Ada Ceruk Pasar yang Niche saat "New Normal" Covid-19 (Bagian 2)

Yura Syahrul
10 Mei 2020, 08:30
Chatib Basri
Katadata
Chatib Basri

Kalau kreativitas itu tadi dilakukan, maka ada kebutuhan untuk dananya. Kalau menurut World Bank, expiring middle class atau kelas yang akan menjadi kelas menengah baru, sebesar 115 juta orang. Kalau satu keluarga itu empat orang, berarti 30 juta rumah tangga. Jadi untuk satu rumah tangga, diberikan dana kompensasi sepertiga dari UMR yaitu misalnya Rp 1 juta. Jangan sama dengan UMR, nanti orang berhenti kerja. Kemudian dikalikan 30 juta keluarga, berarti Rp 30 triliun. Mau diberi berapa lama, tiga bulan? Tergantung pandeminya berapa lama. Kalau tiga bulan, berarti kebutuhannya Rp 90 triliun.

Itulah fiskal space yang harus ditambah. Jadi cara menghitungnya itu harus dilihat dari, apa kebutuhannya. Kalau sudah tahu kebutuhan, misalnya lower middle income group mesti ditambah, rumah sakit ditambah maka berapa kebutuhannya? Baru kita bicara mengenai pendanaannya. Sumbernya dari mana?

Bisa tidak sumbernya dengan melakukan prioritisasi bujet. Apakah anggaran pemerintah itu prioritasnya sudah tajam? Contohnya anggaran untuk traveling, perjalanan dinas itu Rp 43 triliun. Dalam kondisi PSBB tidak ada orang yang traveling, sekarang sudah diturunkan Rp 25 triliun. Kenapa tidak dibikin misalnya sekitar Rp 1 triliun saja. Yang Rp 24 triliun bisa dihemat dan dialokasikan lagi.

Apalagi angggaran yang dapat dialihkan atau dihemat?

Infratruktur, dalam kondisi PSBB ini orang tidak bisa kerja. Saya tidak bilang bahwa proyeknya dihentikan, tapi ditunda sampai tahun depan. Start proyek untuk ibu kota baru, apakah betul urgensinya perlu sekarang? Sekolah, apakah perlu program pembangunan fisik karena sekarang school from home? Bantuan BOS, apakah tidak bisa dialokasikan ke dalam bentuk BLT? Jadi hal-hal seperti ini yang bisa dilakukan.

Kemudian, karena permintaan kreditnya turun, pemerintah dengan isu bond, dari local currency bond. Kalau itu juga bisa pada global bond. Jadi saya bicara mengenai frameloopnya, mengenai hitungannya, pemerintah bisa hitung berapa kebutuhannya.

Bagaimana Anda melihat kondisi ‘new normal’ saat pandemi dan peluang yang bisa diraih pada masa tersebut?

Dalam setiap situasi itu, kesempatan pasti ada. Pasar itu selalu tercipta sesuai dengan kondisinya, by nature akan terjadi begitu. Misalnya, orang tidak ada yang mau pakai masker sebelumnya. Tapi dalam kondisi seperti ini, permintaan terhadap masker luar biasa. Itu jadi satu bisnis baru. Orang tidak ada yang mau pakai alat pelindung APD, susahnya setengah mati. Tapi orang mulai pakai jas hujan yang dibuat transparan, topinya pakai plastik. Bahkan, beberapa brand terkenal sudah membuat masker menjadi fashion.

(Baca juga: Analisis Data: Simalakama Mitigasi Covid-19, Kesehatan atau Ekonomi?)

Jadi, ceruk pasar itu ada, niche market-nya ada di dalam kondisi seperti ini. Perusahaan tekstil, seperti Uniqlo, itu kewalahan dengan permintaan APD. Alat-alat hand sanitizer, permintaannya tinggi. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan, itu pasarnya ada.

Kemudian, apa yang bisa dilakukan orang kalau tinggal di rumah? Selain Zoom atau orang menulis, orang butuh makan. Maka, bisnis dari aktivitas itu adalah industri makanan. Restoran itu semua harus menyediakan makanan secara online. Itu sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Bagaimana dengan bentuk peluang bisnis lain secara virtual?

