Pengembalian Aset Century Bisa Terganjal Pengadilan Tipikor
KATADATA ? Kasus kriminalisasi kebijakan penyelamatan Bank Century dapat berdampak pada gagalnya pengembalian aset-aset Bank Century di luar negeri. Selama ini pengejaran aset-aset tersebut menggunakan argumentasi terjadinya krisis keuangan pada 2008.
?Kita berhasil meyakinkan pengadilan Hong Kong dibantu Departemen Kehakiman di sana tetap membukukan aset Century dengan dasar bahwa kebijakan kita melakukan penyelamatan Bank Century didasarkan pertimbangan krisis,? kata Ketua Tim Pengembalian Aset Century Deny Indrayana di Jakarta, Jumat (11/7).
Menurutnya, jika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mengadili mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Mulya memutuskan tidak ada krisis pada 2008, akan dimanfaatkan oleh pihak lawan. Mereka, kata Deny, akan menggunakan keputusan Pengadilan Tipikor untuk menguasai kembali aset-asetnya.
?Usaha proses arbitrase, pengembalian aset-aset Bank Century di Hong Kong selama ini akan mental karena lawan akan berdasarkan pengadilan Tipikor tidak ada krisis untuk menyelamatkan aset-aset mereka,? jelas Denny.
Denny menambahkan, jika putusan pengadilan keliru, dengan menyatakan tidak ada krisis, maka pelaku kejahatan sesungguhnya diuntungkan. Ada kemungkinan, kata dia, Hesyam Al Waraq dan Rafat Ali Rivsi menuntut ganti rugi dengan menggunakan dasar keputusan pengadilan Tipikor bahwa keputusan penyelamatan Bank Century salah.
?Mereka bisa menuntut pengembalian saham Bank Mutiara yang saat ini dipegang Lembaga Penjamin Simpanan,? kata dia.
Natalia Soebagjo, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), mengatakan adanya pemidanaan kebijakan penyelamatan Bank Century maka penjualan bank tersebut akan terancam gagal dan akan menimbulkan kerugian negara yang lebih besar.
"Dari inkonsistensi ini maka penjahat utamanya akan diuntungkan," kata dia.
Teuku Radja Sjahnan, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan, berpendapat kriminalisasi kebijakan penyelamatan Bank Century dapat membahayakan perekonomian nasional di masa depan. Hal ini karena pihak yang berwenang akan ketakutan mengambil kebijakan pada saat krisis.
"Kita mencegah agar BI, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tidak mengambil kebijakan pada saat krisis terjadi ke depannya," ujar dia.