Pemrednya Raih Nobel Perdamaian, Ini Sepak Terjang Novaya Gazeta
Tanggal 7 Oktober 2006 akan selamanya jadi hari kelam bagi kebebasan pers di Rusia. Hari itu, Anna Politkovskaya ditembak tiga kali di dekat apartemennya di Moskow. Politkovskaya, seorang penulis dan jurnalis investigasi untuk koran Novaya Gazeta. Dua tahun sebelum kematiannya, ia juga pernah diracun saat sedang dalam pesawat terbang menuju Berlin.
Kematian sosok jurnalis berpengaruh ini segera mendapat perhatian internasional. Empat orang pelaku penembakan diputus bersalah pada 2014. Namun, otak pembunuhan tidak pernah terungkap di pengadilan.
Anna Politkovskaya bukan satu-satunya wartawan Novaya Gazeta yang berakhir tragis. Seperti dilansir dari The New York Times, sejak pertama kali didirikan pada 1993, sebanyak enam orang jurnalis Novaya Gazeta dibunuh. Kendati demikian, media ini pantang mundur. Mereka aktif melontarkan kritik pedas terhadap pemerintahan Vladimir Putin. Pada 2018, Novaya Gazeta menjadi media pertama yang melaporkan liputan dan video mengenai kekerasan terhadap narapidana
Novaya Gazeta didirikan pada 1993 oleh sekumpulan mantan jurnalis Komsomolskaya Pravda, salah satu media lawas di Rusia. Ketika awal berdiri, Mikhail Gorbachev menyisihkan sebagian uang hasil hadiah Nobel miliknya untuk membelikan seperangkat komputer bagi media baru ini. Gorbachev adalah pemimpin terakhir Uni Soviet yang juga meraih Nobel Perdamaian atas kontribusinya meruntuhkan Tembok Berlin. Liputan pertama yang mengangkat marwah Novaya Gazeta adalah laporan mendalam soal politik dan perang di Chechnya.
Ilya Yablokov, Dosen Jurnalism dan Media Digital di University of Sheffield, menceritakan Novaya Gazeta sempat nyaris bangkrut di era awal 2000-an. Muratov yang sedang kebingungan akhirnya menerima uluran investasi dari Gorbachev dan Alexander Lebedev, seorang bankir ternama di Rusia. Investasi itu membuat Muratov bisa mempertahankan Novaya Gazeta sebagai media investigasi.
Pada 2009, aktivis sekaligus pengacara Stanislav Markelov dibunuh secara tragis. Ikut bersamanya Anastasia Baburova, salah seorang reporter Novaya Gazeta. Markelov merupakan kuasa hukum yang mengawal kasus pembunuhan Anna Polikovskaya.
“Setelah kejadian itu Muratov merancang protokol keamanan untuk melindungi para jurnalisnya,” ujar Yablokov, dikutip dari The Conversation, Sabtu (9/10).
Pembunuhan Baburova nyatanya tidak mengendurkan semangat Novaya Gazeta. Pada 2015, koran ini menurunkan investigasi keterlibatan Kremlin dalam pembunuhan Boris Nemtsov. Ini bukan perkara sembarangan. Nemtsov merupakan salah satu pemimpin oposisi Vladimir Putin. Ia ditembak tepat di tengah pusat Kota Moskow pada Februari 2015. Sejumlah pelaku akhirnya ditangkap, tetapi tidak ada tokoh penting yang diusut.
Novaya Gazeta memang tidak pernah kekurangan reporter jempolan. Sepeninggal Anna Politkovskaya, kini giliran Elena Milashima yang aktif membongkar kasus-kasus penting di Chechnya. Tak pelak, reporter Novaya Gazeta ini juga tidak jarang menerima ancaman pembunuhan.
Yablokov menuturkan Dmitry Muratov adalah orang yang unik. Ia tak segan punya pendapat berbeda meskipun tahu risikonya. Aksinya tentu saja membuatnya banyak punya musuh orang-orang kuat. Namun di sisi lain, Muratov juga menjalin koneksi kuat dengan para politisi, penegak hukum, dan miliarder Rusia. Kendati demikian, oposisi garis keras Rusia juga kerap menyudutkannya. “Ia dianggap telah menjual jiwanya ke Kremlin,” ujar Yablokov.
Muratov juga sosok yang rendah hati. Saat tahu ia meraih hadiah Nobel, Muratov justru merasa ada orang lain yang lebih berhak menerimanya. “Kalau saya jadi Komite Nobel, saya akan memberikannya kepada orang lain. Itu adalah Aleksei Navalny,” ujarnya, dalam konferensi pers.
Aleksei Navalny memang salah satu kandidat kuat peraih Nobel Perdamaian tahun ini. Navalny merupakan tokoh oposisi Rusia paling berpengaruh. Ia dikenal sebagai sosok aktivis yang banyak membongkar praktik korupsi Vladimir Putin dan para koleganya. Pada Agustus 2020, Navalny diracun hingga dirawat di rumah sakit di Jerman. Aksi ini diduga keras dilakukan oleh intelijen Rusia. Ia memutuskan kembali ke negaranya pada Januari 2021 dan langsung ditangkap saat baru mendarat di Moskow.
Keputusan Komite Nobel akhirnya memang memilih Dmitry Muratov dan Maria Ressa, dua jurnalis pemberani yang menjadi garda terdepan pembela kebebasan berpendapat. "Mereka merepresentasikan para jurnalis di berbagai belahan dunia yang menghadapi tantangan berat,” ujar Ketua Komite Nobel Berit Reiss-Andersen, Jumat (8/10).