Saya sekitar tiga minggu lalu diajak oleh anak-anak muda untuk bicara di Idea Fest. Saya tidak pernah itu bicara mengenai ekonomi, peserta yang hadir lebih dari 3 ribu orang. Apa yang mau didengarkan? 3 ribu orang itu mirip kampanye. Tapi orang mendengarkan. Mungkin bukan karena mau mendengerkan saya, tapi ada berapa kombinasi programnya, termasuk musik. Itu dilakukan secara virtual.

Setelah acara berakhir, saya penasaran dan bertanya ke panitianya. Saya minta statistiknya karena 3 ribu sekian orang itu ikut di dalam sesi saya. Tapi total yang nonton acara itu, termasuk musiknya 125 ribu orang. Bayangkan, bahwa itu merupakan suatu pasar yang luar biasa.

Sekarang sudah mulai terlihat, misalnya aktivitas di dalam kesenian yang tidak lagi dengan konsep secara fisik. Tapi dilakukan streaming misalnya. Itu sesuatu pasar yang juga baru, yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Ke depan, saya bisa bayangkan, misalnya presiden bicara mengenai defisit pangan di beberapa provinsi. Kekhawatirannya nanti mungkin adalah makanan tidak cukup. Orang akan cari makanan, tapi sistem di dalam portal, misalnya Grab Food atau Go Food yang kita tahu restorannya, kemudian kita pesan. Tapi kita belum punya portal yang mengkoneksikan antara pemasok dengan produsennya langsung. Ada beberapa startup yang mulai coba melakukan ini.

Bantuan Sembako Selama Pandemi
(Adi Maulana Ibrahim|Katadata)

Artinya, ada peluang bisnis bahan pangan di masa ‘new normal’ ini?

Jadi, kalau misalnya mau mencari gula, saya tahu toko di Jakarta yang punya gula. Tapi itu kalau saya punya datanya. Persoalannya adalah asimetric information, saya tidak tahu toko di Jakarta yang punya gula. Saya datang ke toko langganan tidak ada. Tapi jangan-jangan ada orang yang punya stok gula di rumahnya, atau beras. Itu suatu bentuk model bisnis yang baru lagi. Gara-gara informasi yang tidak simetris maka bisnis itu bisa terjadi.

Saya berpikir market seperti itu bisa terjadi. Orang mencari misalnya, bawang putih maka akan pergi ke pasar atau supermarket. Karena itu tempat berjualan. Saya tidak tahu kalau Anda punya bawang di rumah, atau sebaliknya Anda tidak tahu kalau saya perlu bawang. Kalau kemudian itu bisa dikoneksikan maka seluruh stok dari pasokan yang ada di dalam rumah tangga itu bisa dipakai.

Sesuatu yang kalau kita gunakan kreativitas, sebetulnya akan muncul bisnis-bisnis baru. Tapi sifatnya memang serupa, bukan sesuatu yang masif. Tidak apa-apa, aktivitas itu mesti ada. Kreativitas di dalam kondisi seperti ini juga besar.

Kedua, mereka yang di pasar finansial tahu bahwa harga saham sudah drop 30% atau 40%. Kalau Anda beli di (harga) bawah,kemudian cukup sabar, maka harga saham itu pasti balik ke normal suatu hari nanti. Kapan lagi Anda bisa punya gain 30% kalau bukan di dalam situasi seperti ini?

Hal ini kemampuan untuk mengelola cash, memilah investasi, juga sesuatu yang bisa menyelamatkan kita nanti setelah terjadi pemulihan. Tapi mereka yang bisa melakukan ini adalah mereka yang kebutuhan dasarnya terpenuhi. Kalau Anda sehari-hari saja tidak cukup makan maka tidak bisa memikirkan hal ini.

Bagaimana dengan sektor bisnis yang saat ini tertekan?

Semua aktivitas bisnis yang membutuhkan fisik, itu pasti akan kena. Kalau manufaktur harus ke pabrik. Kecuali kalau nanti 3D printing sudah jadi, Anda bisa bikin barang dari rumah dengan dicetak. Sekarang teknologinya belum selesai. Kemudian pariwisata, yang tidak bisa menukar experience dengan virtual. Misalnya Anda mau ke laut, maka tidak bisa cuma melihat gambarnya. Kalau begitu, nonton YouTube saja. Atau Anda tidur di hotel, tidak bisa ditukar dengan YouTube.

