Platform Kesehatan Kami Sudah Siap Ketika Pandemi Datang
Ketika Halodoc pertama kali diluncurkan pada April 2016, pasar belum terlalu mengenal istilah telemedisin. Pemerintah juga belum mengatur soal ketentuan industri digitalisasi kesehatan ini. Pada masa-masa awal ini, Halodoc berjuang keras mengedukasi pasar untuk memperkenalkan ranah baru digitalisasi pelayanan kesehatan.
CEO Halodoc Jonathan Sudharta bercerita, saat pekan-pekan awal diluncurkan, rating Halodoc terbilang jeblok di Playstore. Sebabnya, pasien yang ingin berkonsultasi harus menunggu berjam-jam bahkan hingga keesokan harinya untuk mendapatkan jawaban dari dokter. “Memang waktu awal itu produk kami masih jelek,” kata Jonathan saat berbincang dengan Katadata.
Seiring berjalannya waktu, Halodoc memperbaiki sistem pelayanannya hingga memenuhi kebutuhan pasien secara real time. Ini membuat rating Halodoc membaik dan kian disukai pelanggan. Jonathan bercerita masa-masa empat tahun sebelum pandemi dimanfaatkan Halodoc untuk membangun dan memperbaiki sistem. Ketika pandemi tiba di Indonesia, Halodoc sudah sangat siap melayani pasien.
Selama dua tahun terakhir, Halodoc telah melewati masa-masa sulit dalam membantu menangani pagebluk. Kepada Katadata, Jonathan menceritakan pengalaman timnya saat berjibaku dengan makelar masker saat awal pandemi, bekerja keras melayani rapid test antibodi, hingga mendistribusikan oksigen ke rumah sakit.
Bagaimana cerita selengkapnya? Simak wawancara CEO Halodoc Jonathan Sudharta berikut ini:
Bagaimana perkembangan bisnis telemedik Halodoc sebelum dan sesudah pandemi Covid-19?
Sebelum bicara perkembangan, kita juga harus mengerti konteks. Halodoc lahir pada April 2016 sebagai pendatang baru. Waktu kami memperkenalkan kata telemedisin saja orang bilang maksudnya apa? Jadi saat itu pasar belum mengerti mengenai telemedisin.
Dari April 2016 sampai dengan masa sebelum pandemi itu masa babat alas. Mimpi kami ingin memudahkan akses kesehatan dengan menghubungkan pasien ke provider seperti dokter, apotek, rumah sakit, maupun asuransi dengan satu aplikasi.
Saat kita presentasi ke Kementerian Kesehatan, mereka bilang pemerintah belum siap mengatur tapi ini adalah keniscayaan. Mereka minta kami jalan saja dulu, nanti membuat aturannya bersama-sama. Itu menurut saya sesuatu yang membangkitkan semangat.
Seiring waktu, kami bangun dulu ekosistem. Jadi Halodoc bukan dibangun ketika pandemi. Sebelum pandemi, kami sudah terkoneksi dengan 4.000 apotek, 2.000 rumah sakit, dan hampir 20.000 dokter. Cuma waktu itu kami masih edukasi pasarnya.
Waktu pandemi datang, yang terjadi katalisasi di mana seluruh pelaku ekosistem kesehatan dipaksa keadaan untuk mengenal telemedik. Nah, karena kami dalam posisi yang sudah sangat siap, tentu pertumbuhannya menjadi ribuan persen.
Bagaimana gambaran pertumbuhan pengguna Halodoc di tahun-tahun awal sebelum pandemi?
Saya masih ingat masa pertama waktu kami launching pada April 2016. Beberapa bulan pertama itu rating Halodoc cuma 1,9 bintang. Sampai Agustus 2016 kami dapatnya cacian dan makian. Kenapa? Karena produknya masih jelek.
Fase pertama banget enggak ada yang pakai karena setiap orang pakai malah jadi bete. Sampai-sampai Chief Marketing Officer kami bilang enggak usah di-marketing-in deh. Semakin banyak yang tahu semakin banyak yang komplain.
Bagaimana solusinya?
