Belum Matang, Pembahasan RUU Tax Amnesty Diminta Ditunda
KATADATA - Rencana Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional dianggap terlalu terburu-buru. Draf aturan ini pun terkesan kurang matang, sehingga pelaksanaan pengampunan pajak (tax amnesty) akan kurang optimal.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan dalam aturan ini tidak terdapat skema repatriasi yang jelas. Apakah kewajiban menempatkan dana di perbankan dalam negeri atau diinvestasikan pada obligasi negara dalam jangka panjang. “Tanpa ketentuan ini, pengampunan pajak berpotensi gagal mencapai tujuan,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Katadata, Senin (12/10).
(Baca: Tax Amnesty Tak Menjamin Uang Kembali ke Indonesia)
Pemerintah dinilai belum memiliki data yang akurat dan sistem administrasi yang baik dalam keuangan dan perpajakan. Indonesia juga baru akan mengikuti inisiatif BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) atau pertukaran data otomatis dengan negara lain, yang bisa menangkal praktik penghindaran pajak ke luar negeri.Ini akan menjadi ironis saat pemerintah memiliki aturan penegakan hukum yang tegas. Aturan tersebut tidak akan bisa digunakan, karena objek pajaknya sudah diampuni sebelumnya.
Apalagi pengampunan yang tidak membedakan antara wajib pajak dan bukan wajib pajak. Pembedaan tarif terkait masa keikutsertaan dalam pengampunan justru bisa merugikan. Wajib pajak yang mendapat informasi lebih awal, menikmati tarif lebih rendah. Meskipun wajib pajak tersebut tidak mendaftar ataupun menyampaikan SPT (surat pemberitahuan tahunan) pajak sebelumnya.
Mandat untuk membangun sistem administrasi pengawasan kepatuhan pasca-pengampunan pun belum jelas. Ini berpotensi terjadinya maladministrasi dan berdampak pada kepatuhan pajak di masa mendatang.
“RUU ini belum diletakkan dalam konteks pembaruan sistem perpajakan dan keuangan yg menyeluruh, seperti amandemen UU Perbankan, penerapan Single Identification Number, akses data perbankan dan keuangan, koordinasi kelembagaan penegak hukum, dan lain-lain,” ujarnya.
(Baca: Upaya Pemerintah Tarik Dana Orang Indonesia di Luar Negeri)
Menurut dia, pengampunan pajak baru akan optimal diberlakukan pada 2017 atau 2018. Sebelum diberlakukan, pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur dan administrasi pengawasan pasca-pengampunan untuk menjamin kepatuhan dan peningkatan penerimaan pajak di masa mendatang. Dia juga meminta, DPR mempersempit cakupan pengampunan pada pidana pajak saja. Ini penting demi kepastian hukum dan menghindari moral hazard untuk impunitas, dengan kewajiban merahasiakan data wajib pajak yang disampaikan.
Berbeda dengan Yustinus, Dosen Universitas Pelita Harapan Roni Bako menilai penerapan tax amnesty tidak perlu harus menunggu pendataan terlebih dahulu. Pendataan bisa dilakukan saat memberlakukan aturan tersebut. Setelah wajib pajak melaporkan dananya untuk meminta pengampunan nasional, bisa dilakukan klarifikasi untuk menghindari kecurangan.
Menurut dia penerapan pengampunan nasional justru akan menambah jumlah wajib pajak dari 10 persen menjadi 40 persen. “Ini hitungannya dari jumlah penduduk 240 juta, yang bayar pajak cuma 10 persen. Dengan tax amnesty bukan hanya di luar negeri tapi di dalam negeri punya aset dimana. (Potensinya) sampai 40 persen yang mengakui pajaknya, jadi menambah 30 persen. Jadi akan ada 60 juta wajib pajak,” kata Roni kepada Katadata.