Agresif Pangkas GWM, BI Dianggap "Kompromi" dengan Pemerintah
KATADATA - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia selama dua hari yang berakhir Kamis (18/2), menelurkan dua keputusan penting: menurunkan suku bunga acuan BI rate dan Giro Wajib Minimum (GWM). Tujuannya untuk memacu pertumbuhan kredit sehingga menopang perekonomian nasional. Tapi, para ekonom menilai bank sentral terlalu agresif dalam pelonggaran kebijakan moneter sehingga berisiko terhadap perbankan.
Setelah bulan lalu menurunkan BI rate, bank sentral kembali melakukan langkah serupa sebesar 25 basis poin menjadi 7 persen. Ini merupakan level terendah BI rate dalam 2,5 tahun terakhir atau sejak akhir Agustus 2013. Selain itu menurunkan suku bunga Deposit Facility menjadi 5 persen dan Lending Facility 7,5 persen. Adapun GWM Primer dalam rupiah turun 100 basis poin menjadi 6,5 persen, yang berlaku efektif 16 Maret nanti.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, penurunan GWM akan menambah likuiditas perbankan sebesar Rp 34 triliun. Dengan begitu, penurunan BI rate bisa efektif untuk mendorong penyaluran kredit oleh perbankan. “Bagi bank ini akan jadi peluang mengefektifkan penyakuran dana,” katanya. Apalagi, likuiditas perbankan sempat mengetat akhir 2015 meski berangsur membaik pada Januari lalu.
Sekadar informasi, GWM merupakan instrumen moneter BI untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat. GWM merupakan likuiditas minimum bank yang wajib dijaga dan dipelihara agar dapat memenuhi kewajibannya terhadap penarikan simpanan masyarakat sewaktu-waktu.
(Baca: BI Rate Turun Jadi 7 Persen, Terendah dalam 2,5 Tahun)
Sedangkan Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, dampak pemangkasan BI rate terhadap penurunan bunga deposito memerlukan waktu. Karena itu, dibutuhkan kebijakan lanjutan berupa penurunan GWM untuk menambah likuiditas bank sehingga penyaluran kredit bisa lebih cepat.
Menurut dia, penurunan BI rate hanya mampu mendongkrak pertumbuhan kredit tahun ini dari 10 persen menjadi 12,5 persen. Sedangkan jika ditambah dengan kebijakan penurunan GWM maka kredit bisa tumbuh hingga 14 persen. Agus menambahkan, pertumbuhan kredit hingga saat ini masih 10,5 persen. Sedangkan BI menargetkan pertumbuhan kredit tahun ini 12 persen sampai 14 persen.
Ekonom Grup Riset DBS Bank Gundy Cahyadi menilai langkah bank sentral menurunkan BI rate sekaligus memangkas GWM tersebut sangat agresif. Bahkan, dia memperkirakan BI akan kembali menurunkan GWM ketimbang menggunting lagi BI rate karena lebih aman untuk memacu penyaluran kredit tanpa menimbulkan risiko pelemahan terhadap rupiah.
Sementara itu, menurut Kepala Ekonom ANZ Bank kawasan Asia Selatan, ASEAN dan Pasifik, Glenn Maguire, kebijakan BI menurunkan BI rate sekaligus GWM sebesar 1% itu di luar perkiraan ekonom dan para pelaku pasar. Ia menengarai itu bentuk koordinasi bank sentral dengan pemerintah untuk mendorong perekonomian melalui penyaluran kredit. Namun, bauran kebijakan tersebut diragukan akan mampu mendukung penyaluran kredit. Pasalnya, kebijakan agresif BI untuk memangkas suku bunga itu tidak sesuai dengan kondisi perekonomian domestik dan global yang masih belum kondusif.
Selain itu, keputusan memangkas GWM sebesar 1 persen tidak sejalan dengan penjelasan Gubernur BI setelah RDG yang berpandangan netral terhadap kondisi ekonomi ke depan. Mulai dari perkiraan pertumbuhan ekonomi 5,2-5,6 persen yang didukung oleh stimulus fiskal dari pemerintah hingga stabilitas rupiah. “Satu-satunya petunjuk yang nyata bahwa BI mau melakukan sesuatu dovish (optimistis) secara tiba-tiba adalah perkiraan inflasi, yang diharapkan 3-5 persen tahun ini,” kata Maguire.
(Baca: Pemerintah Tetapkan Bunga Deposito BUMN Mengacu Inflasi)
Keputusan BI memangkas GWM tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah. Indikasinya adalah rapat di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla yang membahas rencana pemerintah menurunkan bunga deposito di perbankan bersamaan dengan RDG pada Kamis pagi lalu (18/2). Hal itu menunjukkan BI dan pemerintah sedang mencari cara dalam berkoordinasi untuk menyusun kebijakan makro yang saling mendukung. “Koordinasi kebijakan makroekonomi bukan hal yang buruk,” katanya. Persoalannya, stimulus fiskal yang dibuat oleh pemerintah masih sepotong-sepotong, kurang terencana, dan banyak yang belum dilaksanakan.
(Baca: Paksa Perbankan, Jokowi Ingin Bunga Kredit Cuma 4-6 Persen)
Di sisi lain, Maguire meragukan keampuhan penurunan GWM akan menciptakan efek berantai hingga peningkatan penyaluran kredit. Pasalnya, penurunan BI rate yang jika diikuti oleh penurunan bunga deposito akan menyebabkan tergerusnya dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Alhasil, berpotensi menimbulkan pengetatan likuiditas. Apalagi, rasio likuiditas yang tecermin dari rata-rata loan to deposit ratio (LDR) bank telah naik dari 89 persen pada Mei 2015 menjadi 93 persen di November 2015.
Sementara itu, efek penurunan GWM yang menambah likuiditas bank sebesar Rp 34 triliun belum tentu bisa disalurkan menjadi kredit. "Ini tergantung permintaan (demand),” katanya. Ia mengacu kepada target pertumbuhan kredit oleh BI sebesar 14 persen tahun ini atau naik dari target sebelumnya sebesar 12,5 persen. Padahal, saat ini pertumbuhan kredit cuma 10,5 persen.