Dari situ kami belajar apa masalah yang harus diselesaikan. Akhirnya sadar, the first problem that we need to solve is the problem of anxiety. Orang kalau konsultasi dengan dokter, mereka itu mau detik itu juga dijawab. That was the first problem that we realized that we did not do.
Waktu di awal, pasien bertanya tapi dokternya baru jawab besok. Giliran dokternya nungguin, pasien enggak ada yang datang. Maka kami buatlah yang namanya virtual chatroom. Sekarang kalau konsultasi dokternya akan jawab dalam 15 detik. Setelah berhasil menyelesaikan masalah itu, rating Halodoc langsung naik jadi empat bintang dalam seminggu.
Itu fase kedua dari masa edukasi sebelum pandemi. Kami mulai dari yang kecil. Di tahun 2016-2018 itu pengguna kami masih kecil tapi tumbuhnya sudah berkali-kali lipat. Waktu masuk 2019 mulai membesar sebelum akhirnya datang Covid-19.
Seberapa siap Halodoc saat pandemi datang? Apakah masih ada gagap untuk menangani pasien?
Jujur kami sudah sangat siap. Waktu Covid-19 itu masuk ke Indonesia di awal Maret 2020, kami langsung memberikan pelatihan kepada 8.000 dokter. Kami undang pembicara dari Cina dan Inggris untuk mempelajari Covid-19, bagaimana menanganinya. Setelah itu setiap minggu dokter kami bertambah kira-kira 500 orang. Jadi secara platform kami sudah sangat siap.
Apa peran Halodoc di masa-masa awal pandemi?
Sebelum pandemi kami sudah bangun platform appointment system yang membuat kami dipercaya Kementerian Kesehatan untuk appointment tes dan vaksin. Mulai dari era rapid test antibodi, PCR, antigen, sampai vaksinasi. Ekosistem Halodoc sudah siap termasuk pola pembayarannya. Kami juga sudah terkoneksi dengan 20 asuransi dan ribuan perusahaan.
Apakah ada penyesuaian-penyesuaian saat pandemi datang?
Kami memang beruntung punya waktu membangun Halodoc selama 4-5 tahun sebelum pandemi. Ketika pandemi datang, kami cuma melakukan penyesuaian-penyesuaian kecil saja. Misalnya, yang tadinya menangani segala jenis penyakit, kini fokus di Covid-19. Atau yang tadinya fokus penghantaran obat dari rumah sakit, sekarang fokusnya dari apotek karena petugas rumah sakit fokus menangani pasien Covid-19.
Bagaimana suasana di Halodoc saat awal-awal pandemi?
Suasana awal sampai suasana sekarang masih mirip, jumpalitan setiap hari. Seiring dengan kenaikan pengguna yang signifikan, kami harus memastikan agar orang di belakangnya jangan sampai kelimpungan. Misalnya, jangan sampai jumlah dokternya tidak cukup.
Walaupun kami sudah tersambung dengan dokter, kan enggak semua dokter 24 jam aktif. Jangan sampai ada shift atau waktu tertentu yang penggunanya 1000 orang, dokternya cuma lima. Jadi mesti cukup jumlah dokternya di jam yang sama. Jangan salah, di dunia telemedisin ini jamnya beda loh.
Beda bagaimana?
Begini, menurut Anda kapan jam sibuk di telemedisin? Kalau di kami jam sibuk itu di jam 12 siang, jam 12 malam, dan jam empat sampai lima pagi. Banyak orang setelah salat subuh itu mereka berkonsultasi dengan dokter, jam-jam yang kami harus memastikan agar dokter terpenuhi. Itu insight yang sangat menarik.
Jadi boleh dibilang kami jumpalitan di awal karena enggak sadar kebutuhan orang di jam empat pagi ini besar. Selain itu, di era Covid-19, kami sempat enggak sadar kebutuhan telepsikiatri itu besar, tiba-tiba meledak aja.
Seberapa signifikan pertumbuhan Halodoc saat pandemi?
Tahun lalu kami tumbuh puluhan kali lipat. Nah tapi itu, yang saya bilang penting untuk mengerti konteksnya bahwa di masa sebelum pandemi, yang terjadi adalah masa market education.