Jadi, bisnis yang sifatnya membutuhkan physical presence, yang membutuhkan experience, pasti akan kena. Semua sektor. Karena esensinya itu adalah pasar, meeting place dimana orang berkumpul untuk bertukar services. Kalau itu bisa dilakukan secara virtual maka akan survive.

(Baca juga: Airy Setop Operasional di Indonesia Mulai 31 Mei Terdampak Corona)

Apa perubahan selanjutnya dari kondisi ini?

Mungkin yang akan berubah setelah ini adalah pola dari global supply chain. Karena pelajaran yang penting itu adalah, orang tidak bisa menaruh seluruh telurnya dalam satu keranjang. Ini yang terjadi, semua terkonsentrasi di Tiongkok sebagai sumber basis produksi. Ketika Tiongkok kena, kolaps semuanya. Maka yang terjadi setelah ini, orang akan mulai memindahkan basis produksinya. Bukan keluar semua dari Tiongkok, tapi diversifikasi ke banyak negara agar jangan tergantung pada satu negara saja.

Contohnya, Ketika saya menjadi Kepala BKPM. Tahun 2011 terjadi banjir di Thailand. Basis produksi otomotif Toyota untuk Asia Tenggara berada di Thailand. Saya kemudian berusaha meyakinkan Toyota untuk membuat basis produksi di Indonesia. Toyota kemudian memindahkannya. Daihatsu ditaruh sebagai valuation center-nya di sini.

Jadi, apakah karena kita hebat pada waktu itu? Bukan. Karena Toyota harus mendiversifikasi basis produksinya. Karena kalau banjir terjadi, produksi di Asia Tenggara tidak berjalan. Mereka itu bekerja di dalam production network, komponennya macam-macam dari banyak negara. Ketika basisnya kena, tidak bisa bikin barang di sini maupun di tempat lain. Jadi tidak boleh tergantung di satu negara karena ada ancaman natural disaster, pandemi.

Saya melihat itu, opportunities akan muncul nanti. Karena investasi akan mengalir ke banyak negara di luar Tiongkok. Tentunya, negara mana yang dapat, adalah negara yang bisa memiliki iklim investasi paling baik.

Apakah pandemi akan mengubah tatanan produksi secara global?

Saya tidak berani seekstrim itu. Karena, pandemi itu`di dalam sejarahnya terjadi 100 tahun sekali. Tapi, orang itu dua tahun dari sekarang sudah lupa apa yang terjadi saat ini. Kalau orang belajar dari sejarah, terakhir terjadinya persis 100 tahun lalu yaitu Spanish flu tahun 1918-1920. Orang harusnya sudah belajar wabah itu.

FASHION BUSANA MUSLIM SENADA MASKER
ANTARA FOTO/Feny Selly/aww.)

Di dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral, selalu ada yang namanya natural disaster fund. Tapi tidak ada negara yang siap. Jadi, mungkin tiga tahun dari sekarang, tidak semua orang ingat dengan ini. Apalagi kalau situasinya baik dan normal, orang akan bilang, “ngapain sih hati-hati?” Seperti orang sakit. Kalau tidak sakit, kita juga tidak terlalu peduli dengan kesehatan, tidak mau olahraga. Ini behaviour orang.

Jadi, behaviour akan berubah. Tapi kalau sepenuhnya mengubah behaviour orang, saya tidak yakin. Makanya, Dani Rodrick dari (Universitas) Harvard mengatakan, "Saya tidak yakin akan ada perubahan setelah ini. Polanya akan biasa saja." Jadi, menurut saya, di dalam production pattern dari jaringan produksi mungkin akan berubah. Tapi kalau sepenuhnya mengubah behaviour orang, saya tidak yakin.

Berarti perilaku konsumsi masyarakat tidak akan banyak berubah?

Ya, tapi juga di dalam produksi. Tapi misalnya Anda lihat mungkin nanti akan ada orang yang malas rapat, pakai Zoom saja. Jadi dia muncul sebagai sebuah kreativitas. Tapi kalau mengubah semua pola behaviour yang lama, saya tidak terlalu yakin. Ketika video muncul, orang khawatir sekali bahwa bioskop tidak laku. Ternyata ada juga yang pergi ke bioskop. Jadi, alternatifnya, pilihannya makin beragam. Tapi tidak kemudian serta-merta pindah, shift kepada sesuatu yang baru.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...