Ketua BPK Dicecar Tuduhan Jual Beli Opini WTP
KATADATA ? Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil dicecar pertanyaan adanya tuduhan jual beli opini terhadap laporan keuangan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga dalam fit and proper test calon anggota BPK di Dewan Perwakilan Daerah DPD.
Pertanyaan itu diajukan oleh anggota DPD dari Yogyakarta, Cholid Mahmud sesudah Rizal Djalil menyampaikan visi dan misinya dalam uji kelayakan itu. Menanggapi pertanyaan tuduhan praktik jual beli opini, Rizal menjawab selama ini BPK memberikan opini laporan keuangan sesuai dengan Undang Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK. Ia mengakui saat ini status opini 'wajar tanpa pengecualian' (WTP) sudah menjadi komoditi. Walikota, bupati atau gubernur jika daerahnya mendapatkan opini WTP dianggap memiliki reputasi yang baik. Namun jika laporan keuangan daerah mendapatkan opini disclaimer, maka hal itu dianggap bisa merusak reputasi.
"Saya katakan opini WTP jangan menjadi komoditi," ujar Rizal di DPD, Jakarta, 19 Agustus 2014.
Rizal juga menanggapi pertanyaan terkait auditor BPK yang meminta uang saat melaksanakan tugas. Dia mengatakan jika ada auditor BPK yang melakukan praktik tercela itu, akan segera ditindak dan di nonaktifkan dari pekerjaannya. "Jika ada hal seperti itu langsung laporkan ke kami," tuturnya.
Pertanyaan tuduhan jual beli opini itu dikutip Cholid dari laporan Majalah Tempo. Majalah edisi 2-8 Juni 2014 itu menulis Rizal Djalil dilaporkan mengintervensi hasil pemeriksaan auditor. Rizal membantah adanya praktik tersebut dan menilai tuduhan jual beli opini yang menerpanya salah sasaran. Sebab, auditor di bawahnya paling sedikit memberikan opini WTP. Kecurigaan seharusnya diarahkan ke pimpinan BPK yang paling banyak menerbitkan opini WTP. ?Saya bisa membuka semua orang yang menjual WTP,? ujarnya seperti yang dikutip dari Majalah Tempo.
Dalam fit and proper test tersebut, Rizal juga memberikan penjelasan audit BPK juga memiliki kelemahan. Contohnya ketika ia menjabat sebagai auditor VI BPK yang melakukan audit terhadap Kementerian Pendidikan yang selama empat tahun berturut-turut memperoleh status disclaimer. Alasannya audit Kementerian Pendidikan membutuhkan waktu yang lama karena besarnya jaringan Dinas Pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Empat tahun berselang baru BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). "Jadi saya katakan tetap ada kelemahan BPK, dan itu yang akan saya perbaiki," katanya.