Advertisement
Advertisement
Industri | Kebakaran Hutan di Indonesia Berpotensi Memicu Kematian di Tiga Negara
12 Agustus 2019, 20.07

Musim kemarau belum lama datang, namun sudah ada puluhan titik api muncul di belantara hutan Provinsi Riau. Hasil pemantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, sudah ada 38 titik panas di wilayah hutan Provinsi Riau pada pertengahan Juli 2019 lalu. Padahal menurut BMKG, musim kemarau tahun ini bakal lebih panas dan kering ketimbang tahun lalu.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama beberapa dekade telah jadi suatu rutinitas krisis lingkungan tahunan. Merunut sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dari catatan Badan Restorasi Gambut (BRG), pada tahun 1967, kota Palembang pekat diselimuti asap. Sekitar tahun 1970-an, giliran wilayah udara Kalimantan Selatan memutih oleh kabut asap dari kebakaran hutan.  

Pascapelepasan lahan gambut untuk satu juta hektare lahan pertanian di Kalimantan Tengah tahun 1996, kebakaran hutan hebat terjadi saat kemarau panjang pada tahun 1997. Diperkirakan, 2,57 gigaton karbon terlepas ke atmosfer. Jumlah karbon akibat kebakaran hutan yang mencemari udara itu setara dengan karbon dioksida yang dihasilkan oleh 2.488 pembangkit listrik berbahan bakar batu bara selama setahun.

Hampir dua puluh tahun kemudian, El Nino kembali ‘datang’ dan Indonesia dilanda kemarau panjang. Api mengamuk menandaskan hutan dan lahan perkebunan. Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2015 ini, menurut World Resources Institutes (WRI), menjadi yang terburuk setelah 1997. Sekitar 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar antara bulan Juni sampai Oktober. Lahan gambut yang menyimpan banyak karbon terbakar, membuat jutaan orang di Asia Tenggara terpapar kabut beracun yang setara dengan tiga kali lipat emisi gas rumah kaca tahunan di Indonesia.

Bahkan dalam laporan World Bank Group pada 25 November 2015 ditulis bahwa kebakaran hutan dan asap Indonesia tahun itu disebut sebagai “tindakan kriminal lingkungan hidup terbesar pada abad ke-21”. “Sejumlah besar hutan dan lahan terbakar tanpa terkendali sejak bulan Agustus 2015 dan dampaknya pada kesehatan, pendidikan, dan penghidupan jutaan masyarakat Indonesia di wilayah sekitar kebakaran sangat terasa dan merugikan. Ekonomi Indonesia juga mengalami kerugian miliaran dolar,” Bank Dunia menulis dalam laporannya.

Sejumlah besar hutan dan lahan terbakar tanpa terkendali sejak bulan Agustus 2015 dan dampaknya pada kesehatan, pendidikan, dan penghidupan jutaan masyarakat Indonesia di wilayah sekitar kebakaran sangat terasa dan merugikan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghitung luas area kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun 2015 setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali luas Pulau Bali. Meski luas area belum setara dengan sebaran kebakaran hutan dan lahan tahun 1997, dampak bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 dinilai lebih parah dibandingkan bencana 18 tahun sebelumnya. “Jumlah lahan yang terbakar memang lebih luas tahun 1997, tapi dampak ekonomi dan jumlah korban jiwa lebih besar tahun ini," BNPB menjelaskan kepada media pada 30 Oktober 2015. BNPB menaksir, total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun itu kurang lebih Rp 221 triliun.

Hutan dan lahan terbakar, asapnya menyebar ke mana-mana. Kualitas udara di beberapa daerah tak cuma tak layak dihirup, tapi sudah berada pada tingkat membahayakan kesehatan. Contohnya, pada 13 September 2015, BNPB menyatakan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Provinsi Jambi telah mencapai angka 408 atau berada pada level berbahaya dengan jarak pandang terjauh hanya 600 meter dan jarak pandang terendah 500 meter. Gara-gara hidup dikepung asap, berdasar catatan Kementerian Kesehatan, dari Juni hingga pertengahan Oktober 2015, ada 425.377 orang di tujuh provinsi terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Di Riau, asap menyesaki rumah warga dan nyaris tak ada rumah yang luput dari kabut asap. Pemerintah Provinsi Riau menyatakan darurat asap pada 14 September 2015, karena ISPU di ibu kota Pekanbaru menyentuh angka 984, sangat jauh di atas ambang batas kualitas udara yang layak dihirup. Angka ISPU di atas 300 masuk kriteria membahayakan kesehatan.

Begitu pula sejumlah daerah di Kalimantan yang hampir 80 persen wilayahnya tertutup asap dengan kepekatan sedang hingga tinggi. Pada pertengahan Oktober 2015, ISPU di kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, misalnya beberapa kali melewati angka 1000. Artinya sangat berbahaya bagi kesehatan. Buruknya kualitas udara membuat sekolah-sekolah yang berada di sekitar lokasi bencana harus libur sampai beberapa bulan.

