Selain Kopi, Upnormal Siap Sajikan Menu Indomie di Singapura
Dua mesin merek Probat asal Jerman tampak dari ruangan berkaca di bagian belakang kafe sekaligus pabrik kopi, Upnormal Coffee Roasters di Cihampelas, Bandung. Dari dua mesin masing-masing berkapasitas 5 dan 25 kilogram untuk setiap kali penyangraian (roasting) kopi, Upnormal mengekspor sebanyak 13 ton roasted beans ke Amerika Serikat tahun lalu.
Biji kopi asal Indonesia memang sudah tak diragukan kenikmatannya dan terkenal di manca negara. Selama ini biji kopi diekspor dalam bentuk green beans yang kemudian dikemas oleh beragam merek di luar negeri. Upnormal mengambil langkah berbeda dengan mengekspor kopi hasil sangrai (roasted beans) dengan menggunakan merek asal Indonesia.
“Setiap kali saya ke luar negeri belum pernah bertemu produk roasted bean dengan menggunakan merek dari Indonesia. That’s why kami melihat ekpor kopi ini ada potensinya,” kata Sarita Sutedja, salah satu pendiri induk usaha Upnormal, PT PT Citra Rasa Prima (CRP) Group dalam wawancara khusus bersama Yuliawati, Aria Wiratama, Hindra K.W dan M. Yana dari Katadata.co.id, pertengahan Januari lalu.
Langkah ekspor kopi setelah selama hampir enam tahun Sarita dan enam teman lainnya mendirikan CRP Group. Selain mendirikan Upnormal, CRP membesut merek-merek kuliner lainnya, seperti Bakso Boedjangan, Nasi Goreng Rempah Mafia, Sambal Khas Karmila, dan Martabak Maskulin.
Setelah berhasil ekspor kopi, Sarita dkk berencana membuka gerai Upnormal di Singapura dalam waktu dekat. Selain kopi, mereka rencana menyajikan mie instan Indomie, sajian utama dari Warunk Upnormal, tempat nongkrong anak muda yang sedang naik daun.
Mengapa Upnormal tertarik berbisnis kopi? Bagaimana proses mengekspor kopi?
Kopi itu universal, di pelosok daerah mana pun dia dikenal. Hampir semua orang konsumsi. Gaung dan tren ngopi saat ini bukan hanya booming di Indonesia tapi di seluruh dunia. Sebetulnya kopi Indonesia itu terkenal banget di luar negeri, seperti varian-varian Sumatera, Aceh Gayo, Kintamani. Itu well known banget di luar sana. Setiap kali saya ke luar negeri belum pernah bertemu produk roasted bean dengan brand Indonesia. That’s why kami melihat ekspor kopi ini ada potensinya.
Apa saja langkah yang dilakukan untuk menembus pasar ekspor?
Kami mulai dengan membangun pabrik kopi terlebih dahulu. Untuk kegiatan roasting sudah sekitar dua tahun. Untuk pasar ekspor, kami harus menyiapkan roaster (orang yang melakukan penyanggraian) dulu. Kemudian mengurus perizinan dari Indonesia sampai ke FDA (Food and Drug Administration atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat). Kami butuh waktu untuk mempelajari, menyiapkan sertifikasi dan lainnya. Agar terdaftar di FDA itu butuh 1-1,5 tahun. Jadi memang harus matang persiapannya, produknya juga begitu.
Kopi roasted bean yang dijual di AS bisa diperoleh di mana saja?
Kopi roasted bean yang kami ekspor sebenarnya tidak dijual di Indonesia karena house blending. Produknya itu sebenarnya memang khusus untuk pasar Amerika, bukan Indonesia.
Apa saja studi yang dilakukan sebelum ekspor kopi?
Kalau bicara tentang kopi, mungkin sebetulnya kami belum terlalu senior di perkopian ini. Tapi pasti kami selalu berusaha untuk profiling kopi yang memang sesuai dengan market kami. Untuk target Amerika, kami melakukan studi, konsumsi di sana seperti bagaimana. Studi itu yang kami kerjakan di internal. Tentu saja (selera) mereka berbeda dengan konsumsi kita. Untuk menangani kopi, kami masih punya satu grader khusus jenis Arabica grader. Orang Indonesia, dari Bandung.
