Begitu menduduki Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, sejumlah langkah diambil Luhut Binsar Pandjaitan. Konsolidasi dilakukan. Beberapa menteri di bawah kendalinya dikumpulkan.
Misalnya, Selasa lalu dia rapat dengan Menteri Perhubungan, Menteri Pariwisata, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Kepada ketiga menteri itu, Luhut meminta sejumlah program strategis dipercepat. Misalnya, pengembangan tempat tujuan wisata, pembangunan kereta cepat, dan proyek-proyek besar di sektor minyak dan gas. (Baca: Dukung 4 Proyek Menteri ESDM, Luhut: Macam-Macam Buldoser Saja).
Tak hanya itu, Luhut juga memberi perhatian atas perkembangan sektor kemaritiman. Pada hari itu juga, Staf Khusus Menteri Koordinator Kemaritiman Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan akan membuka peluang bagi asing untuk bisa terjun dalam usaha perikanan tangkap. Dasarnya adalah kondisi kapasitas dalam negeri yang belum optimal.
Seperti dilansir bisnis.com, Yudhi berargumen bahwa tingkat pembalakan ilegal ikan di laut semakin kecil. Efeknya, jumlah ikan makin membludak. “Kalau kita tidak bisa menangkap, kan sia-sia. Yang dipikirkan adalah bagaimana memaksimalkan potensi yang ada,” kata Yudhi.
Karena itulah, Kementerian Koordinator Kemaritiman akan mengusulkan perubahan Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk mewadahi investor asing masuk bisnis penangkapan ikan, termasuk di Natuna. Dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 yang mengatur DNI, usaha perikanan tangkap memang terlarang bagi pemodal asing.
Dengan usul itu, kata Yudhi, bukan berarti kepemilikan luar akan terbuka lebar-lebar. Misalkan, mereka bisa masuk dengan membentuk usaha patungan atau joint venture.
Semuanya tidak ada yang diharamkan untuk mencari alternatif. Kalau mengharamkan alternatif, kan susah,” ujarnya.
Saat ini pemerintah sedang menghitung kapasitas kapal dalam negeri yang mampu menangkap potensi ikan di Natuna. Jika kapasitas kapal lokal tidak mampu, kemungkinan investor asing masuk ke perikanan tangkap perlu dipikirkan. (Baca juga: Usai Dikunjungi Jokowi, Pemerintah Kembangkan Transportasi Natuna).
Pernyataan Kementerian Koordinator Kemaritiman tersebut sontak membuat Susi Pudjiastuti reaktif. Menteri Kelautan dan Perikanan ini menekankan adanya Daftar Negatif Investasi di sektor perikanan. Di sana disebutkan asing “haram” berkecimpung dalam perikanan tangkap. Sektor ini hanya boleh bagai pemodal dalam negeri.
Dalam hal perikanan laut, perempuan yang kerap menjadi sorotan dunia karena keputusannya menenggelamkan kapal-kapal illegal fishing –seperti Kapal Viking yang legendaris- itu hanya membuka pintu bagi asing dalam pengolahan produk perikanan. “Silakan asing masuk ke dalam investasi pengolahan, pemasaran, teknologi, shipyard yang nonperikanan tangkap,” kata Susi di rumah dinasnya, di Jakarta, Kamis, 4 Agustus 2016. (Baca: Akhir Kisah Viking di Tangan Menteri Susi).
Menurut dia, tertutupnya asing di penangkapan ikan juga merupakan komitmen Presiden Joko Widodo. Di tengah kosongnya peran asing, pemerintah akan mendorong perkembangan teknologi kelautan termasuk dalam kapal penangkap ikan, sehingga Indonesia mempunyai daya saing. (Baca: Jokowi: Masa Depan Indonesia Ada di Laut).
Teknologi maju memang dibutuhkan untuk mengolah kekayaan ikan di lautan nusantara yang begitu besar. Menurut data potensi sumber daya perikanan yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015, Indonesia merupakan negara terbesar kedua penghasil ikan tangkap laut setelah Cina. Produksi ikan per tahunnya mencapai 5 juta ton.
