Langkah Solid Mitratel Menjadi Tetap Paling Agresif

Mitratel telah berhasil mengakuisisi 6.000 menara Telkomsel dengan nilai transaksi Rp 10,28 triliun, dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Dicky Christanto W.D
13 Desember 2022, 16:49
PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel)
mitratel.co.id
PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel)

PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL), atau yang lebih dikenal sebagai Mitratel, saat ini tengah terpacu untuk mendorong berbagai upaya konsolidasi dan pengembangan bisnis supaya mampu melontarkan kinerja perusahaan secara optimal. 

Konsolidasi yang berjalan mulus tidak hanya akan menguntungkan Mitratel, melainkan juga dipercaya akan turut membuka jalan bagi berbagai operator lainnya dalam mengembangkan usaha mereka. 

Secara konsep, situasi Mitratel ini dan berbagai rencana bisnis yang tengah dilakukan telah menggambarkan secara tepat kondisi “Winner takes all”. Posisi bisnis yang lebih unggul yang memungkinkan Mitratel mempunyai lebih banyak pilihan untuk mengembangkan portofolio bisnis. 

Sebagai langkah pembuka, Mitratel telah menaikkan anggaran belanja modal (Capex) dari Rp 9,9 triliun menjadi Rp 14 triliun. Target utama dari kenaikan anggaran belanja modal ini adalah akuisisi kepemilikan menara milik Telkomsel. 

Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko mengatakan bahwa di kuartal 3 tahun 2022, Mitratel telah berhasil mengakuisisi 6.000 menara Telkomsel dengan nilai transaksi Rp 10,28 triliun, dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, sebagaimana dikutip dari Katadata.co.id (10/8/2022). 

Secara total, jumlah menara menjadi 35,051 menara dengan 50.390 tenant, dengan rincian 14,666 menara atau 42 persen berlokasi di Pulau Jawa dan 20,385 menara, atau 58 persen, berlokasi di luar Jawa. 

Pencapaian ini merupakan kelanjutan dari kinerja perusahaan yang telah membukukan kenaikan laju kepemilikan menara secara CAGR sebesar 26,4 persen pada rentang periode 2017 hingga 2021.

Pasca akuisisi menara ini, Mitratel berencana akan meningkatkan tenancy ratio secara agresif dan perluasan layanan termasuk portofolio bisnis pendukung (tower ecosystem) agar dapat menciptakan nilai yang lebih besar bagi pelanggan. 

Langkah akuisisi ini diyakini akan mampu mendorong kinerja bisnis Mitratel sehingga mampu memenuhi derasnya kebutuhan akan mobile data, perkembangan teknologi 5G dan IoT (Internet of Things).

Mitratel telah berhasil menaikan tenancy ratio secara CAGR sebesar 6,3 persen dibandingkan dengan TP lain rata-rata sebesar 2,8 persen, yaitu dari 1,18 pada 2017 hingga menyentuh angka 1,7x di awal tahun 2021. 

Dibandingkan para pesaingnya, Mitratel telah secara konsisten menunjukan berbagai keunggulan secara CAGR dalam rentang lima tahun terakhir, mulai 2017 hingga 2021. Dalam sektor revenue, misalnya, Mitratel berhasil tumbuh rata-rata 13,8 persen, menyentuh angka Rp 6,8 triliun pada 2021, dari angka pada 2017 yang berada pada Rp 4,08 triliun. 

Posisi Mitratel meninggalkan dua kompetitornya yang membukukan pertumbuhan rata-rata revenue masing-masing pada 12,8 persen dan 11,3 persen. 

Sama halnya dengan net income, dimana Mitratel juga berhasil mencatatkan pertumbuhan rata-rata yang sangat impresif, hingga 35,7 persen, pada Rp 1,3 triliun di 2021, dari posisi 2017 yang tercatat pada Rp 407 miliar. 

Pertumbuhan net income Mitratel tidak terkejar oleh dua kompetitornya dalam rentang lima tahun terakhir, sebagaimana tercatat rata-rata pada angka 13,2 persen. 

Performa kinerja keuangan yang semakin solid juga ditunjukan oleh Mitratel yang selama periode 9 bulan pertama 2022 ini pendapatannya naik 11,5 persen secara tahunan menjadi Rp. 5,6 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp. 5,03 triliun. 

