Manajemen Susi Air Sulit Berkomunikasi dengan Penyandera Pilot
PT ASI Pudjiastuti Aviation atau Susi Air mengungkapkan bahwa pihaknya belum berhasil melakukan komunikasi dengan kelompok bersenjata yang menyandera pilotnya. Kuasa Hukum Susi Air, Donal Fariz, mengatakan kelompok tersebut tidak pernah melakukan komunikasi atau permintaan yang ditujukan pada perusahaan Susi Air.
“Jadi zero komunikasi antara kelompok penyandera dengan kami, sehingga tidak ada permintaan-permintaan tertentu yang lazimnya kelompok pesadera sering lakukan,” ujarnya kepada awak media saat ditemui usai Konferensi Pers Penyanderaan Pilot Susi Air, Jakarta Timur, Rabu (3/1).
Donal menuturkan, perusahaan bahkan mengetahui foto-foto yang dikirimkan penyandera dari jurnalis. Menurut dia, penyandera ingin diduga ingin menggiring narasi untuk memperoleh legitimasi publik.
Dia mengatakan, perusahan hanya menunggu komunikasi satu arah dengan zparat di lapangan. Perusahaan juga tidak tahu jumlah uang yang diminta kelompok penyandera tersebut. Pasalnya, kelompok penyandera menyampaikan permintaan tersebut kepada otoritas, bukan perusahaan.
Kerugian Pesawat Rp 30,4 Miliar
Sementara itu, Donal mengungkapkan Susi Air mengalami kerugian finansial akibat adanya peristiswa pembakaran pesawat tersebut. Harga pesawat yang dibakar mencapai US$ 2 juta atau setara dengan Rp 30,4 miliar.
“Pesawat juga tidak lagi diproduksi baru sekarang karena sudah close,” ujarnya.
Donal menuturkan, jenis pesawat Susi Air yang dibakar yaitu jenis Pilatus PC-6 Turbo Porter. Pesawat tersebut merupakan satu-satunya yang bisa digunakan untuk melewati pegunungan guna membantu warga Papua dalam mobilisasi dan distribusi bahan pokok seperti makanan dan minuman.
Tak hanya kerugian pesawat yang terbakar, Donal mengatakan Susi Air masih menanggung kerugian lainnya seperti penerbangan yang tertunda.
“Susah saya menghitung secara keseluruhan kerugiannya, yang jelas satu frekuensi penerbangan itu nilai subsidi dari pemerintah itu sekitar Rp 14 juta, 1 flight per jam, dan sekarang peerbangan 22 hari di Papua tidak bisa terlaksana,” ujarya.