11 Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono Penyair Terkenal Indonesia
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono merupakan sastrawan kebanggaan Indonesia, yang dikenal dengan karya tulisannya yang sederhana, namun mengandung makna yang dalam. Orang-orang lebih mengenalnya sebagai sastrawan. Sebelum masuk perguruan tinggi, dia sempat dikenal lewat sajak yang dia buat saat berusia 17 tahun.
Di masa pensiunnya, dia masih aktif menulis dan mengajar di Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Sapardi meninggal pada Minggu, 19 Juli 2020, pukul 09.12 WIB di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.
Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono
Ada banyak puisi karya-karya besar yang dimiliki beliau. Beberapa karya Sapardi Djoko Damono antara lain, Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), dan masih banyak lagi.
Tentu masih banyak lagi puisi karya Sapardi Djoko Damono yang mempunyai tempat tersendiri di hati para penggemarnya. Berikut kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono:
1. Sementara Kita Saling Berbisik (1966)
sementara kita saling berbisik
untuk tingga lebih lama lagi
pada debu, cinta yang tinggal berupa
bunga kertas dan lintasan angka-angka
ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api
sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi
2. Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
3. Aku Ingin (1989)
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
4. Yang Fana Adalah Waktu (1989)
Yang fana adalah waktu.
Kita abadi memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.
Kita abadi.
5. Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
6. Menjenguk Wajah di Kolam
Jangan kau ulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.
Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.