Keteguhan Pelaku Usaha Batik kala Dihantam Pandemi
Motif batik lurik Prasojo yang khas tetap dipertahankan oleh pemiliknya, Maharani Setyawan. Lurik adalah motif wastra khas Solo, Jawa Tengah, yang paling sederhana dan mudah dibuat. Namun, demi menonjolkan ciri khas pada kain lurik, Rani -sapaan karib Maharani- membubuhkan berbagai motif batik di atas lurik tersebut.
Batik Prasojo diproduksi dengan menggunakan mesin tenun serta alat-alat yang memproduksi warna dan motif batik yang variatif. Untuk proses pewarnaan benang misalnya, batik Prasojo harus melalui proses cucuk yang menyisir sekitar 2.700 helai benang.
Dari proses tersebut, Rani yang sudah 15 tahun melakoni usaha batik Prasojo pun membuat kain dan pakaian ready to wear yang unik. “Karena, orang pasti bosan kalau lihat motif garis-garis saja pada lurik. Jadi, aku kasih proses membatik di atas kain lurik biar customer tidak bosan,” tuturnya.
Dengan keunikan pada motifnya, Batik Prasojo tak hanya berhasil menggaet banyak pelanggan. Rani pun sempat memamerkan batiknya pada London Fashion Week tahun 2019. Sebelumnya, produk Batik Prasojo juga pernah melintas di panggung Ottawa Fashion Show tahun 2018.
Setali tiga uang, Sherlita Ayu pun menonjolkan ciri khas batik miliknya. Batik cap produksi usaha menengah yang dipimpin Sherlita sejatinya sudah dimulai oleh ayahnya sejak era 1970-an. Kala itu, belum banyak eksplorasi yang dilakukan oleh sang ayah.
Sebagai generasi ke-2 penerus usaha, Sherlita kini berusaha menawarkan sesuatu yang berbeda kepada pelanggan. Warna pada batik Sherlita lebih beragam dan cerah.
Batik cap Sherlita Ayu diproduksi dengan proses yang berlapis. Mulai tahap pewarnaan, pengecapan batik dengan malam, hingga penguncian warna dengan menggunakan waterglass (natrium silikat) agar tidak luntur. Proses itu kemudian dilanjut dengan perebusan agar sisa-sisa malam yang telah dicap pada kain meluruh. “Prosesnya banyak dan semuanya handmade, tanpa mesin,” tutur Sherlita.
Saat ini batik Sherlita Ayu lebih banyak memenuhi pasar ekspor, terutama Amerika Serikat dan Jepang. Untuk pasar domestik, Sherlita sudah memproduksi kain untuk dipasarkan di Bali, namun belum menggunakan merek miliknya sendiri.
Ke depan, Sherlita berencana melakukan branding untuk batik-batik produksinya, khususnya untuk produk yang dipasarkan di dalam negeri. Sherlita juga bercita-cita untuk mempunyai outlet khusus sebagai area display batik-batik miliknya. Tentunya, dengan jenama yang ia patenkan sendiri.
Bertahan di Tengah Guncangan
Baik Rani maupun Sherlita, keduanya sempat mengalami kesulitan akibat pandemi Covid-19. Rani misalnya, yang terbiasa mengandalkan penjualan via outlet-nya di Solo, mengalami penurunan omzet. Itu terjadi akibat industri pariwisata yang mandek akibat berbagai pembatasan sosial.
“Jadi orang datang ke sini, ajak yang lain. Rombongan, ajak rombongan yang lain, akhirnya viral di media sosial. Begitu pandemi, langsung stop, tidak ada orang datang ke sini,” paparnya.
Hal itu kemudian memaksa Rani untuk merambah lokapasar digital (e-commerce). Dalam beberapa bulan, Rani langsung membantuk tim yang khusus memasarkan produk miliknya secara daring. Kini, seiring membaiknya kondisi pandemi, industri pariwisata di Solo mulai bergeliat. Penjualan Batik Prasojo pun kembali meningkat.
Sherlita pun sempat merasakan tantangan yang sama. Ia pernah mengalami penurunan omzet akibat pandemi, bahkan kuota produksi batik juga sempat kosong hingga beberapa bulan. Namun, di tengah kesulitannya itu, Sherlita tetap optimistis dan giat melakukan pemasaran. Kini, usaha batik miliknya sudah mulai meraup laba yang lebih baik, seiring pandemi yang mereda.
“Tidak ada yang semuanya instan, langsung bisa, meski ada jalannya. Semua orang harus berusaha,” ucap perempuan yang melakoni usaha di Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah (Jateng) itu.
Sehari-harinya, Sherlita mendistribusikan batik produksinya dengan mobil Mitsubishi Xpander. Mobil tersebut menemani kegiatan Sherlita dalam proses pengantaran batik ke lokasi pelanggan. Mitsubishi Xpander menjadi pilihan Sherlita karena mempunyai bagasi yang luas yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang penyimpanan batik-batik milik Sherlita.
Mobil ini juga menemani Sherlita melewati pandemi. Di tengah kondisi pagebluk, Mitsubishi Xpander mampu membantunya melakukan kegiatan sehari-hari. Sebab, meski lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, Sherlita tetap melakukan perjalanan ke lokasi rekanan usahanya di lingkup Jateng.
Beruntung, biaya perawatan Mitsubishi Xpander milik Sherlita tak mahal. Sebab, Sherlita mendapatkan fasilitas berupa biaya jasa servis dan suku cadang yang gratis hingga capaian jarak tempuh 50.000 kilometer (km). Ia juga mendapatkan fasilitas berupa satu kali penggantian kerusakan ban secara gratis.
Keluarga Rani pun menyukai mobil yang sama, sebab Mitsubishi Xpander nyaman dikendarai. Salah satu faktornya adalah pendingin ruangan (air conditoner/AC) di dalam kabin diatur secara digital, alias tidak lagi menggunakan tombol analog. Kemudian, ada tambahan sandaran tangan (arm rest) dengan pegangan gelas (cup holder) pada bagian konsol tengah.
Mitsubishi Xpander rutin digunakan suami Rani untuk berangkat ke kantor dan mengantar anak Rani beraktivitas. “Anakku paling suka nih,” tandas Rani.
Baik Rani maupun Sherlita, merasa, ujian bisnis batik yang dihadapi semasa pandemi adalah bagian dari petualangan hidup. Life’s adventure inilah yang membuat mereka tak goyah kala ditimpa cobaan. Terlebih Sherlita. Ia bersyukur bisa melewati pandemi bersama mobil kesayangannya, Mitsubishi Xpander. Ia berharap agar setiap pebisnis tetap berusaha dan yakin mampu mengatasi tantangan.