Bisnis Penerbangan dan Big Data: Tantangan Melindungi Privasi Konsumen

Ridha
Oleh Ridha Aditya Nugraha
23 Juli 2018, 05:42
Ridha
Ilustrator: Betaria Sarulina
Sejumlah penumpang mencari informasi jadwal penerbangan di Bandara Ngurah Rai, Bali, Jumat (29/6). PT Angkasa Pura I menutup sementara operasional Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai selama 16 jam mulai pukul 03.00 WITA hingga 19.00 WITA setelah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mengeluarkan NOTAM A2551/18 pada Jumat (29/6) akibat dampak sebaran debu vulkanik dari erupsi Gunung Agung.

Thomas Cooley, seorang hakim Amerika Serikat, memperkenalkan “the right to be alone”. Istilah ini kemudian menjadi landasan konsep privasi yang lahir pada akhir abad ke-19.

Seiring waktu, memiliki privasi menjadi salah satu hal paling berharga dalam kehidupan. Berkaca dari pengalaman Perang Dingin di Eropa Timur, mayoritas penduduk hidup di bawah pengawasan dinas intelejen selama 24 jam dalam 7 hari. Alhasil, hampir tiada hal pribadi yang dapat disembunyikan.

Kini manusia telah memasuki era digital. Data sendiri, dalam konteks digital, telah menjamur di masyarakat salah satunya berkat kehadiran industri perbankan. Perusahaan kartu kredit tidak ketinggalan turut meramaikan peredarannya.

Dipadukan dengan fenomena big data, data pribadi yang berseliweran di dunia maya telah menjelma menjadi suatu ‘komoditas’ berharga. Marketing perusahaan mana yang tidak membutuhkan data konsumen?

Berbicara mengenai bisnis penerbangan, mereka termasuk pihak yang diuntungkan dengan kehadiran era big data. Pada saat bersamaan, muncul kewajiban bagi maskapai penerbangan guna menjamin pemanfaatan big data tidak melanggar privasi.

Kenyataannya, divisi marketing seringkali beroperasi pada ranah abu-abu ketika berurusan dengan hal ini. Di tengah ketatnya persaingan usaha, tidak heran jika mereka kian agresif.

Didukung dengan suatu teknologi bernama cookies, divisi marketing dapat menganalisis tingkah laku (calon) penumpang. Kemampuan cookies dalam melacak dan memonitor tingkah laku dan kebiasaan pengguna internet terbukti berdampak positif mengoptimalkan pemasaran produk berbagai macam industri, termasuk bisnis penerbangan.

Pada sisi lain, penggunaan cookies berarti membuka suatu tabir yang berpotensi menyinggung privasi dan data pribadi seseorang melalui upaya pengidentifikasian. Sebagai contoh, memonitor pola pemesanan tiket berdasarkan waktu dan tujuan dapat mengungkapkan identitas seseorang akan tingkah laku, riwayat kesehatan baik fisik maupun mental, hingga agama atau keyakinan.

Kemudian setelah mencari atau memesan tiket pada rute tertentu melalui website maskapai penerbangan atau pihak ketiga, seringkali dijumpai penawaran kembali rute spesifik tersebut pada pop-up atau kolom iklan ketika tengah mengakses website lain. Cukup berdasar untuk menyatakan konsumen tengah dimata-matai selama 24 jam dalam 7 hari.

Alhasil, instrumen hukum universal yang pro-perlindungan privasi diterjemahkan dengan keberadaan permintaan persetujuan penggunaan cookies ketika pertama kali mengakses suatu website. Bahkan pada beberapa yurisdiksi, ukuran tulisan harus cukup besar agar dapat terbaca dengan baik serta tidak dicentang sejak awal (auto tick).

Suatu persetujuan baru akan dianggap memadai jika permintaan akan pemrosesan data pribadi dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang gamblang, tegas, dan tidak berbelit-belit (explicit request).

Jangan dilupakan bahwa kita hidup di tengah rendahnya kesadaran konsumen dalam membaca ketentuan perihal perlindungan data pribadi. Seringkali langsung mencentang click box “setuju” ketika menjumpai informasi kebijakan privasi. Keadaan ini merupakan sebagai salah satu paradoks yang hidup.

Berkaca dari keadaan di atas, bisnis penerbangan memiliki keunikan tersendiri mengingat seorang penumpang harus menyerahkan data pribadinya terlebih dahulu guna membeli jasa. Tidak memberikan data berarti tidak terbang. Situasi ini menimbulkan dilema dari perspektif perlindungan privasi menyadari data konsumen rentan disalahgunakan.

Beberapa isu aktual lain yang tidak kalah penting ialah urgensi maskapai penerbangan menyusun kebijakan internal akan akses para karyawan terhadap data; bagaimana hak dan informasi atas pemrosesan data pribadi disampaikan kepada para penumpang; hingga sejauh mana divisi IT mampu mengamankan data pribadi dari ancaman peretas.

Halaman:
Ridha
Ridha Aditya Nugraha
Ketua Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...