Proyek Mangkrak Meikarta: Konsorsium Bubar, Hantam Keuangan Grup Lippo
Grup Lippo terlunta-lunta mewujudkan megaproyek Meikarta yang berlokasi di Cikarang Selatan, Bekasi. Sejak proyek diluncurkan enam tahun lalu, berbagai masalah bertubi-tubi menghantam.
Berderet masalah datang silih berganti, mulai dari kasus suap perizinan yang menyeret petinggi Grup Lippo masuk bui, gugatan pailit hingga bubarnya konsorsium Lippo dengan para investor asing.
Bubarnya konsorsium investor asing ini yang menjadi penyebab utama tersendatnya megaproyek tersebut. Megaproyek Meikarta ini dikembangkan oleh PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) yang merupakan anak usaha PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK). Adapun LPCK ini merupakan anak usaha dari PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR).
Megaproyek Meikarta senilai Rp 287 triliun, awalnya merupakan konsorsium dari Lippo Grup dengan sembilan perusahaan asing asal Cina, Hong Kong dan Singapura.
Konsorsium ini bermula pada awal 2018 lalu. Grup Lippo menandatangi nota kerja sama (memorandum of understanding) dengan sembilan perusahaan global mengembangkan kawasan Meikarta sebagai kota baru dan menjadi pusat internasional dalam bidang logistik dan fintech.
Sembilan perusahaan Logistik dan fintech menandatangi MoU senilai US$ 300 juta atau senilai Rp 4,5 triliun. Kesembilan perusahaan tersebut yakni USA Dunham Bush Refrigeration Equipment Inc. Union Space, Rework, Shanghai Infin Technology, Eshang Rosewood ESR Logistc, Nagase Indonesia, Micro Focus ACSC & CLFP International Logistic dan Seafirst Technologis.
"Mereka datang dari broker, kemudian menawarkan untuk membangun suatu kota dengan cepat. Perkembangan LPCK saat itu, kami membutuhkan bantuan untuk mengembangkan," kata Presiden Direktur Lippo Cikarang Ketut Budi Wijaya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), beberapa waktu lalu.
Ketut mengatakan, konsorsium bubar setelah hakim memutuskan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap pengembang Meikarta, MSU. Putusan hakim ini mengabulkan proposal perdamaian MSU yang mendapat gugatan pailit dari kreditor.
Kaburnya konsorsium ini membuat Lippo Cikarang mengeluarkan kocek perusahaan hingga Rp 4,5 triliun agar tetap melanjutkan proyek Meikarta. Namun, perusahaan masih membutuhkan tambahan dana hingga Rp 3 triliun demi mengejar target menuntaskan 18.000 unit apartemen hingga 2027.
Batalnya Distrik 3 hingga Tuntutan Konsumen
Kaburnya investor membuat Lippo mengubah konsep pengembangan Meikarta. Awalnya, Lippo rencana membangun apartemen sebanyak 53 tower yang menyebar pada tiga distrik. Kesulitan investasi membuat Lippo membatalkan Distrik 3 yang saat ini masih berupa tanah merah.
Presiden Direktur Lippo Cikarang Ketut Budi Wijaya menyatakan perusahaan memutuskan hanya membangun apartemen Meikarta di Distrik 1 dan 2. "Distrik 3 tidak ada apartemen, jadi pindah di Distrik 2. Distrik 1 dan 2 (pembangunannya sampai 2027)," kata Ketut kepada wartawan di kawasan Meikarta.
Berdasarkan pantauan Katadata.co.id pada akhir Februari, pembangunan apartemen Meikarta di Distrik 1 baru terealisasikan sebanyak 16 tower dari target pembangunan 28 tower. Sebanyak 12 tower di Distrik 1 masih dalam bentuk kerangka konstruksi tanpa dinding bangunan. Terlihat belasan pekerja yang mengecor lantai.
Adapun Distrik 2 yang letaknya sekitar satu kilometer dari Distrik 1 Meikarta, sebagian berupa kontruksi bangunan yang tak terawat. Di sana, terdapat setidaknya empat tower, dengan kondisi tiga menara belum terpasang dinding atau pembatas.
Di Distrik 2 pun tak tampak pekerja yang melanjutkan kontruksi bangunan. Namun, Meikarta berjanji melanjutkan pembangunan di lokasi itu. "Distrik 2 masih akan dibangun 9 tower," kata Ketut.
Melesetnya jadwal serah terima unit apartemen Meikarta, membuat sebagian konsumen menuntut uang dikembalikan. Salah satu konsumen apartemen Meikarta yang namanya tidak mau disebutkan, mengatakan mereka menuntut pengembalian dana karena sebagian besar dari mereka mendapatkan unit di lokasi Distrik 2 dan 3.
Mereka khawatir dengan ketidakjelasan apartemennya melihat pembangunan Meikarta yang tersendat. Padahal sebagian dari mereka telah melunasi pembayaran apartemen.
MSU sempat menawarkan kepada para konsumen tersebut pindah ke Distrik 1. Namun, dengan beberapa syarat yang dianggap merugikan seperti luas unit menjadi lebih kecil atau konsumen harus menambah bayaran.
