- Partai NasDem sejatinya ingin mengumumkan deklarasi capres pada November mendatang, tetapi dipercepat di tengah agresivitas KPK mengusut dugaan kasus korupsi Formula E yang melibatkan Anies Baswedan.
- NasDem masih perlu memperkuat posisi dengan membangun koalisi agar bisa mengamankan jalan Anies.
- Anies dinilai memiliki pilihan terbatas dalam mencari pendamping wakil presiden.
Gemuruh riuh kader partai Nasional Demokrat terdengar Senin (3/10) pagi, di kantor DPP Partai Nasional Demokrat. Para kader menyambut antusias deklarasi Ketua Umum NasDem Surya Paloh yang menetapkan Anies Baswedan sebagai calon presiden NasDem di 2024.
“Anies Presiden! Anies Presiden!,” teriak para kader.
Paloh kemudian menjelaskan alasannya memilih Anies lantaran memiliki visi yang sama dengan Nasdem, baik secara makro dan mikro. Ia pun berharap agar Anies bisa menjadi pemimpin yang membawa persatuan dan mendorong perbaikan karakter bangsa. Anies pun menyambut dukungan ini dengan kesediaan hati, sekaligus meminta izin untuk menuntaskan kepemimpinannya di DKI Jakarta.
Ini kabar yang mengejutkan dalam peta politik nasional. Sebelumnya, beredar kabar NasDem baru akan melakukan deklarasi capres pada November mendatang. Sejumlah petinggi Nasdem yang dihubungi Katadata juga mengonfirmasi soal ini.
“Keputusan ini memang mendadak banget,” kata salah seorang petinggi NasDem.
Ketika Surya Paloh ditanya alasannya mempercepat deklarasi, ia menjawab diplomatis. Menurutnya birokrasi di NasDem tidak berbelit-belit. Ia hanya perlu musyawarah sebentar dengan para petinggi partai lainnya, kemudian mengambil keputusan.
“Saya melihat ini hari baik, sederhana.” katanya.
Kendati demikian, Surya Paloh mengklaim ia bahkan sudah menjalin komunikasi dengan Presiden Joko Widodo terkait keputusan ini. Ia mengaku terus menjalin komunikasi personal dengan Presiden, termasuk kabar soal deklarasi Anies Baswedan.
“Beliau ucapkan baik, bagus. Saya menghargai itu,” kata Paloh, mengutip ucapan Jokowi.
Deklarasi dadakan Anies Baswedan sebagai capres NasDem ini memantik perhatian publik. Pasalnya, saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah intens menyelidiki kasus Formula E. Anies bahkan sudah pernah dipanggil pada 7 September 2022 silam dan menjalani pemeriksaan hingga 11 jam.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan pihaknya akan melanjutkan penanganan kasus dugaan korupsi Formula E, meskipun NasDem sudah mengusung Anies sebagai capres.
“KPK sangat menyayangkan proses penanganan perkara Formula E yang telah taat asas dan prosedur hukum ini justru kemudian diseret-seret dalam kepentingan politik oleh pihak-pihak tertentu," kata Ali.
Sementara itu, Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menilai saat ini memang ada kekuatan politik yang terlihat ingin menjegal Anies menuju kursi RI-1.
“Target operasi politik kompetitor Anies adalah menciptakan damage lebih dulu untuk mengalienasi Anies dari Pilpres, untuk selanjutnya bisa dihentikan kasusnya ketika Anies tidak lagi masuk dalam pusaran politik nasional,” jelas Umam.
Umam menilai langkah NasDem mempercepat deklarasi calon presiden ini menjadi langkah penting untuk mengamankan jalan Anies. Selanjutnya, NasDem bisa mendorong koalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat untuk memperkuat posisi.
“Jika gerbong koalisi ini dideklarasikan, maka akan menjadi kekuatan koalisi terbesar dengan angka 28,5% kursi di DPR, melampaui rencana koalisi lainnya,” ujarnya pada Katadata, Senin (3/10).
Panaskan Tensi Politik
Manuver Partai NasDem mempercepat deklarasi pencapresan Anies kian memanaskan peta politik di Tanah Air. Tak lama setelah Paloh mendeklarasikan Anies, Presiden Joko Widodo menyampaikan gestur politiknya saat mengunjungi Kawasan Industri Terpadu Batang, Jawa Tengah. Dalam agenda itu, Presiden beberapa kali terlihat berbicara empat mata dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Jokowi bahkan mengajak Ganjar untuk ikut satu mobil dengan dirinya.
Jokowi memang belum secara terang-terangan memberikan dukungan kepada Ganjar. Namun, di akar rumput, relawan Pro Jokowi (Projo) sudah terang-terangan menyampaikan dukungannya kepada gubernur Jawa Tengah tersebut.
Posisi Ganjar memang serba sulit. Elektabilitasnya kian kokoh dalam beberapa waktu terakhir, tetapi hingga saat ini ia masih ‘digantung’ oleh PDIP. Sejumlah elit PDIP bahkan membentuk ‘Dewan Kolonel’ untuk menyokong elektabilias Puan Maharani.
