Polemik TWK: Akhir Kisah si Raja OTT
Harun Al Rasyid sedang dalam perjalanan ketika menyadari ada yang salah dengan ponselnya. Hari itu, Senin (27/9), Harun ada janji temu dengan salah satu koleganya. Saat tiba di lokasi, Harun tiba-tiba tidak bisa mengakses aplikasi Whats App. Belakangan, ia mengetahui ada belasan eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengalami nasib serupa. Meski membuat jengkel, aksi peretasan ini bukan kali pertama dialami oleh mantan penyidik KPK ini.
Harun adalah salah satu penyidik KPK paling disegani. Di kalangan koleganya, ia dijuluki ‘Raja OTT’. Sebabnya, Harun terlibat dalam banyak sekali operasi tangkap tangan oleh lembaga anti-rasuah itu. Julukan ini pertama kali keluar dari mulut Ketua KPK Firli Bahuri pada 2018, saat Firli masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Harun mengaku dekat dengan Firli pada periode itu. Mereka kerap mengobrol santai di sela-sela kesibukan pekerjaan.
Kedekatan keduanya perlahan runtuh saat Firli mulai menjadi orang nomor 1 di KPK. Puncaknya, Firli dan para pimpinan lain memecat 58 orang pegawai KPK, termasuk Harun, dengan alasan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Sejak 30 September 2021, Harun tidak lagi bekerja di KPK. Karirnya yang cemerlang di KPK selama 16 tahun berakhir seketika.
Sebelum bergabung dengan KPK, Harun bekerja sebagai investigator di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Empat tahun berkecimpung di lembaga itu, Harun mulai bosan. Ia butuh tantangan baru. Pada 16 Desember 2005, Harun resmi bergabung dengan KPK.
“Saat itu KPK belum sebesar sekarang,” ceritanya kepada Katadata, Minggu (3/10).
Seingat Harun, KPK saat itu sedang menangani dua kasus besar. Pertama, kasus suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W. Kusumah. Kedua, korupsi pembelian helikopter oleh Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Namun selain dua kasus itu, citra KPK enam belas lalu belum secerah saat ini.
Tak butuh waktu lama, Harun akhirnya mendapatkan kasus pertamanya. “Korupsi APBD Kabupaten Buol. Itu kasus pertama saya,” kata Harun.
Kasus itu akhirnya menyeret 19 orang anggota DPRD Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah menjadi tersangka. Harun mengaku saat pertama kali menyidik kasus, ada rasa takut dan khawatir yang menghinggapinya. Namun, seiring waktu ia justru semakin terbiasa. Harun bahkan kian menikmati perannya sebagai penyidik. Menurutnya, investigasi adalah bentuk seni. Ia senang jika berhasil membuat orang berbicara dan menyingkap suatu kasus.
Suatu hari, Harun pernah kesulitan mengorek keterangan dari salah seorang saksi kasus korupsi. Wawancara seharian tak kunjung membuahkan hasil. Di penghujung hari, Harun lantas bertanya kepada saksi itu apakah ia masih memiliki ibu. Saksi menjawab ibunya sudah meninggal. Harun lantas meminta si saksi itu agar berkunjung ke makam ibunya. Sesi pemeriksaan hari itu berakhir tanpa hasil.
Sekitar satu jam kemudian, saksi itu menelepon Harun. Ia meminta bertemu langsung dengan penyidik KPK itu. Padahal, Harun sudah dalam perjalanan pulang. Harun sempat menawarkan agar bertemu keesokan harinya. Namun, saksi itu menolak. Rupanya ia mengikuti saran Harun dan langsung berziarah ke makam ibunya. “Sekarang saja Pak ketemunya. Saya takut enggak bisa tidur malam ini,” ujar Harun menirukan suara saksi itu.
Tudingan radikalisme
Harun punya julukan lain di KPK. Ia kerap dipanggil Ustadz. Sebabnya, Harun sering menjadi imam salat di Masjid Al-Ikhlas yang berada di lingkungan KPK. Ia juga beberapa kali memberikan tausiah. Harun juga aktif di kegiatan sosial. Ia dan istrinya mengelola yayasan pendidikan dan anak yatim.
Harun memang memiliki latar belakang keagamaan yang kuat. Ia meraih gelar Doktor Hukum di bidang spesialisasi pidana Islam dari UIN Jakarta. Harun bahkan menulis dua buku soal fiqih dan korupsi. “Saya memang senang menulis,” ujarnya.
Latar belakang ini rupanya sempat menyulitkan dirinya saat polemik TWK bergulir. Lima hari sebelum tes dilangsungkan, beberapa orang tak dikenal mendatangi kediamannya. Mereka menggali informasi dari para tetangganya mengenai aktivitas Harun. Seingatnya, kejadian itu belum pernah terjadi sebelumnya. Hingga akhirnya saat wawancara TWK berlangsung, Harun dicecar soal pendanaan yayasan miliknya. Ia dicurigai menerima ‘dana Arab’ untuk membiayai lembaganya itu. Harun menampiknya. Ia mengaku mengeluarkan uang pribadi untuk menjalankan yayasan.
“Itu cuma akal-akalan para pimpinan untuk menyingkirkan kami,” ujarnya.
Belakangan, Harun dan puluhan orang koleganya dinyatakan tidak lulus TWK. Ia curiga, dirinya tersandung tudingan radikalisme. Meskipun sampai sekarang ia tidak pernah tahu poin-poin apa saja yang membuatnya tidak lolos TWK.
Terus Melawan
Selepas tak lagi jadi penyidik KPK, Harun mengaku saat ini fokus mengelola yayasan miliknya. Ia juga mengajar di sejumlah kampus negeri dan swasta. Kendati demikian, Harun mengaku akan mempertimbangkan tawaran Polri untuk merekrut 57 pegawai KPK yang dipecat. “Ini menarik. Tetapi kalau teknisnya ribet dan jelimet, mending enggak usah,” tegasnya.
Seperti diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berencana merekrut eks pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) di bawah lembaganya. Presiden disebut sudah menyetujui usulan ini. Kini, Polri sedang menggodok mekanisme perekrutan para mantan pegawai KPK tersebut.
Terlepas dari tawaran itu, Harun berjanji akan terus melawan. Tawaran Kapolri mengindikasikan ia dan kawan-kawan sebenarnya lulus, tetapi memang ingin dibuang oleh pimpinan KPK. Harun menyebut ada tekanan dari luar kepada pimpinan KPK untuk menyingkirkan para pegawai yang punya integritas. Sayang, ia enggan mengelaborasi lebih lanjut soal tekanan ini.
“Itu tugas wartawan untuk cari tahu siapa yang menekan,” ujarnya.
Harun memang tak segan melawan. Ia menyebut para pimpinan KPK pengecut. Kritik keras itu bahkan pernah ia lontarkan langsung ke Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. “ Dalam hati mereka [pimpinan KPK] pasti merasa berdosa,” ujar Harun.
Karir Harun di KPK berakhir dengan tragis setelah digulingkan dengan paksa. Pun di saat-saat terakhirnya, Harun masih terlibat dalam penyidikan KPK. Ia membantu pengungkapan kasus jual beli jabatan kepala desa di Kabupaten Probolinggo. “Saya mengarahkan teman-teman di lapangan saat OTT,” ujarnya.
Harun meninggalkan KPK dengan catatan mentereng. Ia menegaskan ini bukan akhir dari segalanya. Ia dan koleganya akan melawan hingga mereka bisa kembali ke KPK. “Pada saatnya nanti, kami akan memberantas gerombolan yang melemahkan KPK,” tegasnya.