Lonjakan pendapatan itu mendongkrak laba bersih perusahaan 18,1 persen menjadi Rp1,23 triliun dibandingkan periode sebelumnya Rp. 1,04 triliun. Begitu juga dengan EBITDA yang mengalami kenaikan sebesar 15.7 persen menjadi Rp. 4.4 triliun.

Margin EBITDA dan margin laba bersih pada kuartal III perseroan tahun ini meningkat masing-masing menjadi 78,5 persen dan 21,9 persen. Kontributor utama dari peningkatan laba ini adalah margin EBITDA dari portofolio penyewaan menara yang meningkat 85,1 persen dan margin laba bersihnya meningkat 23,4 persen.

Hal ini menunjukan keberlanjutan dari tren pertumbuhan secara CAGR yang sudah berjalan selama periode 2017 hingga 2021, dimana Mitratel berhasil membukukan kenaikan EBITDA sebesar 28,8 persen, jauh mengungguli lawan-lawannya yang hanya mampu mencetak 12,7 persen dan 11,6 persen pada periode yang sama. 

Adapun pendapatan dari sewa menara di periode Januari-September 2022 melesat 12,9 persen menjadi Rp. 5,08 triliun.

Hal ini tentunya tidak mengherankan karena pada periode 2017-2021, Mitratel telah berhasil membukukan kenaikan jumlah tenant hingga 34,3 persen, sementara kedua kompetitornya jauh tertinggal pada 21,2 persen dan 14,2 persen dalam kurun periode yang sama. 

Pada 2023, Mitratel berencana menjadi perusahaan infrastruktur digital. Sebab itu, perseroan perlu memastikan kesiapan untuk menggarap pasar 5G sebagai perusahaan infrastruktur digital. 

Pemerintah dalam dua tahun terakhir memang sedang menyiapkan landasan transisi jaringan menuju 5G, sebagai bagian dari ambisi transformasi digitalnya. 

Sebagai pengembangan teknologi 4G, jaringan 5G memang memiliki lebih banyak keunggulan dibanding pendahulunya. Kecepatan ideal 5G dapat mencapai 10 Gbps (gigabits per second) dengan jeda waktu pengiriman data sekitar 4-5 milidetik, sementara 4G maksimal hanya bisa mencapai 100 Mbps.

Latensi jaringan 5G pun sangat rendah, hampir nol, sehingga sangat berguna untuk aplikasi yang memerlukan umpan balik realtime. Kualitas koneksi pun tak akan menurun meski banyak perangkat yang terhubung —perihal yang menjadi kekurangan jaringan 4G.

Kemampuan teknologi jaringan 5G untuk bersinergi dengan sektor lain diluar komunikasi, seperti kesehatan, transportasi juga tinggi. 

Berdasarkan riset Institut Teknologi Bandung, sebagaimana dikutip dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika, perkembangan jaringan 5G di Indonesia berpotensi memberikan kontribusi lebih dari Rp2.800 triliun atau setara 9,5 persen dari total PDB pada 2030. 

Angka itu bahkan berpotensi melonjak menjadi Rp3.500 triliun atau setara 9,8 persen dari total PDB Indonesia pada 2035.

Riset tersebut juga memperkirakan potensi peningkatan investasi bisnis di Indonesia sebesar Rp591 triliun dan Rp719 triliun masing-masing pada 2030 dan 2035 jika jaringan 5G diterapkan secara agresif.

Laporan Global Suppliers Association (GSA) hingga akhir 2021, setidaknya 89 negara sudah mengimplementasikan 5G. Untuk kawasan Asia, Tiongkok tercatat sebagai negara dengan koneksi 5G terbanyak, mencapai lebih dari 384 juta masyarakat, disusul Jepang (25,15 juta), dan Korea Selatan (16,1 juta).

Sementara di Indonesia, sejak beroperasi komersial pada Mei 2021, jaringan 5G di Indonesia setidaknya kini baru tersedia di sembilan wilayah di Indonesia yakni Jabodetabek, Solo, Medan, Balikpapan, Surabaya, Makassar, Bandung, Batam, dan Denpasar. Cakupan itu diproyeksikan terus bertambah di masa mendatang.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...