Siasat Gedung Pertunjukan Menyambut Kontraproduktif Masa Pandemi
Skema new normal telah berjalan di beberapa kota maupun kabupaten. Berbagai modifikasi pendekatan protokol kesehatan marak diterapkan. Beberapa diantaranya yaitu penyediaan sabun pencuci tangan yang dilengkapi air bersih untuk membilas di depan toko; penerapan strategi jaga jarak di beberapa titik - terutama pada lapak penjual makanan; dan diperketatnya pemeriksaan suhu tubuh serta penggunaan masker oleh pengunjung.
Fenomena tersebut kini menjadi pemandangan yang lazim hampir di semua sudut kota. Dengan hadirnya peradaban baru ini, mau tidak mau, kita terpaksa harus bersahabat dengan pandemi corona. Meski demikian, kuantitas ruang new normal memberi banyak pembeda dalam dimensi kehidupan manusia sekarang. Sebagai sebuah proses pembaruan, hal ini juga menjelma sebagai ruang yang sangat menantang bak arena para gladiator, tidak terkecuali kesenian. Penentuan jalan rumusan tata kelola seni pertunjukan yang komprehensif harus segera dirumuskan.
Terasa jelas masyarakat masih berbenah guna memulihkan stabilitas ekonomi yang terus tergerus. Adanya pemutusan hubungan kerja (PHK), kesulitan mencari pekerjaan serta berbagai teror kecemasan dengan adanya pembatasan disaat pandemi benar-benar menciptakan antiklimaks tersendiri. Hal ini tentu membuat publik merasa kesulitan untuk dapat merasakan indahnya keagungan karya seni seperti kala suasana normal sebelum pandemi.
(Baca: Kemenparekraf Kaji Pembentukan BLU untuk Bantuan Insentif Pemerintah)
Semua aspek kehidupan kini mulai ‘hidup’, tetapi tak sedikit pula yang masih mati suri. Salah satunya adalah aktivitas pada gedung pertunjukan serta para seniman yang mengais rezeki di dalamnya. Senyawa yang tak terpisahkan ini masih belum dapat menunjukkan padu padan kehidupan terbaiknya. Mucul keengganan dari sisi penonton maupun para seniman pertunjukan untuk melakukan aktivitas di area tersebut.
Pada sisi lain, penyebab nyata juga ditunjukkan dengan adanya aturan pemerintah yang masih belum memperbolehkan dibukanya gedung pertunjukan. Alasan kekhawatiran penularan menjadi penyebab utama selain seni pertunjukan yang masih dianggap sebagai kebutuhan sekunder. Dengan kata lain, apabila seniman tak beraktivitas, maka penonton tak datang dan akhirnya gedung pertunjukan pun dapat mati.
Pandemi membuat kota besar yang memiliki tradisi kuat dalam bidang seni pertunjukan dengan keramaian aktivitas gedung pertunjukan praktis mati suri, misalnya DKI Jakarta (Teater Kecil & Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Ciputra Artpreneur, Teater Salihara, dan Gedung Kesenian Jakarta), Bandung (Gedung Sunan Ambu dan Rumentang Siang), Yogjakarta (Taman Budaya Yogyakarta, Concert Hall ISI Yogya) dan Surabaya (Ciputra Hall dan Balai Budaya).
Riuh gaduhnya penonton mendadak berubah menjadi suara keheningan akibat Covid-19. Pengelola gedung pertunjukan seolah diingatkan bahwa perlu ada metode aktivasi dan business model lain bila bencana serupa menerjang kembali. Apabila tidak diantisipasi dengan cepat, tepat dan akurat, maka ancaman kehancuran ataupun kebangkrutan adalah hal yang nyata.
(Baca: Pendaftaran Insentif Ekonomi Kreatif Rp 24 M Dibuka, Ada Syaratnya)
Aset Bangsa dan Optimalisasi Internet
Performance (pertunjukan) biasanya melibatkan empat unsur yakni waktu, ruang, tubuh sang seniman, dan hubungan seniman dengan penonton. Hal yang menjadi narasi kuat dan agak sedikit diabaikan dalam beberapa pembahasan ialah persoalan dimensi ruang. Consumer journey dalam menikmati sebuah performance di gedung pertunjukan merupakan hal mutlak. Hal ini seolah tak dapat digantikan, sehingga makna ruang kerap dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat fisik.
