Jalan Berliku Pemerintah Turunkan Biaya Tes Covid-19
Lebih dari enam bulan berlalu sejak kasus Covid-19 pertama di Indonesia terkonfirmasi, namun hingga kini pandemi belum teratasi. Pemerintah masih perlu meningkatkan kapasitas tes untuk membendung penularan virus corona. Upaya itu masih terbentur minimnya fasilitas laboratorium dan biaya pemeriksaan yang tinggi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, jumlah ideal tes Covid-19 mingguan adalah 1.000 orang per satu juta penduduk. Dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 268 juta, seharusnya tes harus dilakukan kepada 268 ribu orang tiap pekan.
Data 22 September 2020, spesimen yang selesai diperiksa sebanyak 43.896 spesimen yang dilakukan 343 laboratorium di berbagai daerah. Meski demikian, secara per daerah, belum semuanya mencapai standar World Health Organization (WHO) sebesar 1/1000 dari jumlah penduduk per minggu.
Satgas Penanganan Covid-19 saat ini terus mendorong daerah-daerah tersebut. Terutama provinsi-provinsi prioritas penyumbang terbanyak pasien Covid-19.
"Beberapa daerah di Indonesia, seperti DKI dan daerah-daerah lainnya sudah melebih standar WHO. Kami selalu mendorong daerah lainnya untuk meningkatkan testing-nya, seluruh kebutuhan testing akan dipenuhi Satgas," kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan, Selasa (22/9/2020).
Saat ini, pemerintah telah mengatur batasan harga untuk uji cepat (rapid test) Rp 150 ribu. Ketentuan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan.
Namun, rapid test tidak bisa digunakan untuk pemeriksaan diagnosis. Rapid test hanya bisa digunakan untuk penapisan (screening). Diagnosis Covid-19 bisa dilakukan dengan tes berbasis polymerase chain reaction (PCR).
Pemerintah juga telah merancang aturan terkait standardisasi harga dan mutu tes usap yang berbasis PCR. Aturan ini akan berlaku bagi fasilitas kesehatan milik pemerintah, swasta serta provider dari PCR dan reagen.
"Sudah ditantatangani oleh Plt Dirjen Pelayanan Kesehatan kemarin sore," kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto kepada Katadata, Selasa (22/9). Namun, kabar ini belum dikonfirmasi oleh Kementerian Kesehatan.
Selama ini, masyarakat merogoh kocek cukup dalam untuk tes PCR secara mandiri di fasilitas kesehatan swasta. Biayanya bisa mencapai Rp 3,5 juta untuk sekali tes. Semakin cepat hasil tes PCR keluar, tarif tes akan semakin mahal.
Sedangkan, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo saat rapat dengan DPR menyatakan bahwa tarif tes PCR atau pemeriksaan per spesimen tidak ada di kisaran Rp 500.
Beberapa rumah sakit dituding melakukan "komersialisasi" tes PCR, dengan mematok harga tinggi. Namun Asosiasi Rumah Sakit membantah tudingan tersebut, harga mahal itu disebut pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes serta membayar tenaga kesehatan.
DPR pun mendukung upaya pemerintah untuk menyeragamkan biaya tes usap berbasis PCR untuk mendeteksi COVID-19. "Iya perlu, supaya kita bergotong royong menangani COVID-19 dan yang mampu secara ekonomi bisa melakukan swab test secara mandiri," kata Wakil Ketua Komisi Kesehatan Sri Rahayu.
Sependapat dengan Sri, Pakar epidemiologi Universitas Airlangga Laura Navika Yamani menyatakan bahwa insiatif warga untuk melakukan tes secara mandiri harus didukung. Salah satunya dengan menekan biaya tes tersebut.
Sebab, saat ini tes gratis yang dilakukan pemerintah masih terbatas pada mereka yang dalam penelusuran kontak. “Minimnya jumlah tes berarti ada kemungkinan bahwa angka kasus sebenarnya lebih banyak dari yang tercatat,” ujarnya.
Berikut adalah Databoks yang menggambarkan rasio pelacakan kontak pasien Covid-19 di berbagai daerah:
Masalah di Daerah
Selain tingginya biaya tes, sejumlah laboratorium di daerah masih menghadapi kendala dalam melakukan tes untuk mendeteksi Covid-19. Salah satunya disampaikan petugas Laboratorium Kesehatan (Labkes) Provinsi Jambi yang bernama Nurlaini.
Dia mengatakan Labkes Jambi belum bisa melakukan pemeriksaan dengan metode polymerase chain reaction (PCR) lantaran ketiadaan mesin. "Kami lebih tertinggal karena kami belum ada sama sekali pemeriksaan PCR," kata Nurlaini dalam webinar yang diselenggarakan sejumlah pekerja laboratorium RI, Kamis (17/9) lalu.
Dia mengatakan pemeriksaan PCR di Jambi hanya mampu dilakukan di balai milik Balai Pengawas Obat dan Makanan (POM) Jambi. Labkes lalu menjalin kerja sama dengan POM untuk menempatkan lima tenaga kesehatan.
Belakangan, muncul pula masalah ketersediaan reagen dan bahan habis pakai (BHP) di laboratorium. Mereka pun harus meminta tambahan alat-alat tersebut kepada Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Lantaran minimnya amunisi, Labkes Jambi hanya mampu melakukan upaya penelusuran (tracing) dengan tes cepat (rapid test). Dia juga mengakui bahwa sulitnya kondisi ini membuat kasus Covid-19 di wilayah tersebut sangat minim.
Berdasarkan data Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Jambi hingga Selasa (22/9), total kasus positif Covid-19 mencapai 386 kasus. Dari data Kementerian Kesehatan, hingga 14 September, Provinsi Jambi hanya mampu memeriksa 98 orang per satu juta penduduk per pekan atau salah satu yang terendah di RI.
Rudiyanto, petugas Labkes Sulawesi Tengah menyampaikan masalah lainnya. Dia mengatakan kemampuan mesin PCR mereka hanya mampu memeriksa 14 sampel sekali beroperasi.
Dengan kapasitas tersebut, hasil pemeriksaan Covid-19 di Sulawesi Tengah maksimum 100 sampel per hari. Hasil tes dengan jumlah maksimum hanya bisa diperoleh bila para petugas laboratorium bekerja hingga malam. Sedangkan, bantuan alat PCR dari Satgas Penanganan Covid-19 belum juga diterima.
Pekerjaan semakin berat karena Labkes Sulawesi Tengah juga ikut memeriksa sampel dari kabupaten lain. "Kami bisa memberikan pelayanan pada teman-teman Sulawesi Barat, walau lambat karena PCR terbatas," ujar dia.
Hingga Selasa (22/9), total kasus positif di Sulawesi Tengah mencapai 321 kasus. Adapun angka tes per satu juta penduduk tiap minggu di Sulteng hingga 14 September hanya 42 orang.