Ada 11 zona sumber ikan tangkap di Indonesia yang selama ini menjadi fokus Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Daerah dengan produksi tertinggi yakni Laut Jawa, Selat Karimata, Natuna, Laut Cina Selatan, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali. (Baca:Mendulang Untung dari Bisnis Ikan Pindang).
Pada 2013, pengelolaan tujuh dari 11 WPP belum optimal. Sedang empat lainnya mengalami over fishing yakni produksi telah melebihi potensi wilayah tersebut. Sebelumnya, pada 2010, over fishing hanya terjadi di dua WPP, yakni Selat Malaka dan Laut Banda. Untuk wilayah over fishing, pemerintah tidak lagi menerbitkan izin penangkapan baru.
Selain produksi berlebih, illegal fishing turut menyumbang menurunnya komoditas tangakapan laut Indonesia. Ketika masih aktif menjadi pengusaha, kata Susi, dalam sehari ia memperoleh belasan ton ikan dan lobster. Sebagian hasilnya diekspor, aktivitas bisnis yang terakhir kali dilakukan pada 2003. Sebab, setelah itu, susah mendapatkannya. “Paling utama penyebabnya adalah penangkapan ikan illegal fishing, masif,” kata Susi.
Atas aksi pencurian besar-besaran tersebut, Kementerian Kelautan dibantu dengan aparat penegak hukum berburu pelaku tersebut. Kapa-kapal yang tertangkap ditenggelamkan setelah dinyatakan benar-benar melanggar. (Baca: Dalam 10 Bulan, Menteri Susi Tenggelamkan 101 Kapal Ikan).
Setelah tindak tegas tersebut, beberapa produk laut kembali mudah didapatkan, di antaranya lobster. Dia mengklaim satu setengah tahun terakhir proses pemulihan, hasil tangkapan nelayan lebih banyak. Jumlah ikan yang diperoleh meningkat, begitu pula dengan nilai ekspornya. Sebagai contoh, ekspor ikan tuna ke Jepang saat ini nomor satu.
Karena itu, Susi berharap Indonesia menjadi produsen terbesar ke tiga di Asia, bukan nomor tiga di Asia Tenggara. Hal itu bisa dicapai jika moratorium kapal asing untuk menangkap ikan di Indonesia dilaksanakan dengan tegas. (Baca: Jokowi: Potensi Perikanan di Natuna Hanya Mampu Tergarap 8,9 Persen).
Atas dasar itu, bila Kementerian Koordinator Kemaritiman meneruskan rencananya untuk merombak Daftar Negatif Investasi terkait investasi asing di penangkapan ikan, Susi menegaskan akan meninggalkan kabinet. “Kalau sampai perikanan tangkap diberikan ke asing, saya siap mengundurkan diri,” katanya. “Reforming perikanan itu harus disiplin dan itu untuk kepentingan sustainability.”
Karenanya, Susi hanya mempersilakan asing masuk ke industri pengelolaan ikan hingga 100 persen. Untuk itu tinggal dikembangkan kerja sama dengan nelayan, pemilik kapal, koperasi, atau pengusaha dlam negeri.
Dalam beberapa kesempatan, Susi memang kerap mengungkapkan ajakannya kepada asing untuk berperan dalam industri pengolahan. Misalnya, tahun ini akan dilakukan percepatan pembangunan sentra perikanan terpadu di Pulau Natuna, di antaranya dengan membangun tempat penyimpanan atau cold storage berukuran raksasa.
Atas rencana ini dia menyebutkan satu perusahaan Rusia telah menyatakan ketertarikannya. Black Space Rusia, perusahaan tersebut, akan membuka 10 cold storage dengan menggandeng perusahaan dalam negeri, Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perindo). (Baca: Menteri Susi: Banyak Bangkai Kapal Hilang).
Dia menegaskan saat ini merupakan momen Indonesia untuk menegakkan kedaulatan di kelautan. “Dulu diizinkan saja banyak kamuflase, apalagi nanti kalau diizinkan lagi,” ujar Susi. Di sini, langkah Luhut membuka keran bagi asing akan mendapat ganjalan.