Pada Desember lalu, sekitar 100 konsumen menggelar demonstrasi di DPR menuntut pengembalian uang atau refund. MSU merespons dengan menggugat pencemaran nama baik. Langkah ini terhenti setelah pimpinan Lippo dipanggil DPR.
Keuangan Grup Lippo Ikut Bergoyang
Kasus yang membelenggu apartemen Meikarta membuat kinerja keuangan Grup Lippo terutama turut bergoyang. Pengembang Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) merupakan anak usaha PT Lippo Cikarang (LPCK). Adapun LPCK merupakan anak usaha dari PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR).
Sejak mengembangkan Meikarta, kinerja keuangan Lippo Cikarang cenderung merosot. Pada akhir 2017 laba bersih perseroan turun 32,05% dibandingkan akhir 2016 menjadi Rp 366,77 miliar. Pada periode itu Lippo baru saja meluncurkan Meikarta dan masif mengiklankan proyek tersebut. Proyek tersebut dengan jargon ‘Aku mau pindah ke Meikarta” itu menghabiskan biaya iklan mencapai Rp 1,7 triliun.
Pada 2018, Lippo memutuskan melepaskan sebagian sahamnya pada pengembang Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama. Lippo Cikarang melepas 50,28% sahamnya di MSU kepada perusahaan asing, yakni Hasdeen Holdings Ltd yang berbasis di Singapura pada Mei 2018.
Pengalihan saham kepemilikan MSU terjadi setelah lebih dari setahun Lippo mengalami berbagai persoalan serius mulai dari kasus suap perizinan hingga gugatan pailit oleh vendor maupun kontraktor pelaksana proyek Meikarta.
Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2022, LPCK mencatat kepemilikikan investasi pada MSU mencapai Rp 2,01 triliun.
Adapun kepemilikan saham LPCK pada MSU masih tersisa 49,72%.
Setelah transaksi ini, laporan keuangan MSU tidak dikonsolidasikan lagi dalam laporan keuangan LPCK. Namun, proyek Meikarta tetap berada dalam naungan Grup Lippo.
Dampak pelepasan saham MSU membuat LPCK mampu membukukan laba bersih pada akhir 2018 sebesar Rp 2,15 triliun atau naik 503% dari 2017.
Meski begitu, pada 2019, laba Lippo Cikarang terjun bebas hanya Rp 310,91 miliar atau anjlok 84,15% ketimbang tahun sebelumnya. Pada 2020, kinerja Lippo Cikarang kerugian makin membesar dengan rugi bersih sebesar Rp 3,65 triliun.
Kemudian pada 2021, Lippo Cikarang kembali mencatatkan laba bersih Rp 185,32 miliar. Sedangkan sepanjang 2022, laba bersih Lippo Cikarang hingga kuartal tiga tercatat Rp 274,19 miliar. Pencapaian itu lebih rendah 20,35% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan kinerja tak hanya dialami Lippo Cikarang. Induk usahanya, Lippo Karawaci juga mencatat rugi. Hingga kuartal tiga 2022, perusahaan merugi Rp 1,67 triliun atau melonjak 187,7% menjadi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 581,42 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan, rugi membengkak karena pendapatan yang turun sebesar 13,6% per September 2022 menjadi Rp 10,54 triliun dari periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar Rp 12,20 triliun.
CEO LPKR John Riady menjelaskan kerugian perusahaan karena anjloknya pendapatan dari segmen real estat. Pendapatan dari segmen real estat tercatat turun 21,8% menjadi Rp 2,79 triliun akibat perubahan jadwal serah terima apartemen.
Bagaimana Prospek Saham Grup Lippo?
Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro mengatakan, saat ini pergerakan harga LPCK dan LPKR cenderung mengalami downtrend. Fase menurun dipengaruhi persepsi investor yang menilai risiko perusahaan meningkat karena kasus Meikarta yang masih menjerat Lippo Group.
Di luar itu, laporan keuangan terakhir pada kuartal tiga 2022 juga kurang memuaskan. LPKR mencatat rugi bersih dan LPCK mencatat penurunan laba bersih secara year on year.
“Untuk proyeksi LPKR laporan keuangan sepanjang 2022 diprediksi mencatat penurunan revenue 13% year on year dan masih mencatat kerugian bersih,” katanya kepada Katadata.
Nicodimus mengatakan, persaingan di bidang properti kini semakin ketat. Dulu Lippo Group merupakan pemain besar, tapi sekarang muncul pesaingnya yang menawarkan banyak inovasi dan diversifikasi bisnis yang beragam.
Saham-saham properti Lippo masih bisa berpotensi naik, kata Nicodimus, asalkan masalah Meikarta bisa cepat diselesaikan dan tren kenaikan suku bunga berhenti.
Analis Henan Putihrai Jono Syafei juga menilai kinerja keuangan emiten properti Grup Lippo kurang menarik. Penyebabnya, kinerjanya tidak seunggul emiten properti lain. Di samping itu, Meikarta baru-baru ini memberikan sentimen negatif kepada saham grup.
“Kalau melihat kinerja kuartal tiga LPCK memang kemungkinan bisa lebih rendah dari tahun sebelumnya. Sedangkan LPKR masih terbantu dari kinerja SILO (PT Siloam International Tbk),” kata Jono.