Premis ini sebenarnya layak diperdebatkan. Namun, pandemi ini telah menjadi saksi hidup yang secara telak menggambarkan mungkin memang dominasi pendekatan “fisik” terlalu superior terhadap “daring”. Gugatan terhadap online behavior, ditambah masih lemahnya sektor infrastruktur menjadi salah satu penyebab sikap pesimistis terhadap dunia daring yang idealnya mampu berbicara banyak dalam eksosistem industri seni pertunjukan saat atau pasca pandemi.
Dalam webinar yang diusung oleh Ciputra Artpreneur dengan tajuk Dilema Teater Berbasis “online” (1/7/2020), disimpulkan bahwa seniman perlu bersiasat guna memperkuat lini aktivasi kegiatan seni pertunjukan dengan optimalisasi infrastruktur internet yang memadai. Mentransformasikan sistem digital dan memaksimalkan fungsi suatu gedung pertunjukan dalam perspektif “ruang” yang lebih eksploratif melalui program kerja atau tontonan yang kental dengan dunia maya menjadi keharusan.
(Baca: Strategi Bioskop CGV Bertahan di Tengah Pandemi Corona)
Persebaran gedung pertunjukan di beberapa titik sentral beberapa kota Indonesia menegaskan perlu adanya jejaring sebagai sebuah jalur kesenian, terutama seni pertunjukan, guna bergotong royong menciptakan suatu dunia baru yang khas. Jalur ini hampir serupa dengan tol laut yang diperkenalkan pemerintah, tetapi penghubungnya adalah internet.
Langkah ini merupakan peta strategis untuk membangun seni budaya bangsa, termasuk pendidikan dan pariwisata, mengingat semuanya saling terkait. Masyarakat dapat mengakses secara gratis atau dengan biaya murah untuk acara yang diusung gedung pertunjukan melalui medium tersebut. Penampilan seni tidak melulu hanya bergantung pada YouTube atau Zoom - ditakutkan melupakan pondasi sejatinya.
Persoalan jalur tol maya dalam dimensi seni budaya jelas relevan dengan rincian program yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G. Plate, dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI mengenai Rencana Kerja dan Anggaran dan Rencana Kerja Pemerintah Kementerian Kominfo dan Isu-Isu Aktual Bidang Kominfo (22/06/2020). Isu terkait ialah penyediaan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK), pengelolaan spektrum frekuensi, penataan pengelolaan pos dan informatika, serta komunikasi publik.
(Baca: Simalakama New Normal dan Gejolak Seniman Pertunjukan Meresponnya)
Persoalan paling krusial yang perlu dirumuskan oleh para pemangku kepentingan guna mendukung jalan tol maya dalam dimensi seni budaya ialah percepatan ketersediaan infrastruktur dunia maya. Kecepatan internet yang solid, keberadaan Base Transceiver Station (BTS), titik posisi dari gedung pertunjukan tersebut hingga kualitas program yang akan rilis merupakan kombinasi isu yang harus dihadapi agar demi menyempurnakan jalan tol maya tersebut.
Road map, perencanaan strategis terukur dan kerja kolaboratif yang produktif perlu segera direalisasikan agar dapat terwujud masyarakat berdaulat sinyal internet. Alhasil, keberadaannya dapat menjadi penopang eksistensi gedung pertunjukan dengan program berbasis daring.
Transformasi manajemen gedung pertunjukan yang adaptif, kesiapan perangkat pendukung serta mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang handal terhadap online behaviour strategy diperlukan agar kita tidak gagap menghadapi pandemi. Sejatinya gedung pertunjukan adalah aset yang menjaga identitas bangsa melalui nilai seni budaya yang tercermin dalam setiap nafas aktivitasnya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.