Kini, ia pun dilirik oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai calon presiden. Deklarasi itu bahakn dilakukan oleh PSI pada hari yang sama dengan NasDem. PSI juga menyatakan Zannuba Ariffah Wahid alias Yenny Wahid sebagai calon wakil presiden pilihan mereka.
“Meski mas Ganjar bukan kader PSI, tetapi PSI berkomitmen mendukung kandidat terbaik.” jelas Grace dalam konferensi pers secara daring, Senin (3/10) sore.
Kendati memperoleh dukungan dari PSI, Ganjar Pranowo justru tidak ambil pusing untuk menanggapi keputusan PSI tersebut. Ganjar bahkan menyatakan PSI belum ada melakukan komunikasi terkait hal tersebut.
“Tidak, belum tahu deklarasi itu. Saya tahunya malah dari media,” kata Ganjar.
Sementara itu, Ketua Ganjar Pranowo Mania, Immanuel Ebenezer mengapresiasi dukungan yang diberikan PSI kepada Ganjar. Immanuel serta pendukung Ganjar Pranowo lainnya pun akan melakukan komunikasi politik ke berbagai pihak untuk memenangkan Ganjar Pranowo. Meski begitu, ia menyatakan bahwa Ganjar Pranowo masih membutuhkan dukungan dari partai parlemen.
“Itu bagus, ada satu partai non parlemen yang mendukung. Meski yang kita butuhkan itu dari partai parlemen, tapi dukungan politik PSI ini sudah terbuka ke publik. Kita sangat apresiasi,” ujar Immanuel dalam sambungan telepon dengan Katadata, Selasa (4/10).
Mencari Pasangan Anies
Deklarasi Anies Baswedan sebagai capres kini menimbulkan teka-teki baru terkait siapa yang paling cocok menjadi wakilnya. Sumber Katadata di NasDem bercerita hingga saat ini belum ada pembicaraan apakah ada kader partai yang akan didorong menemani Anies.
Beberapa nama sempat muncul. Mulai dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan ketua umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY hingga Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
NasDem juga punya pekerjaan rumah lain untuk membentuk koalisi demi memenuhi ketentuan presidential threshold. Dalam aturan ini, capres harus diusung 25% suara sah nasional atau 20% kursi di DPR, yang masih belum dicapai oleh Nasional Demokrat.
Pakar politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad, merumuskan ada lima hal yang harus diperhatikan Anies untuk menyeleksi pasangan wakil presidennya. Pertama, Nyarwi menjelaskan apabila Anies percaya dengan basis elektoral, ia harus mencari sosok cawapres yang merepresentasikan organisasi atau partai nasionalis. Hal ini lantaran dirinya dikenal sebagai sosok yang dekat dengan komunitas ulama.
Kedua, dari berbagai data survey ditemukan Anies memiliki nilai elektabilitas rendah di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang justru menjadi kunci kemenangan Pilpres. “Artinya, cawapres harus punya daya tarik di wilayah Jawa secara umum dan dua wilayah ini secara khusus,” kata Nyarwi pada Katadata.
Ketiga, Nyarwi melihat gaya kepemimpinan Anies di DKI Jakarta cenderung menawarkan ide besar dan kurang maksimal untuk eksekusinya. Maka, cawapres yang mendampinginya harus memiliki kemampuan manajerial dan birokrasi yang baik. Keempat, elektabilitas Anies masih belum tinggi di kalangan generasi muda, padahal generasi muda adalah pemilih mayoritas di Pemilu 2024 mendatang. Maka, ia meminta Anies mempertimbangkan cawapres dari kalangan muda.
“Ya bukan secara usia saja, tapi punya daya tarik di kalangan anak muda,” jelasnya.
Terakhir, Nyarwi menyoroti status Anies yang bukanlah seorang pimpinan partai politik. Menurutnya, Anies bisa menggandeng seorang pimpinan partai politik untuk mendulang suara dan membantu kinerjanya. Dari kategori ini, Nyarwi menyebut ada dua nama yang mungkin digandeng Anies, yaitu Puan Maharani dan AHY.
“Tapi pertanyaannya, mau atau tidak? Partainya rela atau tidak? Formasi koalisinya seperti apa? Kalau Puan bisa maju sendiri tanpa koalisi karena suara partainya dominan di DPR, beda dengan Nasdem dan Demokrat,” katanya.
Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, pun menyatakan bahwa Anies tidak memiliki banyak pilihan untuk pasangan koalisinya. Dengan posisi Anies sebagai pihak oposisi pemerintahan, orang-orang yang memiliki elektabilitas tinggi dan terlihat sevisi dengannya hanyalah satu: AHY.
“Secara partai, AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat pun jadi kunci apakah Anies bisa maju atau tidak. Nasdem dengan PKS nggak bisa mengusung capres, hanya Demokrat yang bisa. Enggak ada pilihan lain,” tutur Adi.