Titik api dan asap yang dihasilkan menyebabkan kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan amat besar, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, karena luasnya skala polusi udara dari asap kebakaran. ISPU di Singapura mencapai rekor tertinggi pada tahun itu, yakni 211 alias sangat tidak sehat.

Alhasil, Badan Lingkungan Nasional (National Environment Agency) mengimbau warga Singapura agar mengurangi aktivitas di luar ruangan dan kegiatan fisik untuk mencegah mereka terkena penyakit akibat paparan asap. Pemerintah Singapura bahkan menawarkan bantuan kepada Indonesia untuk memadamkan kebakaran hutan di Sumatera, karena asap kebakaran hutan Sumatera ini mengancam reputasi Singapura sebagai destinasi wisatawan mancanegara.

Kondisi serupa terjadi di Malaysia yang membuat pemerintah meliburkan sekolah di beberapa wilayah karena kabut asap kian buruk. "Indeks Polusi Udara mendekati 200. Semua sekolah di Selangor, Kuala Lumpur, Putrajaya, Negeri Sembilan, dan Melaka akan ditutup mulai besok, 15 September 2015," kata Kementerian Pendidikan Malaysia, dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada 14 September, dikutip dari Channel NewsAsia.

Menteri Pendidikan Malaysia, Mahdzir Khalid, menyatakan sekolah hanya akan ditutup ketika Indeks Polusi Udara mencapai 200. Sebagai catatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan Kepmen LH Nomor: KEP-45/MENLH/10/1997 membagi kriteria kualitas udara menjadi lima kriteria. 

Wakil Perdana Menteri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, bahkan sampai perlu menyambangi Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, pada 18 September 2015. Hamidi menemui Luhut untuk membahas berbagai persoalan, mulai masalah ekonomi, sosial, sampai kabut asap kebakaran hutan yang ikut mengepung Malaysia.

Kerugian Ekonomi Rp 215 Triliun

Halaman:

Ancaman Asap Indonesia Hingga ke Malaysia dan Singapura

Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015 menyebabkan kabut asap hingga ke Malaysia dan Singapura. Akibatnya, 69 juta orang terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Ditambah dengan kerugian material sebanyak US$ 16 miliar, di luar kerugian kesehatan.

Tindakan manusia yang melakukan deforestasi, penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan, menjadi sumber terjadinya degradasi hutan dan pengeringan lahan gambut. Kondisi tersebut kemudian memicu kebakaran hutan. Salah satunya yang terjadi di Riau pada 2015.

Peneliti dari Harvard University dan Columbia University melakukan kajian permodelan gambut dengan skenario Bussines as Usual (BAU) dari Land Use and Land Cover (LULC) 2020-2029. Kajian tersebut menemukan, apabila kondisi ini dibiarkan, sistem pengelolaan hutan dan gambut tidak ada perbaikan, maka akan terjadi 36 ribu kematian akibat kabut asap setiap tahunnya. Angka tersebut terbagi ke dalam 92 persen di Indonesia, tujuh persen di Malaysia dan satu persen di Singapura.

Wilayah permodelan LULC dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Permodelan menunjukkan prediksi, di tahun 2030, Sumatera akan kehilangan 32 persen lahan gambut dan Kalimantan akan kehilangan 21 persen lahan gambutnya dibanding tahun 2005. Padahal peran gambut bagi lingkungan sangat besar. Gambut bisa menyimpan 30 persen cadangan karbon dunia, mengurangi emisi gas rumah kaca dan menjadi sumber air bersih.

Pemulihan Lahan Gambut, Tekan Kematian Akibat Kabut Asap

Kajian Harvard University dan Columbia University menemukan kebakaran hutan dapat menyebabkan 36 ribu kematian di Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Angka itu dapat ditekan jika dilakukan berbagai langkah pemulihan.

Pemerintah Indonesia melakukan beberapa langkah untuk memulihkan gambut. Langkah awal yang dilakukan adalah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Wilayah prioritas pemulihan gambut berada di Sumatera, Kalimantan Selatan dan Papua dengan target restotasi seluas 2 juta ha dalam lima tahun.

Kemudian BRG menetapkan ketinggian muka air agar gambut tidak kering, melarang pembukaan baru di wilayah gambut, menetapkan Kawasan lindung, budidaya berizin dan budidaya tidak berizin. Selain itu, sertifikasi rantai pasokan juga diterapkan.

Apabila berbagai upaya tersebut dijalankan secara maksimal, maka akan mengurangi 14 hingga 66 persen risiko kesehatan akibat kebakaran gambut. Selain itu juga akan mencegah 12 ribu hingga 33 ribu kematian di Indonesia, 630 hingga 2.400 kematian di Malaysia dan 110 hingga 360 kasus kematian di Singapura setiap tahunnya.

  • Penulis / Koordinator
  • Editor
  • Infografik
  • Desain Web
  • Programmer
  • Arie Mega Prastiwi, Jeany Hartriani, Fitria Nurhayati
  • Sapto
  • Dani Nurbianto
  • Firman Firdaus
  • Bayu Mahdani