Berapa banyak jumlah pengguna aktif Halodoc saat ini?
Kalau active user sekitar 20 juta-an
Kalau tim Halodoc keseluruhan berapa, Pak?
Kurang lebih 1.000 orang
Itu ada yang di daerah juga atau hanya yang di Jakarta?
Tentu di daerah juga, karena kami juga banyak membantu vaksinasi, membantu tes di daerah-daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan lain-lain.
Bagaimana peran Halodoc saat ini?
Ada beberapa kategori. Nomor satu kami terlibat banyak di telemedisin itu sendiri. Baik telemedisin langsung ke pasien maupun yang mendukung pemerintah. Beberapa hari terakhir pasien positif Covid-19 mencapai 60.000 orang, itu 35 % di antaranya ditangani oleh telemedisin. Dari 35 % itu, porsi Halodoc sekitar 90 %. Selain itu, ada pasien yang akses kami tanpa ada hubungan sama pemerintah.
Kami terlibat juga dalam testing maupun tracing. Di Halodoc, kami bekerja sama dengan aplikasi PeduliLindungi. Kalau mereka testing atau appointment-nya dari Halodoc, automatically hasilnya tersambung dengan PeduliLindungi.
Kami juga sangat terlibat di bagian vaksinasi. Kami yang pertama melaksanakan vaksinasi drive-thru dengan total hampir satu juta orang yang divaksinasi. Tentu dibandingkan dengan jumlah rakyat di Indonesia angka itu kecil. Tapi kalau dibandingkan pelaku swasta, mungkin kami yang paling besar.
Saat puncak varian Delta, kami juga terlibat dalam upaya memudahkan akses oksigen. Kami terlibat dalam di inisiatif Rumah Oksigen bersama Kadin dan GoTo. Selain itu kami juga terlibat untuk distribusi oksigen konsentrator dan oksigen generator.
Soal distribusi oksigen itu bagaimana mekanismenya?
Saat itu rekan-rekan startup membuat inisiatif Oxygen For Indonesia bersama dengan figur publik seperti Atta Halilintar dan Ariel Noah. Fundraising waktu itu bisa dapat lebih dari Rp 90 miliar untuk membeli oksigen konsentrator dan generator. Tugas Halodoc mengantarkan kepada rumah sakit-rumah sakit di kota kedua dan kota ketiga.
Apa tantangannya saat terlibat di distribusi oksigen?
Mengantar oksigen ke rumah sakit itu bukan cuma soal logistiknya. Tapi tahu siapa orang yang tepat untuk diajak bicara itu tantangan lain. Ada kejadian berapa kali waktu mereka sudah kirim, rumah sakit enggak berani terima oksigennya karena merasa tidak pesan. Banyak orang yang enggak percaya bahwa ini gratis.
Di situ peran Halodoc karena kebetulan kami juga sudah berhubungan dengan mereka. Jadi kami yang menjelaskan ke direkturnya, ke bagian logistiknya, bahwa ini sumbangan dari kegiatan Oxygen For Indonesia.
Apa yang terjadi ketika kasus Covid-19 melonjak tinggi?
Waktu testing tiba-tiba melonjak, ada momen ketika sistem kami belum sepenuhnya otomatis. Jadi tim kerja full sampai 24 jam baik yang di lapangan maupun di kantor untuk mengurus administrasi dan pembukuan. Kalau sekarang sudah sepenuhnya otomatis.
Luar biasa, itu waktu varian Delta ya pak?
Varian delta yang paling berat. Karena lompatannya kan luar biasa. Tapi justru ombak pertama itu waktu kebutuhan masker meningkat. Halodoc saat itu pegang masker tapi kami enggak mau jual dengan harga mahal. Jadi kami mati-matian harus berani cancel order orang kalau ternyata yang beli pedagang.
Waktu itu kami enggak siap karena ingin melayani orang. Di awal banyak yang beli masker di Halodoc tapi dijual lagi dengan harga mahal. Sakit hati kan. Jadi kalau saya boleh cerita, momen-momen perangnya beda nih. Di awal kami jagain masker, kemudian ngejagain hasil tes-nya, ngejagain jumlah dokter di jam-jam yang berbeda.
