KATADATA - Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dalam dua tahun ke depan. Penyebabnya, perekonomian dunia tengah menghadapi penyesuaian terhadap tiga masalah besar yang berisiko menimbulkan dampak negatif.

Dalam laporan kuartalannya bertajuk “World Economic Outlook Update” yang dirilis Selasa lalu (19/1), IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini sebesar 3,4 persen, atau turun dari prediksi awal yang dibuat IMF pada Oktober 2015 sebesar 3,6 persen. Sedangkan tahun 2017 diperkirakan sebesar 3,6 persen, lebih rendah dari taksiran awal 3,8 persen. "Tahun mendatang merupakan tahun tantangan besar dan pembuat kebijakan harus berpikir tentang ketahanan jangka pendek dan serta meningkatkan pertumbuhan ekonominya,” kata Maurice Obstfeld, Direktur Riset dan penasihat ekonomi IMF, dalam siaran pers IMF.

Perkiraan itu berdasarkan pemetaan IMF bahwa pertumbuhan ekonomi global masih lemah dan tidak merata di semua negara, bahkan risiko lebih besar membayangi  negara-negara pasar ekonomi berkembang (emerging market). Ekonomi negara-negara maju mulai pulih, yang ditandai dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 2,1 persen dan stabil hingga tahun depan. Kondisi keuangan di Amerika Serikat (AS) lebih baik untuk memperkuat sektor perumahan dan pasar tenaga kerja. Sedangkan di kawasan Euro, konsumsi swasta menguat berkat rendahnya harga minyak. Hal serupa diharapkan terjadi di Jepang.

Sebaliknya, IMF melihat negara-negara emerging market dan negara berkambang akan menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Perkiraannya, pertumbuhan ekonomi tahun ini dan 2017 masing-masing sebesar 4,3 persen dan 4,7 persen, lebih rendah 200 basis poin dari proyeksi sebelumnya. Ini merupakan realitas baru karena selama beberapa tahun terakhir negara-negara berkembang seakan imun dari krisis global dan menjadi penghela perekonomian dunia.

Mayoritas negara emerging market dan negara berkembang mengalami perlambatan ekonomi. Di Asia, pertumbuhan ekonomi Cina tahun ini diperkirakan 6,3 persen atau lebih rendah dari tahun lalu sebesar 6,9 persen. Sedangkan ekonomi lima negara ASEAN, termasuk Indonesia, diramal 4,8 persen atau lebih rendah dari taksiran awal sebesar 4,9 persen. Bahkan, ekonomi Rusia dan Brasil masih mengalami resesi. Cuma India yang menunjukkan kekuatan perekonomiannya dengan perkiraan pertumbuhan tahun ini sebesar 7,5 persen.

(Baca: Bank Dunia Peringatkan Ekonomi Negara Berkembang Hadapi Risiko Besar)

Secara khusus, IMF menyoroti risiko perlambatan ekonomi yang terjadi di negara-negara emerging market dan negara berkembang bisa bermuara pada tertahannya pemulihan ekonomi global. Alhasil, perekonomian dunia menghadapi penyesuaian tiga masalah besar yang jika tidak dikelola secara baik akan menimbulkan efek negatif.

Pertama, perlambatan ekonomi Cina karena tengah menjalani transisi model pertumbuhan yang lebih bertumpu pada konsumsi dan sektor jasa di masa depan. Ini bisa memicu efek berantai ke negara-negara lain karena selama ini Cina merupakan konsumen produk-produk komoditas dan negara dagang terbesar bagi sejumlah negara berkembang.

(Baca: BI Ramalkan Empat Faktor Membayangi Ekonomi 2016)

Kedua, efek Cina tersebut akan memicu perlambatan ekonomi negara-negara berkembang, yang selama ini menjadi lokomotif perekonomian dunia saat ekonomi AS dan Eropa melemah. Apalagi, rendahnya harga komoditas turut memukul ekonomi negara berkembang.

Ketiga, kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve) yang meninggalkan rezim bunga nol persen sejak akhir tahun lalu. Kebijakan ini akan semakin memperkuat mata uang dolar dan memperketat pembiayaan global. Alhasil, kondisi keuangan perusahaan menjadi tertekan yang ujung-ujungnya mempengaruhi ekonomi di masing-masing negara. “Secara keseluruhan, ada banyak ketidakpastian di luar sana dan saya berpikir itu akan menimbulkan gejolak,” kata Obstfeld. Dan menurut dia, gejolak ekonomi itu akan lebih dirasakan oleh negara-negara emerging market dan negara berkembang pada tahun ini.

Kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi Cina yang memicu efek spiral ke negara-negara berkembang, sebelumnya telah dinyatakan Bank Dunia. Dalam laporannya bertajuk “Global Economic Prospects” edisi Januari 2016, yang dirilis 6 Januari lalu, Bank Dunia memperkirakan laju perekonomian negara berkembang, yang sebelumnya berperan besar bagi pertumbuhan dunia, diperkirakan masih terus melambat. Pertumbuhannya pada tahun ini diperkirakan 4,8 persen (sama dengan ramalan IMF), atau lebih rendah dari proyeksi yang dibuat Bank Dunia pada Juni 2015 lalu sebesar 5,4 persen.

(Baca: IMF Menilai Kinerja Ekonomi Indonesia Tahun Ini Memuaskan)

Secara lebih spesifik, pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, tahun ini sebesar 6,3 persen. Ini lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya 6,7 persen. Sebagai gambaran, ekonomi Cina tahun ini diperkirakan melambat menjadi 6,7 persen, sementara Rusia dan Brasil tetap terbelit resesi. “Ada perbedaan besar antara performa negara-negara berkembang. Dibandingkan enam bulan lalu, kini lebih banyak risiko,” kata Wakil Presiden dan Ekonom Utama Bank Dunia Kaushik Basu, dalam siaran pers Bank Dunia.

Alhasil, Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya 2,9 persen (lebih rendah dari ramalan IMF), atau lebih baik dari pencapaian 2015 sebesar 2,4 persen. Namun, angka itu lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,3 persen.

Mengacu kepada tantangan itulah, IMF menyarankan agar pemerintah di negara-negara emerging market dan negara berkembang membuat kebijakan untuk mencari sumber-sumber pertumbuhan baru. Dengan begitu, bisa turut mengangkat  perekonomiannya ke tingkat pendapatan ekonomi maju. Selain itu melakukan reformasi struktural untuk menghilangkan kemacetan infrastruktur, memfasilitasi lingkungan bisnis yang dinamis dan meningkatkan sumber daya manusia.

Reporter: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami