Tiga Ramalan ADB Atas Kelesuan Ekonomi Asia
KATADATA ? Ekonom Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menyatakan perekonomian negara-negara di Asia menghadapi tiga tantangan besar hingga tahun depan. ADB memperkirakan ekonomi di kawasan ini hanya tumbuh 5,8 persen, lebih rendah dari perkiraan awal 6,3 persen.
Direktur ADB untuk Indonesia Steven Tabor meramalkan tantangan pertama yakni kembalinya dana ke Amerika Serikat (capital flow reversal). Ia melihat masuknya dana asing (capital inflow) ke Asia sudah berkurang sejak pertengahan tahun lalu. Faktor utamanya, kata dia, karena risiko investasi di negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market) meningkat sehingga investor memilah menyimpan dananya di Amerika. Arus modal keluar dari pasar emerging market mencapai US$ 125 miliar pada kuartal pertama 2015.
Khusus bagi Indonesia, mata uang melemah cukup tajam karena ada persoalan defisit fiskal dan neraca transaksi berjalan. Dibandingkan negara ASEAN lainnya, hanya Indonesia yang mengalami defisit neraca transaksi berjalan. Transaksi berjalan Cina, misalnya, surplus lima persen dari produk domestik bruto (PDB). Kemudian Jepang surplus tiga persen dan India 2,5 persen. Bila pemerintah mampu memperbaiki transaksi berjalan agar tidak defisit, semestinya hal itu membantu meningkatkan kepercayaan investor. (Baca juga: Empat Kebijakan untuk Atasi Defisit Transaksi Berjalan).
?Kedua defisit ini (fiskal dan transaksi berjalan) menjadi semacam tantangan untuk monetary easing (menurunkan suku bunga). Kalau easing terlalu cepat dengan transaski berjalan yang defisit, rupiah akan melemah lebih cepat. Kalau current account membaik ke arah nol persen atau surplus akan memberi kesempatan lebih besar untuk monetary easing,? kata Steven dalam paparan Economic Outlook di Intercontinental Midplaza, Jakarta, Selasa (22/9).
Tantangan kedua yaitu menyangkut pelemahan mata uang khususnya yuan Cina yang diperkirakan masih berlanjut. Hal ini akan berdampak terhadap mata uang lainnya. Apalagi, rupiah dan ringgit Malaysia melemah paling dalam di Asia. Pelemahan mata uang yang tidak sesuai fundamental ekonomi ini akan berdampak buruk bagi sektor rill, terutama yang belum melakukan lindung nilai (hedging). Adapun tantangan ketiga terkait harga komoditas yang diperkirakan belum meningkat hingga tahun depan.
Walau banyak "hantu" membayangi ekonomi Asia tahun depan, Chief Economist ADB Shang-Jin Wei menilai kawasan Asia tetap merupakan kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Untuk bertahan dari fluktuasi tingkat suku bunga internasional dan guncangan keuangan lainnya, perlu diterapkan aturan kehati-hatian makro seperti manajemen aliran modal dengan membatasi ketergantungan terhadap pinjaman dalam mata uang asing.
?Penguatan dolar Amerika menjadi ancaman bagi perusahaan Asia yang terpapar valuta asing (valas). Negara yang terpapar yakni yang memiliki porsi utang valas lebih dari 65 persen seperti Indonesia, Vietnam, dan Sri Lanka,? kata Jin Wei. (Baca pula: Diprediksi Membaik, Ekonomi 2016 Ditargetkan Tumbuh 5,5 Persen).
Untuk mengatasi dampak kenaikan suku bunga Amerika (Fed Rate), otoritas keuangan di emerging market perlu mencari keseimbangan antara menstabilkan sektor keuangan dan langkah untuk mendorong permintaan domestik. Selanjutnya, membangun pasar keuangan di dalam negeri yang likuid untuk mengurangi ketergantungan sektor swasta terhadap pinjaman valas.