Bagaimana mengatur shift dokter ini?
Karena sudah otomasi, dokter bisa memilih mereka mau jam berapa. Kami secara sistem juga sudah bisa lihat, jam berapa yang kurang suplai atau kelebihan suplai, bisa diatur. Tapi ya tentu selain machine learning di konteks itu, tetap ada manusia yang mengawasi kapasitas suplai dan itu kami ada tim operation yang cukup solid menjaga.
Apa momen paling berkesan selama dua tahun pandemi sebagai CEO Halodoc?
Secara internal, buat saya adalah waktu pertama kali bikin drive-thru rapid test antibodi. Itu era di awal-awal orang masih sangat takut dengan virus Covid-19. Tapi teman-teman saya di lapangan justru berebut untuk untuk kerja. Saya tidak harus bilang, siapa yang mau kerja? Semuanya bilang, ayo saya mau turun. Mau dari manager, direktur, semua ada di lapangan. Di situ saya tahu bahwa saya punya orang yang panggilannya sama. Buat saya itu hal yang paling berkesan.
Karena itu perangnya benar-benar berani mati, kami tidak tahu seberapa berat Covid-19 saat itu. Semua orang bilang WFH, saya bilang enggak ada WFH di Halodoc, kami adanya work from lapangan. Jadi itu sesuatu yang sangat membanggakan, bahwa saya punya sekelompok anak-anak muda yang mau melaksanakan ini untuk panggilan yang besar.
Kalau dari cerita eksternalnya bagaimana, Pak?
Kalau yang eksternal, buat saya yang paling berkesan adalah bagaimana keterbukaan pemerintah terhadap kerja sama dengan pelaku usaha swasta seperti kami dalam memerangi musuh yang enggak kelihatan yang namanya Covid-19 ini. Kami lihat virus Covid-19 ini menyatukan kita bersama.
Tidak ada di dunia, orang kena Covid-19 obatnya dianterin ke rumah, dibayarin pemerintahnya. Itu cuma di Indonesia. Negara lain cuma vaksinnya, kita sudah vaksinnya dibayarin, obatnya dibayarin, pengiriman obatnya dibayarin. I think for me, im so proud being Indonesian menghadapi situasi ini.
Jadi menurut saya kita harus sangat berbangga sama bangsa Indonesia dan pemerintahnya yang menggunakan elemen bangsa yang ada untuk menyelesaikan masalah bangsa. Elemen bangsa ini tech company, logistic company, terus ada BUMN dalam hal ini Kimia Farma, itu kan luar biasa kerja samanya.
Bagaimana kiat Halodoc merangkul para dokter dan stakeholder lainnya?
Kebetulan saya pribadi mantan medical sales representative. Jadi di handphone saya pribadi mungkin ada kontak 3.000-4.000 dokter. Di awal, karena saya kenal secara pribadi dengan mereka, saya ajak saja. Rata-rata kawan-kawan semua itu di awal.
Dulu memang ada yang skeptis, tapi sekarang karena situasi Covid-19 ini boleh dibilang kami punya waiting list. Kami menjadi satu ekosistem yang saling menguntungkan atau saling membantu antara kami dan dokter.
Bagaimana dengan rencana pengembangan ke depan?
Halodoc akan selalu kembali ke filosofi dasarnya, mensimplifikasi akses kesehatan kepada layanan diagnostika. Ini upaya untuk pencegahan lebih dini jangan sampai orang sakit baru berobat. Itu yang kami harapkan.
Ada rencana membantu menerapkan operasi jarak jauh?
Saya rasa operasi jarak jauh dan lain-lain itu bagian dari permutasi dan manifestasi dari dunia kesehatan. Yang kami harus ingat adalah Halodoc perusahaan teknologi di bidang kesehatan. Kami bukan perusahaan kesehatan. Tidak suka sebut diri kami health-tech company, tapi tech-health company, yaitu perusahaan teknologi yang bergerak di bidang kesehatan.
