Pengamat Kritik Amran Sulaiman Kembali Jadi Menteri Pertanian
Penunjukan kembali Andi Amran Sulaiman sebagai menteri pertanian mengundang kritik. Amran sebelumnya menjabat posisi itu pada 2014 hingga 2019 alias sepanjang periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ia kembali menjadi menteri pertanian usai dilantik Jokowi pada pagi tadi, Rabu (25/10) di Istana Negara, Jakarta. Amran menggantikan Syahrul Yasin Limpo yang mengundurkan diri karena tersandung kasus korupsi di Kementerian Pertanian.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut terpilihnya kembali Amran sangat disayangkan. Selama menjabat menteri pertanian, banyak catatan merah muncul selama kepemimpinannya.
Salah satunya adalah impor beras pada 2018 yang mencapai 2,2 juta ton dari sebelumnya hanya 305 ribu ton. "Kenaikan impor ini cukup tajam jelang Pemilu 2019 sehingga menimbulkan pertanyaan," ucap Bhima.
Kementerian Pertanian ketika itu berkilah impor tersebut untuk kebutuhan beras premium. Kondisi serupa juga dapat terjadi kali ini, jelang Pemilu 2024. "Dikhawatirkan menteri pertanian yang baru akan mengulangi masalah yang sama," katanya.
Lalu, pada kepemimpinan Amran juga terjadi lonjakan impor gula. Angkanya mencapai 4,6 juta ton atau senilai US$ 1,7 juta.
Masalah lainnya adalah soal pendataan yang buruk. "Ada ego untuk memiliki data produksi pertanian masing-masing. Jadi tidak akur antar kementerian dan Badan Pusat Statistik," ucap Bhima.
Dengan semua catatan tersebut, Bhima mengatakan tidak bisa berharap banyak dari menteri yang baru. Apalagi tahun anggaran tersisa kurang dari setahun.
Di sisi lain, anggaran pendapatan dan belanja negara alias APBN 2024 sudah disahkan. Jadi, kemungkinan besar Amran akan sulit membuat perubahan kebijakan.
Salah satu yang harus segera dibenahi, menurut Bhima, adalah distribusi pupuk. Penyalurannya harus segera selesai agar jadwal panen raya pada Februari-Juni 2024 tidak terganggu.
Pada saat yang sama, anggaran subsidi pupuk tahun depan telah dikunci senilai Rp 26 triliun. "Beberapa komoditas seperti jagung membutuhkan dukungan ketersediaan dari pupuk bersubsidi dalam jumlah yang besar," ujarnya.
Di samping itu, Bhima menyarankan Amran untuk berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat dan Kementerian BUMN untuk menjaga produksi lokal. Koordinasi ini penting untuk perbaikan sarana irigasi dan manajemen gudang penyimpanan pangan.
Seperti diketahui, Amran adalah pemilik Tiran Group, konglomerat yang kini menjalankan pertambangan nikel di Indonesia Timur. Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 55 tahun lalu ini memiliki pendidikan dan pengalaman panjang di bidang pertanian.
Amran saat ini memegang lima hak paten dan sempat menjadi dosen di Universitas Hasanuddin. Selain menjadi dosen, ia sempat bekerja di PT Perkebunan Nusantara selama 15 tahun.
Ia lalu mendirikan bisnisnya yang dimulai dengan patennya atas racun tikus bernama "Tiran" sebagai akronim dari tikus diracun Amran. Kini, Tiran Group memiliki sejumlah anak usaha mulai dari pabrik gula hingga tambang emas dan nikel.