Apa perbedaan kopi yang dijual di Indonesia dan ekspor?
Khusus untuk semua outlet di Indonesia, kami hanya pakai Gayo Aceh dan Arabica. Kami tak mencampurnya dengan Robusta. Sementara kopi untuk Amerika kami gabung Arabica dan Robusta. Profiling kami atur sesuai dengan selera di Amerika.
Asal kopi yang dieskpor dari daerah mana saja?
Semuanya dari Indonesia. Hanya detilnya saya tak bisa publish karena itu profiling kami.
Bagaimana menghadapi persaingan bisnis kopi di Amerika? Bukankah bisnis kopi di Amerika sudah matang?
Konsumsi kopi di dunia saat ini sedang tumbuh. Menurut kami karena (permintaan) sedang naik, maka pasarnya besar sekali. Jadi tidak terlalu khawatir untuk rebutan sama pemain lain karena memang banyak sekali yang mengkonsumsi. Apalagi kami bisa masuk lewat ke-Indonesia-an. Banyak masyarakat dunia yang tahu kalau kopi Indonesia itu bagus. Cuma mungkin orang Indonesia yang tidak sadar bahwa kopi kita sangat dihargai. Jadi kami masuk dengan brand Upnormal dan bilang kami dari Indonesia.
Target ekspor kopi di tahun ini berapa?
Target ekspor kopi belum dapat kami sebutkan, tapi yang pasti kami akan ekspor kembali tahun ini. Jumlahnya harus lebih banyak dari 2018.
Pernahkah mengalami kesulitan mendapatkan kopi green bean?
Kami ingin secara kualitas green bean terjaga dan harus bersaing dengan para pembeli untuk pasar luar negeri. Petani kopi di Indonesia, mereka tak bisa disalahkan juga, hanya akan menjual kualitas yang baik kepada para pembeli yang menarik juga dong. Jadi kami bersaingnya dengan pihak luar sebetulnya, bukan Indonesia. Mereka beli green bean yang bukan roasted. Mereka roasting, lalu package dengan brand mereka. Nah dari proses itu kan value added bisa jual 2-3 kali lipat.
Setelah berhasil ekspor kopi, rencananya akan membuka gerai kopi di luar negeri?
Doakan saja, masih dalam proses membuka gerai di Singapura. Kami akan buka satu cabang dulu. Tidak bisa bilang langsung 5 atau 10 cabang. Kami ingin step by step, kalau sudah urusan lintas negara itu sebetulnya banyak sekali yang harus kami siapkan, yang paling berat itu kan urusan legalitasnya. PR-nya dari sisi legal, perjanjian kerja sama, dan kami siapkan training center yang harus berbahasa Inggris. Banyak yang harus dipersiapkan.
Gerai Upnormal di luar negeri apakah seperti yang ada di Indonesia akan juga menyajikan Indomie sebagai salah satu menu?
Indomie tentu saja ada, selama ini kan juga sudah ada di seluruh dunia. Untuk gerai Upnormal Coffee Roasters yang kami angkat kopinya. Kopi kan universal, sementara Indomie kan merek yang dikenal dengan instant noodle. Noodle sendiri kan tidak seuniversal kopi, tidak semua orang konsumsi mie instan. Makanya karena kopi lebih universal, kami masuk lewat kopi.
(Salah satu sajian utama Warunk Upnormal adalah berbagai varian dengan bahan dasar mie instan merek Indomie. Alasan Upnormal menggunakan Indomie karena sudah umum dikonsumsi masyarakat Indonesia. “Kami tidak perlu mengedukasi orang bahwa Indomie ini enak, karena sudah dikonsumsi banyak orang. Sehingga yang kami lakukan hanyalah menambahi taste aja,” kata Sarita. )
Sebenarnya CRP Grup dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (produsen Indomie) kerja sama dalam bentuk apa?
