BI Ragu-Ragu, Rupiah Bisa Makin Terperosok

Aria W. Yudhistira
16 Maret 2015, 15:50
Rupiah
Arief Kamaludin | Katadata
Langkah BI yang menjaga volatilitas kurs rupiah sesuai fundamental saat ini sudah tepat.

KATADATA ? Bank Indonesia (BI) dan pemerintah harus tegas dalam membuat kebijakan di tengah gejolak nilai tukar saat ini. Keragu-raguan dalam menelurkan kebijakan bisa membawa Indonesia ke dalam jurang krisis. 

Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Haryo Aswicahyono mengatakan, ketidaktegasan dalam mengambil langkah-langkah kebijakan dapat memberikan ruang kepada investor untuk berspekulasi. Ini yang terjadi pada krisis 1998 dan 2008 lalu.

Sebabnya, otoritas fiskal dan moneter tidak tegas dalam menentukan kebijakan sehingga direspons investor dengan memindahkan dananya keluar (capital outflow). Pada akhirnya, hal ini berdampak negatif terhadap pembiayaan neraca transaksi berjalan dan defisit APBN.

?Ini kan masalah kepercayaan investor. Kalau mau market confident, harus tegas,? kata dia saat dihubungi Katadata, Senin (16/3). (Baca: Ini Sebab Rupiah ?Dibiarkan? Melemah)

Dia mencontohkan, situasi pada 1998 ketika pemerintah dihadapkan pilihan untuk memberlakukan kurs tetap (fixed exchange rate) atau dilepas. Tetapi karena tidak jelas, ditambah kemampuan cadangan devisa yang tidak kuat membuat spekulan makin menekan. ?Akibatnya rupiah semakin jebol dan Indonesia masuk dalam krisis.?

Bagi investor, indikator yang terpenting saat ini adalah kesehatan neraca transaksi berjalan dan APBN. Jika keduanya tidak sehat, maka investor pun enggan menanamkan dananya di Indonesia. Padahal aliran modal masuk sangat diperlukan untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan yang pada 2014 mencapai US$ 26,2 miliar atau 2,95 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Menurut dia, di tengah situasi pelemahan mata uang global terhadap dolar Amerika Serikat (AS), BI akan percuma melakukan intervensi yang berlebihan terhadap rupiah. Apalagi dengan posisi cadangan devisa Indonesia yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.

?Mengorbankan cadangan devisa akan mahal harganya, sehari bisa bidding berapa besar,? kata dia. (Baca: Intervensi Rupiah, BI Seperti Menggarami Laut)

Dia menilai langkah BI yang menjaga volatilitas kurs rupiah sesuai fundamental saat ini sudah tepat. Dengan rupiah yang lemah, diharapkan bisa mengurangi impor, terutama dari barang konsumsi. ?Ini memang pilihan pahit karena sudah bertahun-tahun (rupiah) terapresiasi,? kata Haryo. ?Pilihannya memang antara pertumbuhan ekonomi atau mengorbankan rupiah.?

Oleh karena itu, kebijakan soal rupiah ini mesti diimbangi dengan upaya pemerintah meningkatkan investasi dan mendorong kinerja ekspor nonmigas. Dengan demikian, meski impor barang modal dan bahan baku yang diprediksi meningkat pada semester II tidak mengganggu neraca transaksi berjalan.

?Ini (impor barang modal) nggak masalah, soalnya jangka panjang Indonesia perlu investasi,? ujarnya. (Baca: Rupiah Rentan karena Utang Luar Negeri Tinggi)

Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara, BI tidak mengambil kebijakan menaikkan suku bunga untuk menjaga defisit neraca transaksi berjalan di level 3 persen. BI memilih menggunakan instrumen kurs rupiah. Maka, ketika pelemahan mata uang terjadi di banyak negara BI memilih untuk menjaga nilai tukar sesuai koridor fundamental.

?Jadi (kami jaga) rupiah yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, menjaga defisit neraca transaksi berjalan, mendorong capital inflow, dan menstabilkan perbankan,? tutur dia. (Baca: Dua Sisi Dampak Penurunan BI Rate)

Meski begitu, dia menegaskan bahwa investor asing belum menunjukan kekhawatiran, bahwa neraca transaksi berjalan akan sulit dibiayai. Meskipun pelemahan rupiah belum mampu menopang ekspor, sementara impor bahan baku diprediksi naik pada semester II. Keyakinan ini, terlihat dari investor asing yang masih tinggal di pasar dalam negeri.

Ekonom Universitas Indonesia Anton Gunawan mengatakan, BI tidak bisa menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) untuk menjaga kurs rupiah. Justru, dia memperkirakan, BI akan menurunkan suku bunga lagi dalam waktu dekat.

?Ini sebagai kompensasi kesalahan BI menaikkan suku bunga ketika pemerintah menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) pertengahan Desember 2014. Semestinya (kenaikan suku bunga) itu tidak terjadi,? tuturnya.

Menurut Tirta, secara kumulatif dana asing yang masuk per 9 Maret 2015 mencapai Rp 55 triliun. ?Makanya saya belum bisa katakan ada capital outflow, karena dana masuk masih ada,? kata dia. (Baca: Kinerja Ekspor Rendah Dorong Pelemahan Rupiah)

Namun, BI sudah mengantisipasi adanya dana asing keluar dengan mengintervensi pasar, yakni dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) dan Surat Berharga Indonesia (SBI). Ini dilakukan agar likuiditias rupiah di pasar tetap terjaga serta menjaga volatilitas rupiah agak tidak liar. 

Reporter: Desy Setyowati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...