Pembangunan Pembangkit Listrik Batubara Akan Diperketat
KATADATA ? Pemerintah akan memperketat pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batubara. Bahan bakar ini dinilai tidak ramah lingkungan karena menghasilkan polutan yang lebih tinggi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, selama ini batubara dipilih lantaran paling murah dan gampang didapat. ?Tak perlu riset yang panjang,? kata dia saat membuka acara ?Indonesia Green Infrastructure Summit 2015? di Jakarta, Selasa (9/6).
Kalla mengatakan, pemerintah kesulitan untuk membiayai investasi pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Sementara, secara ekonomis tidak terlalu menguntungkan karena kapasitasnya lebih rendah daripada pembangkit listrik lain.
?Maka dibutuhkan kerjasama lembaga keuangan internasional untuk dahulukan investasi seperti ini,? ujar dia.
Dia mencontohkan, pemerintah lebih memilih membangun pembangkit listrik berbahan bakar batubara lantaran lebih murah.
?Kalau pakai pembangkit tenaga matahari biayanya bisa dua kali lipatnya,? kata Kalla. ?Itu sebabnya proyek 10 ribu MW pakai batubara semua, karena kita butuh kecepatan dan biaya yang tidak terlalu mahal.?
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015?2024, pemerintah menargetkan dapat membangun infrastruktur kelistrikan sebesar 42,7 GW. Pembangunan kapasitas pembangkit ini dibagi dua, yakni oleh PLN sebesar 13,7 GW dan swasta sebesar 29 GW.
Pada 2019, PLTU batubara masih mendominasi, yakni 65 persen, naik dari 2014 yang sebesar 54 persen. Konsumsi BBM pada 2014 yang mencapai 10 persen akan diturunkan hingga menjadi 2 persen. Sementara, untuk sepuluh tahun mendatang, PLTU Batubara tetap mendominasi jenis pembangkit yang akan dibangun yaitu mencapai 60 persen dan konsumsi BBM ditekan menjadi 1,4 persen.
Sri Mulyani Indrawati, Managing Director and Chief Operating Officer Bank Dunia, menilai pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan lebih penting ketimbang mengejar besaran pertumbuhan ekonomi. Selama ini, masyarakat miskin yang paling terkena dampak pembangunan yang mengabaikan kondisi lingkungan.
Indonesia dan Cina merupakan contoh negara yang belum menerapkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan bagi lingkungan. Cina, misalnya, yang kehilangan 9 persen dari produk domestik bruto (PDB) karena pertumbuhan yang tidak ramah lingkungan.
Begitu juga, ekonomi Indonesia tumbuh hingga dua kali lipat selama satu dekade terakhir yang belum bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Meskipun, angka kemiskinan turun menjadi 1,13 persen pada 2014.
?Jika ingin berhasil dalam mengentaskan kemiskinan, tidak bisa hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi. Kecuali, pertumbuhan tersebut bersifat inklusif dan berkelanjutan bagi lingkungan,? kata dia.