Sejak dua tahun kami kerja sama berbentuk strategic partnership dengan Indofood. Jadi memang yang kerja sama itu as a corporate. Produk-produk Indofood yang kami gunakan salah satunya yang paling terkenal Indomie. Selain itu mereka punya produk banyak, seperti susu, mentega, keju dan lainnya. Kerja sama ini juga untuk kebutuhan bahan-bahan di seluruh cabang di berbagai daerah. Produk didistribusikan dengan jaringan Indofood. Itu memudahkan kami.
Setelah lima tahun CRP Group terbentuk, banyak sekali unit usaha kuliner yang terbentuk dan populer. Warung Upnormal sendiri telah menerima banyak penghargaan. Sebenarnya kapan menyebut usaha ini sukses?
Bicara tentang kesuksesan, indikatornya ada empat, yakni pertama, penjualan, kedua menghasilkan profit atau keuntungan, ketiga BEP atau balik modal dan keempat harus sustainable atau bertahan. Menurut saya poin terakhir masih harus pembuktian dievaluasi lebih dari 5 tahun.
CRP sendiri kan berdiri sejak 2013. Jadi belum bisa membuktikan apapun juga. Kalau dari brand Upnormal kami belum 5 tahun, jadi belum bisa disebut sukses. Mengenai penghargaan yang telah kami terima itu bonus. Di CRP kami punya keinginan agar memberikan kebahagiaan lewat makanan dan menyantap makanan.
Kami selalu gaungkan di internal: bring happiness through eating experience. Jadi bagaimana caranya membuat konsumen-konsumen bahagia, lewat pengalaman-pengalaman makan. Siapa juga yang enggak senang kalau makan.
(CRP Group mendapatkan beberapa penghargaan di antaranya The Most Favorite Merchant 2016 yang diberikan Go-Jek kepada Warunk Upnormal, Marketing Leader Awards 2018, dan Milenialpreneur Waralaba Indonesia 2018)
CRP Grup ini dibentuk tujuh orang, termasuk Sarita. Bagaimana menyatukan pikiran para pendiri yang jumlanya cukup banyak?
Hal yang paling penting itu kami memiliki visi dan misi yang sama dan semuanya berkomitmen. Kami dulu duduk bareng, bertanya mau bawa perusahaan ini ke mana. Kami memang mulai dari kecil, tapi pada saat itu yakin suatu saat nanti akan berkembang. Pertemanan tetap, tapi kami harus mulai bagi tanggung jawab. Dari tujuh orang pendiri itu punya kemampuan yang berbeda-beda. Itu kuncinya. Kemampuan yang berbeda dan visi yang sama. Komitmen dari awal itu bahkan kami tuangkan dalam kertas (perjanjian).
Kami saling bersinergi, ada yang ahli di bidang desain interior, ada juga yang mengusai pemasaran, dan lainnya. Namun, kami harus saling mengimbangi. Misal ada founder yang membuat rancang desain yang keren banget, namun tim operasional mengatakan akan susah dibersihkan. Nah yang terpenting dalam bisnis makanan kan atribut harus mudah dibersihkan, jadi desain harus mengalah. Karena satu tujuan yang sama, maka kami harus menahan diri atau ego. Kami harus saling mengimbangi, yang penting kebersamaan dibanding ego pribadi.
Jadi ada pembagian tugas memisahkan posisi founder dan manajemen?
CRP kan korporasi, bicara founder dan co-founder, itu sudah kami sepakati apakah mereka akan masuk di manajemen atau tidak. Seperti saya yang merupakan founder dan masuk manajemen, konsekuensinya saya sama posisinya dengan pekerja profesional biasa. Saya punya target, KPI (Key Performance Indicator) dan bertanggung jawab dengan atasan saya. Bahkan saya juga bisa dipecat. Directur CRP pun tidak semuanya founder.
(Sarita merupakan pendiri CRP yang menjabat juga sebagai Deputy Director of Corporate Communication & Government Relation)
Dengan para founder yang sebagian berlatar belakang sebagai konsultan bisnis, hal apa yang terpenting membuat produk berhasil?
Produk yang kualitasnya baik, harganya bisa diterima, menurut kami itu bukan sesuatu yang bisa dijadikan daya saing. Tapi itu adalah standardisasi yang harus kami penuhi saat memulai bisnis. Kalau kita mau jualan ya sudah harus bagus produknya.
