Kenapa Rupiah Harus Menguat?

Image title
Oleh
26 Maret 2014, 21:55
3210.jpg
KATADATA | Arief Kamaludin
Agus Misto (47) menunggu menaikkan barang sebelum kereta datang.

KATADATA ? Penguatan nilai tukar rupiah yang berlangsung sejak awal tahun memang sudah seharusnya terjadi. Penguatan tersebut mencerminkan fundamental rupiah yang nilainya sudah di bawah harga (undervalued) dolar Amerika Serikat (AS).  

Hal ini mengacu pada indeks Big Mac yang dikeluarkan The Economist pada 23 Januari 2014. Berdasarkan indeks tersebut, rupiah undervalued sebesar 12,35 persen ketika berada di level Rp 12.140 per dolar AS. Perhitungan ini sudah memasukkan daya beli masyarakat, upah buruh, dan tingkat pendapatan per kapita. 

Advertisement

Indeks Big Mac adalah perhitungan nilai tukar berdasarkan faktor kemampuan daya beli yang dihitung The Economist sejak 1986. Indeks ini mengandaikan perbandingan harga burger ?Big Mac? di dua negara. Misalnya, harga Big Mac di Amerika Serikat pada Januari 2014 sebesar US$ 4,62, sedangkan di Indonesia US$ 2,3 per potong. Alhasil berdasarkan nilai dasarnya, rupiah undervalued sebesar 50,2 persen dibandingkan dolar AS pada saat yang sama.   

Namun perhitungan berdasarkan nilai dasar ini mendapat kritik karena tidak memasukkan unsur upah buruh yang lebih murah di negara-negara berkembang. Sehingga The Economist, kemudian mengeluarkan indeks yang telah disesuaikan (adjusted).

Berdasarkan indeks Big Mac yang telah disesuaikan ini, nilai rupiah per Januari 2014 undervalued sebesar 12,35 persen. Ini merupakan posisi terendah rupiah sejak 2011. Pada Januari tahun lalu, rupiah mengalami overvalued sebesar 9,6 persen dibandingkan dolar AS. Ketika itu, rupiah berada di Rp 9.767 per dolar AS.

Seiring dengan terjadinya pelemahan terhadap rupiah, overvalued rupiah kemudian berkurang menjadi 3,6 persen per Juli 2013. Rupiah pada saat itu berada di posisi Rp 9.965 per dolar AS.   

Meski begitu, kata ekonom Centre for Strategic and International Studies Haryo Aswicahyono, overvalued atau undervalued nilai tukar tersebut tidak berarti mencerminkan fundamental perekonomian suatu negara. Kedua hal ini bisa berarti nilai tukar menguat atau melemah dari titik keseimbangan (equilibrium) nilai tukar. ?Karena spekulasi, misalnya,? kata dia kepada Katadata, Selasa (25/3).  

Halaman:
Reporter: Aria W. Yudhistira
Editor: Arsip
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement