KATADATA - Selama dua hari ke depan, Dewan Gubernur Bank Indonesia akan menggelar rapat bulanan. Banyak kalangan yang berharap agar bank sentral kembali memangkas suku bunga acuannya yang saat ini berada di posisi 7,25 persen. Langkah tersebut diharapkan dapat mempercepat gerak ekonomi di Tahun Monyet ini.
Pemerintah, misalnya, tak hanya sekali meminta Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan. Lantaran BI Rate yang tinggi ini maka perbankan pun tak mau memangkas bunga kreditnya. Akibatnya, langkah tersebut tidak banyak menolong atas pertumbuhan ekonomi yang sedang lesu. (Baca: Bunga Acuan BI Rate Akhirnya Turun, Rupiah Tetap Stabil).
Sepanjang tahun lalu, BI Rate memang bertengger kokoh pada level 7,5 persen. Karena itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, secara bergantian, kerap menyindir sikap gamang bank sentral unutk mengambil langkah progresif. Lantaran dorongan ini, pemerintah dituding mengintervensi Bank Indonesia.
Misalnya, dalam pertemuan tahunan bank sentral pada akhir November tahun lalu, Jusuf Kalla mengecam alasan BI yang enggan mengurangi suku bunga acuan karena khawatir atas ketidakpastian kenaikan suku bunga Amerika Serikat atau Fed Rate. Sebab, Kalla melihat sejumlah faktor justru menunjukkan kemungkinan BI untuk mengambil kebijakan sebaliknya, seperti inflasi yang rendah dan mengecilnya defisit transaksi berjalan.
Dalam penutupan perdagangan di pasar modal pada akhir tahun lalu, Kalla kembali menyerukan perlunya pelonggaran kebijakan moneter. Dia menganggap lantaran BI Rate yang masih tinggi memicu perbankan berlomba menawarkan bunga deposito besar. Alhasil, masyarakat lebih memilih menyimpan duitnya di perbankan daripada menaruh di pasar saham atau investasi lainnya. “Kalau deposito lebih tinggi, orang akan memilih deposito daripada di bursa,” kata Kalla ketika itu. (Baca: Bursa Saham Melempem, Wapres Kalla Salahkan Perbankan).
Atas permintaan berbagai pihak tersebut, BI lebih memilih jalan ekstra hati-hati. Tekanan terhadap rupiah bila suku bunga turun menjadi satu di antara pertimbangan utama. Faktor lain yang begitu dicermati yaitu keputusan bank sentral Amerika, The Federal Reserve, mengerek bunga acuannya. Hal ini dikhawatirkan dapat memicu pelarian besar-besaran dana asing dari Indonesia.
Kecemasan tersebut akhirnya tak terbukti. Pada 17 Desember 2015, The Fed memutuskan Fed Rate menjadi 0,25 - 0,5 persen. Langkah tersebut malah membuat para investor lega karena mengakhiri ketidakepastian hampir tiga tahun terakhir. Pada hari itu, rupiah pun menguat dan lantai bursa menghijau.
Melihat situasi tersebut, juga perkembangan sejumlah indikator ekonomi mutakhir, rapat Dewan Gubernur BI pada 14 Januari 2016 memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 7,25 persen. Penurunan ini untuk pertama kalinya dilakukan setelah BI menahan suku bunga di level 7,5 persen selama 11 bulan berturut-turut.
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara, penurunan dilakukan setelah BI melihat ada peluang untuk melakukannya. “Seiring terkendalinya inflasi dan ekonomi Indonesia di awal 2016,” kata Tirta usai bank sentral mengumumkan kebijakan tersebut. (Baca juga: Kritik Bunga Tinggi, Jusuf Kalla: Giliran BI Dengarkan Pemerintah).
Sayang, keputusan bank sentral mengurangi bunga acuan tak serta-merta diikuti oleh perbankan untuk memangkas buga kredit atau bunga deposito. Harapan pemerintah agar masyarakat menikmati bunga rendah pun belum terwujud. Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, perbankan masih berkompetisi memperoleh Dana Pihak Ketiga. Padahal dengan BI Rate turun 0,25 persen seharusnya bunga deposito bisa mendekati level suku bunga operasi moneter BI tiga bulan dan satu bulan yakni 6,5 dan 6,1 persen.
Rupanya, kataMirza, bank kesulitan menurunkan bunga deposito karena ada 200 ribu deposan -individu atau korporasi- dari sekitar 170 juta rekening yang menguasai 57 persen Dana Pihak Ketiga di perbankan dalam negeri. “200 ribu rekening ini yang minta bunga deposit tinggi,” kata Mirza. Alasannya, mereka menilai dengan inflasi yang tinggi semestinya mendapatkan kompensasi tingkat bunga yang besar pula.
Namun, alasan tersebut sebenarnya tak cukup beralasan. Pasalnya, kekhawatiran inflasi tinggi sudah terlewati, sebab per akhir tahun lalu levelnya hanya 3,35 persen, di bawah perkiraan sejumlah lembaga dan pelaku bisnis yang memprediksi hingga lima persen. (Baca: Penurunan Bunga Bank Tersandera 200 Ribu Deposan Kakap).
Melihat kondisi tersebut, Jusuf Kalla kembali menekankan perlunya bunga rendah agar ekonomi lebih bergairah. Dalam acara Indonesia Property Expo 2016, akhir pekan lalu, Kalla menyatakan pemerintah tengah menyusun kebijakan agar bunga perbankan bisa diturunkan. Misalnya, untuk bunga Kredit Pemilikan Rumah Komersial, bunga akan ditekan dari 10 – 12 persen menjadi enam hingga tujuh persen.
Angin segar ini pun mendapat sambutan positif dari Asosiasi Pengembang Real Estate Indonesia. Bila kredit rumah rendah, mereka yakin daya beli masyarakat terhadap produk perumahan akan terdongkrak. Dengan bunga rendah, beban konsumen akanlebih ringan.
Harapa tersebut makin mudah terealisasi bila suku bunga acuan Bank Indonesia kembali diturunkan. Apalagi beberapa ekonom menilai, sejumlah indikator perekonomian saat ini memungkinkan bagi bank sentral untuk memangkas lagi BI Rate pada pertemuan bulanan besok: mengakhiri rezim bunga tinggi.
Ekonom Standard Chartered Aldian Taloputra mengatakan setidaknya ada tiga faktor yang menjadi peluang BI untuk menurukan BI Rate. Pertama, inflasi terkendali pada level yang cukup rendah. Sepanjang 2015, inflasi hanya 3,35 persen. Januari lalu, bahkan posisinya berada di level 0,51 persen secara bulanan, di bawah prediksi BI yang memperkirakan menyentuh 0,75 persen.
Kedua, neraca perdagangan Indonesia bulan lalu kembali surplus senilai US$ 50,6 juta atau sekitar Rp 683 miliar. Walau nilai plus ini disebabkan oleh jatuhnya angka impor yang cukup dalam dibanding ekspor, Aldian menganggap hal itu masih relatif baik. Sebab, impor barang konsumsi masih naik walau impor raw material turun. “Angka trade masih sejalan dengan tren perbaikan permintaan domestik,” kata Aldian kepada Katadata, Senin, 15 Februari 2016.
Faktor ketiga yaitu nilai rupiah yang relatif sudah “aman” dari pengaruh global, dalam hal ini efek dari kenaikan Fed Rate. Menurut Aldian, tekanan atas rupiah ini kerap menjadi alasan BI untuk menunda mengurangi BI Rate. Namun, pernyataan Ketua The Fed Janet Yellen yang mengisyaratkan akan menahan bunga dalam posisi rendah membuat rupiah makin stabil. (Lihat juga: Langkah Baru BI Antisipasi Kenaikan Bunga Fed Rate).
Atas sejumlah indikator tersebut, Aldian menyarankan BI untuk kembali memangkas BI Rate dalam beberapa tahap. Dalam angka yang cukup moderat dia menyodorkan angka 25 basis poin per tahap. “Hingga akhir tahun, BI berpeluang menurunkan BI Rate menjadi 6,75 persen,” ujarnya.
Dorongan agar bank sentral tak terus memasang bunga tinggi juga diungkapkan oleh Faisal Basri. Dengan argumen yang mirip, ekonom dari Universitas Indonesia ini pun mendorong BI kembali menurukan BI Rate 25 basis poin. Alasannya, pertama, inflasi menunjukkan kecenderungan menurun. Indonesia akan merugi bila tak memanfaatkan kejatuhan harga komoditas. Karena kejatuhahn harga ini, beberapa negara Asia Tenggara mengalami deflasi.
Terkait dengan tekanan terhadap rupiah imbas dari pergerakan Fed Rate, hal ini pun tak perlu lagi dirisaukan. Sebab, The Fed kemungkinan akan menerapkan suku bunga negatif. Sehingga pelarian modal asing kecil kemungkinan terjadi. Terakhir, kejatuhan harga minyak mentah dunia yang sudah berada di kisaran US$ 30 per barel. Murahnya “emas hitam” ini tentu akan menurunkan harga bahan bakar minyak.