Selain itu secara value sudah harus bisa diterima oleh konsumen. Kami selalu memperhatikan customer journey, pengalaman konsumen dari dia turun di depan gerai, kemudian kalau membawa kendaraan, bagaimana dengan kondisi tempat parkir? Saat dia masuk gerai, bagaimana sambutannya? Ketika dia memesan seperti apa? Ketika dia mau ke kamar kecil, ketika dia mau cari sekring listrik, ketika dia mengkonsumsi internet, hingga proses bayar dan sampai dia keluar.
Nah kami melakukan evaluasi customer journey, agar mereka tetap nyaman. Hal yang membuat konsumen berdatangan karena value yang mereka terima lebih besar. Jadi memang itu yang kami perbaiki terus.
Sampai akhir 2018, ada berapa outlet yang dimiliki CRP Group ya? Semuanya sistem kemitraan?
Saat ini total ada 227 outlet di seluruh Indonesia, terdiri dari 10 brand. Outlet terbanyak dari Upnormal sebanyak 93, baik Warunk Upnormal, Upnormal Coffee Roasters, dan Upnormal Coffee Express.
Prosentase kepemilikan dengan kemitraan itu 70:30 dengan nilai CRP 70 dan mitra 30. Kami juga membuka kerja sama misal ada pemilik lahan yang lokasinya strategis, namun tak mau disewa. Jadi kami ajak berbisnis dengan sistem partnership.
Untuk kemitraan, modal yang diperlukan untuk bergabung berapa? Perkiraan mencapai BEP berapa lama?
Untuk gerai yang kategori besar modal yang diperlukan sekitar Rp 4-5 miliar. Perhitungan detilnya termasuk apa saja, nanti akan dibicarakan lagi. BEP di atas kertas itu sekitar 1.5 sampai 2 tahun.
Peran CRP dalam kemitraan seperti apa?
Setelah perjanjian kerja sama, kami menyiapkan pelatihan untuk karyawan. Kami punya CRP training center, namanya CRP Academy di Bandung. Karyawan atau mitra datang ke bandung nengikuti pelatihan selama 2-3 bulan untuk training. Setelah materi tertulis, akan ada class room yang namanya studio. Pelatihan di studio bisa praktek sama persis seperti yang ada di outlet.
Kami baca di media sosial salah satu founder sekaligus Direktur Marketing CRP Group Rex Marindo mengatakan pertama kali memulai bisnis dengan memberikan 1000 piring gratis yang diganti doa. Apa benar?
Itu benar, saat itu pertama kali kami membuka Nasi Goreng Rempah Mafia. Jadi kami kan memulai dari bisnis kecil dan saat itu kami tidak punya dana yang besar untuk promosi. Saat itu tahun 2013 sedang booming Twitter, maka muncul ide untuk promosi memberikan gratis dengan syarat me-retweet dan menunjukkannya ke kami. Setelah mereka duduk, nanti pelayan datang dan memberikan kertas yang isinya doa. Jadi kami memang minta dibacakan doa.
Pemikirannya ada dua hal. Pertama, dari segi bisnis, sebenarnya kami hanya mengeluarkan harga pokok produksi dan biaya karyawan saja. Kemudian, promosi akan booming dengan sendirinya. Kalau gratis, orang akan makan. Masalah enak dan gak enak itu belakangan. Bila masakannya enak, dia tentu akan kembali lagi. Apalagi harganya juga sesuai dengan konsumen. Kedua, kami pihak manajemen percaya banget dengan kekuatan doa. Asumsinya, dari 1000 orang yang berdoa buat kami, masa tidak satu pun yang terkabul.
Sistem meminta doa ini masih berlaku?
Masih, namun modelnya berbeda. Setiap kali membuka outlet baru sudah ada budget untuk itu. Tidak lagi membagi gratis ke pengunjung, caranya mengundang anak-anak yatim piatu. Jadi tetap bagi-bagi makanan dan kami meminta doa.
Ekpektasi CRP lima tahun mendatang?
Yang pasti kami akan terus berekspansi. Masa lima tahun sepertinya panjang banget. Kami akan tetap terus ekspansi di daerah lain di Indonesia dan persiapan mulai masuk ke Asia.