Jurus Pemerintah Hadapi Penolak Vaksin
- Menurut survei, 17% responden menolak vaksin dan 40% masih pikir-pikir.
- Penolak vaksin berasal dari berbagai kalangan, termasuk Anggota DPR.
- Selain penolakan vaksin, pemerintah juga masih menghadapi kendala distribusi.
Berbagai negara tengah mengupayakan vaksinasi untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Indonesia pun turut mengupayakan vaksinasi virus corona guna menekan penularan virus corona.
"Vaksin ini juga digunakan untuk melindungi keluarga kita, tetangga kita, melindungi rakyat Indonesia," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/1).
Pemerintah menargetkan vaksinasi Covid-19 dapat dilakukan kepada 181,5 juta penduduk. Angka tersebut merupakan 70% populasi berusia di atas 18 tahun, dikurangi mereka yang hamil dan memiliki penyakit penyerta atau komorbid yang tak terkontrol.
Lalu, strategi apa saja yang dilakukan pemerintah untuk memastikan keberhasilan vaksinasi virus corona?
Budi mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai sosialisasi dan edukasi vaksin kepada tenaga kesehatan. Selain itu, pemerintah juga menggelar webinar dengan mengajak tokoh-tokoh di sektor kesehatan. "Kami sebar di Youtube dan media sosial," ujar Budi.
Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu mengatakan, masih ada beberapa kelompok lainnya yang perlu diyakinkan agar mau menerima vaksin Covid-19. Selain itu, pemerintah juga akan fokus sosialisasi kepada tenaga kerja publik dan lanjut usia.
Tak hanya itu, vaksinasi perdana di Istana Merdeka menjadi upaya sosialisasi kepada masyarakat. Ia berharap, langkah tersebut dapat menumbuhkan minat masyarakat di seluruh Indonesia untuk divaksin.
Sebagaimana diketahui, Jokowi menjadi orang pertama di Indonesia yang menerima vaksin Covid-19. Vaksinasi tersebut dilakukan di Istana Merdeka pada Rabu (13/1) pagi.
Adapun, vaksinasi perdana juga diikuti oleh berbagai kelompok profesi. Beberapa di antaranya ada Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M. Faqih, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Kepala Polri Idham Azis, dan artis Raffi Ahmad yang turut disuntik.
Kemudian, ada juga Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani. Tak luput, pemerintah juga memberikan vaksin kepada perwakilan buruh, Agustini Setiyorini dan perwakilan pedagang, Narti.
Berikut adalah Databoks cakupan vaksin Covid-19 di Indonesia:
Keraguan Masyarakat
Keraguan masyarakat dalam menerima vaksin Covid-19 memang menjadi persoalan. Ini tercermin dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) periode 16-19 Desember 2020 terhadap 1.202 responden.
Dalam survei tersebut, belum seluruh masyarakat bersedia melakukan vaksinasi ketika vaksin telah tersedia. Hanya 37% yang menyatakan bersedia melakukan vaksinasi Covid-19. Sementara 17% menyatakan tidak akan melakukan vaksin dan 40% masih pikir-pikir.
Bahkan, Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dari PDIP Ribka Tjiptaning terang-terangan menolak untuk disuntik vaksin. Bahkan, ia lebih memilih untuk membayar bila dikenakan sanksi pidana.
Bukan hanya untuk dirinya sendiri, Ribka juga menolak vaksin untuk seluruh keluarganya. "Misalnya pun di DKI semua anak cucu saya dapat sanksi lima juta karena tidak divaksin, lebih baik saya bayar," kata Ribka saat rapat dengar pendapat dengan Menteri Kesehatan, Kepala BPOM, dan Direktur Utama PT Bio Farma pada Selasa (12/1).
Ribka mengingatkan, pemaksaan vaksinasi dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, ia menilai pemberian vaksin corona tidak bisa dipaksa.
Sanksi Menolak Vaksin Covid-19
Di pihak lain, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan, hak asasi manusia berbanding lurus dengan kewajiban dasar manusia.
Pasal 69 Undang-Undang (UU) No 31 1999 tentang HAM menyebutkan setiap hak asasi manusia sesorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Dengan demikian, Edward menilai ada kewajiban bagi setiap warga negara untuk turut serta dalam mewujudkan kesehatan masyarakat, termasuk upaya penanganan Covid-19.
Ia pun memastikan, ada sanksi yang dikenakan bagi penolak vaksin Covid-19. Dia mengacu pada Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pasal tersebut menyebutkan, setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
"Jadi ketika kita menyatakan bahwa vaksin ini suatu kewajiban, maka jika ada waraga negara yang tidak mau divaksin, bisa dikenakan denda bisa penjara dan bisa juga kedua-duanya," ujar dia.
Meski begitu, ia mengakui bahwa aturan pidana tersebut merupakan pasal karet. Sebab, ada bahasa yang sangat luas dalam aturan tersebut lantaran belum ada penjelasan terkait tindakan yang tidak sesuai dengan kekarantinaan kesehatan.
Edward pun memastikan, UU Kekarantinaan Wilayah umumnya diperinci melalui Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, atau Peraturan Walikota. Sebab, tingkat kedaruratan kesehatan berbeda-beda di beberapa wilayah.
Ia pun menilai, hukuman pidana semestinya menjadi alternatif paling terakhir. Dengan demikian, aturan tersebut baru bisa diterapkan bila instrumen penegakan hukum lainnya tidak berjalan. "Yang diutamakan sosialisasi ke masyarakat," kata Edward.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah merilis Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19. Regulasi itu di antaranya menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menolak vaksin akan dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp 5 juta.
Kendala Distribusi Vaksin
Meski telah melakukan berbagai upaya, program vaksinasi Covid-19 bukan tidak menemui kendala. Budi menceritakan, ia cukup panik lantaran ada delapan provinsi yang tidak bisa menampung vaksin Coronavac.
Kondisi itu terjadi lantaran kapasitas rantai pendingin di wilayah tersebut sudah penuh. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan tidak memiliki laporan bahwa kapasitas penyimpanan di 8 provinsi itu tidak mencukupi.
Selain itu, Budi bilang distribusi vaksin tidak bisa dipantau secara daring di 34 provinsi. Padahal, Bio Farma telah memiliki fasilitas pemantauan suhu vaksin yang bisa dipantau setiap detik.
"Bio Farma bisa memantau secara online. Ke mana bergerak, suhu keliatan. Tapi begitu serah terima ke provinsi, data itu hilang," ujar dia. Hal ini terjadi karena ketidaksiapan infrastruktur di daerah.
Oleh karena itu, pemantauan vaksin di daerah harus menggunakan sistem manual. Namun sejak ada revisi Undang-Undang Otonomi Daerah, tidak semua sistem manual di daerah berjalan dengan baik.
"Sehingga kami ada rasa kekhawatiran. Kita tidak tahu sampai sana, vaksin bagus atau rusak," kata Budi. Ia pun tengah mencari solusi untuk menyelesaikan masalah distribusi vaksin.