Jadi kalau tadi disebutkan operasi secara jarak jauh dan lain-lain, itu bidang medisnya. Bahwa teknologinya untuk menghubungkan satu sama lain itu kami sangat mungkin untuk beradaptasi. Saya lebih baik tidak berkomentar karena itu sesuatu yang ranahnya sangat medis sedangkan kami adalah pelaku teknologi di sini.
Halodoc baru saja meluncurkan aplikasi Bidanku, apa itu?
Halodoc itu panggilannya mensimplifikasi akses kesehatan. Bukan hanya untuk mereka yang di Jakarta atau di kota besar. Kami simplifikasi kesehatan ini untuk semua sendi kehidupan di Indonesia. Itu mimpi kami.
Banyak populasi saat ini di kota-kota yang rural, daerah di pinggiran. Kami melihat yang besar potensinya itu bidan, kira-kira 300.000. Bidan itu memegang peran penting untuk generasi emas di Indonesia karena 80 % bayi lahir dibantu bidan.
Kalau ingin membuat bangsa Indonesia mencapai generasi emasnya, kita mesti memastikan angka-angka atau metrik-metrik kepentingan bangsa tercapai, salah satunya menurunkan stunting, menurunkan angka kematian ibu dan anak, ini penting. Itu yang menyebabkan Halodoc mau terlibat, mensimplifikasi akses kesehatan dengan meningkatkan kualitas para bidan menggunakan teknologi.
Dari sisi bisnis, bagaimana dengan rencana IPO?
Saya rasa semua startup, semua pelaku bisnis punya mimpi untuk IPO. Saat ini kakak-kakak kami [startup unicorn] sudah ada yang melantai ke bursa. Sudah dengar juga ada beberapa unicorn yang akan masuk dalam waktu dekat. Kami mendoakan dan belajar dari mereka, semoga berhasil dan lancar. Sehingga buat adik-adik seperti kami yang masih kecil ini bisa belajar. Pada waktunya nanti kami bisa melantai juga.
Masih wait and see ya, Pak?
Mungkin bukan wait and see, tapi lebih ke kami sadar diri kami masih kecil dan masih belajar lah.
Kalau bicara soal bisnis telemedisin, bagaimana sebenarnya potensinya?
Kalau bicara potensi industri, lebih gampang dengan melihat industri kakak-kakak kami, misalnya e-commerce. Kira-kira, berapa penetrasi e-commerce terhadap jantung ekonomi Indonesia? Mungkin 20 - 30 % transaksi sekarang sudah online.
Industri kesehatan itu total value of the market of the healthcare industry Indonesia itu US$ 30 miliar. Jadi, seberapa besar bisa digitalisasi dalam bentuk telemedisin, pasar e-commerce itu yang bisa memberikan gambaran potensinya. Kalau mereka 20 - 30 %, saya rasa masuk akal untuk kami at one point bisa mencapai 20 - 30 % di digitalisasi kesehatan.
Bagaimana Anda melihat roadmap telemedik yang dibuat pemerintah?
Saya rasa pemerintah berpikirnya fenomenal. Pemerintah melihat bagaimana menggunakan krisis menjadikannya kesempatan. Sekarang satu hal yang kita harus bangga sebagai rakyat Indonesia, aplikasi kesehatan terbesar di dunia itu namanya PeduliLindungi. Pengguna aktifnya itu terbesar di dunia.
Ini menjadi dasar dari roadmap pembangunan atau transformasi digital dunia kesehatan oleh pemerintah. Maka dari itu pemerintah dari Kemenkes membangun satu badan atau divisi khusus yang disebut DTO (Digital Transformation Office), di mana output dari DTO ini adalah roadmap yang tadi disebutkan.
Kalau ditanya apakah itu sudah mencakup atau sudah runut, saya sih sangat positif. Menurut saya, yang mereka bangun ini Indonesia will become a very different country once this roadmap digitalisasi kesehatan ini diimplementasikan.
Bagaimana dengan dukungan infrastruktur jaringan saat ini?