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam memperkuat pernyataan Adi dengan menjelaskan bahwa AHY unggul di berbagai simulasi survey serta indikator non elektabilitas lainnya. Faktor non elektabilitas ini meliputi jaringan partai, jaringan nonpartai, pendanaan, hingga ideologi.
Ia pun mengesampingkan peluang Ridwan Kamil sebagai salah satu calon wakil presiden untuk Anies. Dalam penjelasannya, Ridwan Kamil masuk dalam daftar hitam alias blacklist Nasdem dan PKS sebab dianggap mengkhianati agenda perjuangan pasca pilkada. Selain itu, nama non partai ia anggap belum pasti akan diterima Demokrat selaku kandidat kuat partai koalisi Nasdem.
“Artinya, koalisi harus mencari titik temu, sejauh ini AHY berada di daftar pertama. Kabar baiknya, Nasdem sebagai partai pengusung Anies memberikan hak untuk Anies memilih cawapres,” jelas Umam.
Meski begitu, alternatif lain ditawarkan oleh Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin. Menurutnya, Khofifah bisa menjadi calon wakil presiden yang cocok bersanding dengan Anies. Menurutnya, Khofifah yang memiliki kekuatan di Jawa Timur bisa mengisi rendahnya elektabilitas Anies di daerah tersebut. Lalu, Khofifah dikenal dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) serta bisa mendulang suara dari kaum perempuan, terutama ibu-ibu.
“Tapi itu tergantung partainya dan pasti ada pertimbangan masing-masing,” kata Ujang.
Bekal Elektabilitas
Beberapa survey yang dilakukan periode Agustus hingga September 2022, nama Anies memang terlihat sebagai langganan tiga besar. Baik survei dari Indikator, LSI, Charta Politika, hingga CSIS mencatat nama Anies sebagai capres dengan elektabilitas nomor tiga, di bawah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Meski begitu, nilai elektabilitas Anies masih terpaut di angka 17,7% hingga 20,6%. Ujang berpendapat angka ini masih belum bisa menjadi simpulan peluang Anies untuk menang di kontestasi Pemilu 2024. Masih ada beberapa calon yang berpotensi menang atau menjegal elektabilitas Anies.
“Saat ini masih belum bisa disimpulkan bagaimana peluangnya, karena elektabilitasnya masih di angka 30%. Kalau angkanya di 50%-60%, baru punya potensi menang,” tutur Ujang.
Selain dari sisi elektabilitas, Nyarwi menyebut Anies masuk dalam dua kategori calon presiden alias capres yang biasanya dicari oleh rakyat. Pertama, adalah capres yang bisa meneruskan kepemimpinan periode sebelumnya dan capres yang bisa menawarkan alternatif.
Menurut Nyarwi, Anies memiliki kapasitas untuk meneruskan kepemimpinan Jokowi sebab ia pernah menjadi menteri, juru bicara Jokowi-Jusuf Kalla, hingga menjadi gubernur DKI Jakarta yang berada di bawah komando presiden. Dengan pengalaman itu, Nyarwi menilai tidak sulit bagi Anies untuk menentukan apa celah kepemimpinan Jokowi.
“Tapi yang unik, ia bisa jadi alternatif karena dia oposisi tapi dekat dengan elit pemerintah. Meski dia dekat dengan elit-elit pemerintah, tapi dia tidak terlihat sebagai seorang president’s man. Itu jadi potensi,” katanya pada Katadata, Senin (3/10).
Nyarwi juga menilai kiprah Anies selama menjadi Gubernur DKI Jakarta pun menjadi salah satu bekal kuat untuk maju ke kursi RI-1. Memegang kekuasaan tertinggi di ibukota pun membuat Anies dekat dengan tokoh nasional dan elit politik lainnya. Menurut Nyarwi, Jakarta adalah salah satu barometer bagaimana seorang politisi mampu bertahan dakam pilkada dan menunjukkan kualifikasi politisi untuk maju menjadi capres atau cawapres.
“Kita sudah punya evidence, Jokowi sebelumnya kan Gubernur DKI Jakarta juga,” katanya.
Pendapat berseberangan datang dari Adi Prayitno. Menurutnya Anies sudah berhasil memperbaiki fasilitas umum DKI Jakarta, seperti trotoar, perbaikan Jalan Thamrin-Sudirman, hingga transportasi publik. Namun, ada beberapa janji politik berupa pembangunan sumber daya manusia yang belum dipenuhi Anies.
Beberapa di antaranya adalah target rumah dengan DP 0% yang belum terpenuhi serta OK OCE (One Kecamatan One for Center Entrepreneurship) yang digaungkan Anies saat Pilkada 2017 lalu, namun belum maksimal terwujud.
“Orang kan dulu melihat Anies itu bukan karena pembangunan fisik, tapi pembangunan manusia. Kategori pembangunan manusia belum bisa dilihat publik dan kalau pembangunan fasilitas ini kategorinya pembangunan fisik,” jelas Adi.