepatuhan administratif: apakah prosedur diikuti, apakah alat pelindung tersedia, apakah pelatihan dilakukan. Pendekatan ini penting, tetapi tidak cukup.
Dalam teknologi berisiko tinggi seperti baterai litium, pertanyaan yang sama pentingnya adalah apakah standar teknis yang mendasari standard operating procedure (SOP) tersebut masih relevan dengan teknologi terkini.
Di banyak negara maju, standar keselamatan untuk baterai dan sistem penyimpanan energi berkembang secara dinamis melalui keterlibatan aktif komunitas teknis dalam forum internasional. Konferensi dan working group seperti komite IET TC120, International Battery Association, IEEE, atau Energy Storage Association menjadi ruang di mana kegagalan teknologi dibedah secara teknis, lalu diterjemahkan menjadi pembaruan standar, panduan desain, dan regulasi baru. Regulasi tidak lahir di ruang hampa, tetapi mengikuti denyut perkembangan teknologi.
Indonesia, sayangnya, masih relatif pasif dalam ekosistem ini. Peneliti dan praktisi industri energi Indonesia jarang terlibat secara sistematis dalam komunitas teknis internasional yang membentuk standar keselamatan global. Akibatnya, banyak regulasi nasional bersifat reaktif dan tertinggal, diperbarui setelah insiden terjadi, bukan sebelum risiko muncul.
Pendekatan Keselamatan yang Adaptif
Masalah ini tidak bisa disederhanakan hanya dengan memperketat standard operating procedure (SOP). Teknologi baterai terus berkembang dengan kecepatan yang membuat SOP hari ini berpotensi menjadi usang dalam beberapa tahun. Bahkan di negara dengan regulasi ketat sekalipun, insiden tetap terjadi karena kegagalan sering muncul dari interaksi kompleks antara desain, operasi, dan kondisi ekstrem yang belum sepenuhnya dipahami saat standar disusun.
Yang dibutuhkan Indonesia adalah pendekatan keselamatan yang adaptif dan berbasis pengetahuan. Ini berarti membangun mekanisme nasional yang secara aktif memantau perkembangan teknologi penyimpangan energi global, mengevaluasi implikasinya terhadap risiko keselamatan, dan menerjemahkannya ke dalam standar nasional secara berkala. Tanpa itu, industri akan terus beroperasi dengan kerangka keselamatan yang selalu satu langkah di belakang teknologi.
Peran negara dalam hal ini bukan hanya sebagai regulator yang menghukum setelah kejadian, tetapi sebagai fasilitator ekosistem pengetahuan. Kementerian terkait, lembaga riset, perguruan tinggi, dan pelaku industri perlu terhubung dalam satu gugus tugas teknis yang fokus pada teknologi berisiko tinggi seperti baterai litium. Gugus tugas ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan kanal resmi untuk menyerap perkembangan standar internasional dan mengadaptasinya ke konteks Indonesia.
Insiden Terra Drone Jadi Titik Refleksi Nasional
Selain itu, perlu ada pengakuan bahwa keselamatan teknologi adalah isu lintas sektor. Baterai lithium tidak hanya terkait energi, tetapi juga transportasi, manufaktur, digitalisasi, dan keamanan nasional. Tanpa koordinasi lintas kementerian dan tanpa keterlibatan komunitas teknis yang kompeten, setiap sektor akan menyusun aturan sendiri dengan asumsi dan pemahaman yang berbeda.
Insiden seperti yang terjadi di Terra Drone seharusnya tidak hanya berakhir pada laporan investigasi dan sanksi administratif. Ia seharusnya menjadi titik refleksi nasional tentang bagaimana Indonesia mengelola risiko teknologi yang semakin kompleks. Apakah kita hanya bereaksi ketika sesuatu terbakar, atau mulai membangun sistem yang mampu belajar sebelum kegagalan terjadi?
Indonesia sedang mendorong industrialisasi berbasis teknologi tinggi, dari kendaraan listrik hingga energi terbarukan. Ambisi ini sah dan perlu. Namun, tanpa fondasi standar keselamatan yang dinamis dan berbasis ilmu pengetahuan global, ambisi tersebut akan selalu dibayangi risiko yang sama: teknologi datang lebih cepat daripada kesiapan sistem yang mengaturnya.
Keselamatan bukan sekadar soal kepatuhan. Ia adalah soal kapasitas nasional untuk memahami, mengikuti, dan membentuk perkembangan teknologi. Jika Indonesia ingin benar-benar naik kelas dalam industri energi dan teknologi, keterlibatan aktif dalam komunitas teknis global bukan lagi pilihan, melainkan suatu keharusan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
