Nasib Generasi Sandwich, Terjepit Beban di Tengah Penurunan Pendapatan

Drg Dina Octaviany harus memutar otak. Pandemi Covid-19 membuat penghasilan keluarganya berkurang karena ia harus menutup praktik. Padahal, ia dan suami juga harus menghidupi keluarga orang tua mereka.
“Saya sebulan bisa dapat Rp 5 Juta sampai 10 Juta. Sejak ada virus corona, saya menutup praktik demi keamanan. Di masa pandemi, pemasukan berkurang drastis tapi pengeluaran jalan terus,” kata Dina kepada katadata.co.id, Selasa (28/07).
Dina dan suaminya adalah salah satu contoh generasi sandwich. Ia memiliki beban ganda karena selain menghidupi diri sendiri, ia harus menyokong kehidupan generasi di atas (orang tua) sekaligus di bawahnya (anak).
Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Dorothy A Miller lewat tukisannya berjudul The Sandwich Generation: Adult children of aging pada 1981 silam. Kini, situasi semakin pelik ketika generasi sandwich ikut terdampak pandemi.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) Juni lalu, penurunan pendapatan dialami oleh seluruh kelompok penghasilan. Survei ini mengungkap, sebanyak 70% masyarakat berpendapatan rendah (di bawah Rp 1,8 Juta) menjadi kelompok yang paling banyak mengalami kemerosotan pendapatan. Berikut datanya:
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh generasi sandwich?
Cari Peluang Baru
Setelah tak lagi buka praktik, Dina semakin serius sebagai social media influencer. Selain akun pribadi @celoteholic, ia juga mengurus akun kuliner @makanpakereceh.plg sejak 2018.
Pendapatannya dari endorsement kedua akun ini bisa mencapai Rp 20 juta per bulan. “Sempat sepi di awal masa pembatasan sosial, tapi sekarang semakin banyak pelaku usaha yang berpromosi di sosial media. Jadi saya juga ikut terbantu,” ujarnya.
Mencari pemasukan tambahan jangka pendek ini juga dianjurkan oleh certified financial planner Widya Yuliarti. Menurutnya, mencari sumber pendapatan ini bisa menutupi berbagai beban pembiayaan bila terjadi penurunan pendapatan selama pandemi.
Cukupi Dana Darurat
Widya juga menekankan pentingnya dana darurat di masa pandemi. Pasalnya, sesoerang yang memiliki dana darurat, meski mengalami penurunan pendapatan hingga 30% akan lebih mampu bertahan tanpa menjual asetnya.
Rasio dana darurat, menurut Widya, harus ditabung setidaknya 20% dari pendapatan bulanan. Selanjutnya, dana darurat ideal di masa krisis bagi mereka yang sudah berkeluarga disarankan sebanyak 12 kali pengeluaran bulanan.
“menurut saya sih harus mulai aware sama dana darurat, manfaatnya kan bisa terasa di masa sulit seperti ini. Dana darurat juga bisa jadi alternatif bila ada pengeluaran tidak terduga,” Ujar Widya.
Hasil riset Jakpat terhadap 1343 responden pada Mei lalu juga menemukan bahwa 67% generasi sandwich yang tidak memiliki dana darurat menjadi pesimistis dengan kondisi keuangannya saat masa pandemi ini.
Jika Harus Berutang...
Dalam mencukupi kebutuhan, mayoritas responden masih bergantung pada sisa tabungan. Meski begitu, ada 28% responden yang terpaksa berhutang.
Menurut Widya yang merupakan financial planner dari Finansialku itu, bila terpaksa harus meminjam dana, utamakan mencari pinjaman ke perseorangan agar terhindar dari bunga kredit. Hal ini dapat membantu generasi sandwitch terhindar dari beban baru, yakni bunga pinjaman.
“Bunga berjalan terus, jadi menghindari bunga berjalan ketika membuat pinjaman,” ujar Widya.
Reporter: Muhamad Arfan Septiawan