Pembengkakan Kredit Bermasalah Menggerus Laba Bank BUMN
KATADATA - Kinerja bank-bank besar sepanjang tahun lalu tergerus oleh pembengkakan kredit bermasalah alias non performing loan (NPL). Kondisi tersebut kemungkinan akan terus berlanjut tahun ini karena perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berpotensi mengganggu kemampuan perusahaan dalam membayar atau melunasi utangnya.
Sepanjang tahun 2015, PT Bank Mandiri Tbk mencetak laba bersih sebesar Rp 20,3 triliun. Jumlahnya hanya naik 2,3 persen dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya. Padahal, bank dengan aset terbesar di Indonesia ini berhasil memacu pertumbuhan kredit sebesar 12,4 persen sehingga pendapatan bunga bersih meningkat 16 persen menjadi Rp 48,5 triliun.
Namun, pencapaian itu terganggu oleh pembengkakan rasio kredit bermasalah (gross) sebesar 2,6 persen. Angkanya naik 21,1 persen dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 2,1 persen dan merupakan rasio NPL tertinggi dalam enam tahun terakhir. Sedangkan NPL nett juga naik dari 0,81 persen menjadi 0,9 persen.
Karena itu, Bank Mandiri harus menambah provisi atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) untuk mengantisipasi kredit bermasalah tersebut. Tahun lalu, rasio CKPN terhadap kredit bermasalahnya sebesar 170 persen. “Pencadangan kami mencapai 170 persen karena kekhawatiran perlambatan ekonomi akan mempengaruhi kemampuan debitur membayar utangnya,” kata Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin dalam acara paparan kinerja 2015 Bank Mandiri di Jakarta, Selasa sore (23/2).
(Baca: BRI dan Mandiri Berencana Turunkan Bunga)
Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo menambahkan, sejak 2013 memang terjadi penurunan kinerja Bank Mandiri karena sedang menjalankan program restrukturisasi kredit bermasalah. Untuk itu, Bank Mandiri perlu menambah pencadangannya. “Tahun lalu (pencadangan) kami tambah Rp 500 miliar. Tahun ini ditambah lagi Rp 1 triliun,” ujarnya.
Menurut dia, tidak ada acuan baku rasio pencadangan bagi perbankan. Namun, lazimnya bank-bank besar di Indonesia selalu menetapkan rasio pencadangan berkisar 130-160 persen. “Tujuannya untuk mengantisipasi dan menjaga penurunan kualitas kredit di masa depan,” kata Kartika, yang akrab disapa Iko.
Di tempat yang sama, Direktur Bank Mandiri A Siddik Badruddin menjelaskan, rasio NPL tahun lalu naik karena pengaruh perlambatan ekonomi di dalam negeri dan ekonomi Cina. Selain itu, terus berlanjutnya penurunan harga komoditas dan minyak dan gas bumi menyebabkan industri yang terkait dengan komoditas ikut terpukul. Alhasil, para debitur kesulitan membayar kewajibannya kepada bank. “Kami perkirakan harga komoditas di 2016 belum akan kembali ke semula,” katanya.
(Baca: BUMN dan Kementerian Dilarang Minta Bunga Deposito Tinggi)
Tahun ini, perlambatan ekonomi Cina masih akan mempengaruhi ekonomi di dalam negeri. Harga minyak dunia juga diperkirakan masih merunduk. Karena itu, Budi memperkirakan kredit bermasalah masih agak tinggi tahun ini meskipun penyaluran kredit diharapkan bisa tumbuh sekitar 12-13 persen.
Dua sejawat Bank Mandiri sebagai bank berstatus BUMN juga bernasib sama. Akhir Januari lalu, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) telah melansir kinerja keuangan 2015. Laba bersih bank pelat merah ini anjlok 15,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp 9,1 triliun. Meski mampu memacu pertumbuhan kredit sebesar 17,5 persen, kinerjanya terpukul oleh pembengkakan kredit bermasalah.
Tahun lalu, kredit bermasalah BNI naik dari Rp 5,1 triliun menjadi Rp 8,3 triliun, dengan peningkatan rasio NPL dari 2 persen menjadi 2,7 persen. Alhasil, CKPN BNI melonjak hampir dua kali lipat dari Rp 6,7 triliun menjadi Rp 11,7 triliun. Adapun rasio provisinya naik dari 130,1 persen menjadi 140,4 persen.
(LPS: Bank Kurang Mampu Tangani Risiko Pertumbuhan Kredit)
Sementara itu, dalam publikasi kinerja keuangan 2015 pada awal Februari lalu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mencatat laba bersih sebesar Rp 25,2 triliun atau cuma naik tipis 4,3 persen dari tahun sebelumnya. Di sisi lain, rasio NPL gross bank pelat merah ini naik dari 1,69 persen menjadi 2,02 persen. Alhasil, provisi BRI meningkat 52,9 persen menjadi Rp 8,58 triliun. Faktor ini turut berperan mengerem laju pertumbuhan laba bersihnya.
Tahun ini, kondisinya diperkirakan belum akan berubah seperti 2015. Manajemen BRI memperkirakan, pertumbuhan laba bersih cuma sekitar 3-5 persen. Sedangkan rasio kredit bermasalah diperkirakan naik menjadi 2,1 persen hingga 2,4 persen.