Indonesia adalah bangsa yang berpikiran progresif dari sisi internet. Salah satu kelebihan dari Indonesia yaitu beradaptasi dengan digital wallet. Bandingkan Indonesia dengan negara-negara lain, contoh Filipina, Indonesia sudah beradaptasi jauh lebih tinggi. Ini memudahkan adaptasi bentuk-bentuk ekosistem yang lainnya, termasuk kesehatan.
Namun seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang menyebabkan ada daerah yang jaringan internetnya belum seperti di kota-kota besar. Saya yakin pemerintah sedang berjuang keras untuk memastikan jaringan itu bisa komplit. Dan itu bukan suatu yang kami sebagai para pelaku bisa berbuat banyak, itu domainnya pemerintah. Kami cuma bisa mendukung.
Sambil mendukung itu, kami mencoba mencari jalan untuk bisa tetap penetrasi ke market rural, salah satunya menggunakan Bidanku. Itu contoh upaya mengadaptasi tangan ketiga, sehingga kita punya jaringan dan cakupan kemudahan akses kesehatan secara omnichannel menggunakan teknologi maupun yang kita sebut segregate user, di dalam hal ini para bidan.
Artinya, secara teknis, tantangannya relatif lebih mudah sekarang ya, Pak?
Saya rasa begitu. Semua pemerintah pusat maupun daerah semuanya sangat progresif masuk ke era digitalisasi ini.
Pemain telemedik sudah banyak di Indonesia, bagaimana strategi Halodoc untuk mempertahankan pasarnya?
Di industri kesehatan, kami melihat pelaku lain bukan sebagai musuh. Pelaku lain itu adalah bagian dari ekosistem. Karena mimpi kami memudahkan akses kesehatan untuk rakyat Indonesia, kami harus lebih senang kalau lebih banyak orang yang bisa memudahkan akses kesehatan itu.
Kalau mimpinya memudahkan akses kesehatan, jika ada yang baik kita enggak boleh berpikir jelek pada mereka. Namun kami selalu berupaya apa yang bisa membuat lebih baik, itu yang harus kami laksanakan sehingga bisa jadi perusahaan yang terus berkembang.
Kalau ditanya apa yang akan dilaksanakan untuk membuat Halodoc bisa menjaga pangsa pasar, kami akan selalu kembali ke filosofi kami: we don't want to fall in love with solution, we want to fall in love with the right pain, dalam hal ini patient pain. Jadi kami akan selalu berpikir apa yang menjadi problem untuk pasien sekarang, dan problem apa yang bisa kita selesaikan sebagai satu perusahaan.
Kalau begitu apa pain point pasien telemedik yang masih harus dicari solusinya?
Pain point paling dasar di telemedisin adalah anxiety (kecemasan) pasien. Pasien mau tahu dengan siapa dia bicara, apa keahliannya. Itu persoalan pertama yang coba kami cari solusinya. Dalam perjalanannya, orang membutuhkan informasi yang lebih mendalam. Jadi, pain point yang saat ini meluas adalah keinginan orang dalam situasi Covid-19 untuk tahu lebih banyak tentang dirinya. Jadi tes kolesterol, pengetahuan tentang gula darah, bagaimana untuk lebih sehat, dan lain-lain.
Artinya Halodoc akan banyak bermain di konten untuk edukasi?
Konten dan edukasi itu salah satu bentuk solusinya. Saya sering ngobrol dengan teman-teman dari beberapa kementerian. Mereka bilang untuk menjawab hoax itu sering menggunakan Halodoc sebagai supporting content, jadi Halodoc berperan sebagai hoax buster .
Ke depan, yang besar itu adalah kebutuhan orang untuk menjaga diri supaya tetap sehat. Preventive major. Karena selama covid-19 ini kan tiba-tiba seluruh rakyat Indonesia semua jadi ahli kesehatan. Semua ini menumbuhkan keinginan orang untuk sehat.
Bagaimana dengan era Omicron saat ini?
Mungkin di era Omicron kita jauh lebih tenang karena sudah lebih rapi. Hampir semua sistem sudah otomatis. Dari suplai obat kami ready, suplai dokter juga siap, dari testing ready, RS juga kami hubungannya siap. Saya rasa kami on the right place to support Indonesia to be a healthier nation di dalam menghadapi Omicron.